Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Restu Orang Tua Tak Penting dalam Pernikahan?

2 April 2025   19:42 Diperbarui: 2 April 2025   19:42 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cincin Pernikahan (Sumber: Dokumen Pribadi)

Ada pernyataan dari seorang pemuka agama yang menyebutkan bahwa restu orang tua dari pihak laki-laki tidak diperlukan dalam pernikahan dan bahkan dianggap melanggar ajaran spiritual tertentu, jelas tidak sesuai dengan esensi ajaran kepercayaan mana pun yang ada di muka bumi ini. Benarkah demikian?

Fenomena kontroversial ini menciptakan gemuruh dalam lanskap spiritual kontemporer, mengguncang fondasi nilai-nilai sakral yang telah mengakar berabad-abad lamanya. Dalam berbagai tradisi kehidupan, penghormatan terhadap sosok yang telah melahirkan dan membesarkan merupakan pilar utama yang menjadi tumpuan bangunan moral peradaban manusia. 

Pandangan yang mencoba meminggirkan peran vital orang tua dalam momentum sakral pernikahan sesungguhnya mengoyak kain suci kesatuan keluarga yang ditenun dengan benang-benang kasih sayang dan kebijaksanaan.

Dalam ajaran berbagai kepercayaan yang otentik, kitab-kitab suci dengan lantang dan tegas memerintahkan umatnya untuk memuliakan orang tua, menggarisbawahi urgensi berbuat baik dan menghormati kedua sosok pemberi kehidupan ini. Perkataan agung yang tersurat dalam teks-teks sakral mempertegas posisi orang tua sebagai sosok yang memiliki kedudukan istimewa setelah Sang Pencipta. 

Untaian mutiara kata yang disampaikan oleh para pemuka spiritual juga menegaskan bahwa keridhaan Sang Maha Kuasa bertaut erat dengan keridhaan orang tua, memperteguh keyakinan bahwa menghormati mereka bukanlah sekadar anjuran, melainkan manifestasi ketundukan manusia kepada Pencipta semesta.

Prinsip luhur ini bukanlah monopoli satu kepercayaan semata, namun menjadi benang merah yang menjahit berbagai tradisi di muka bumi. 

Dalam berbagai sistem kepercayaan, imperatif untuk memuliakan orang tua terabadikan dalam aturan-aturan moral yang diukir dalam memori kolektif umat manusia. Ajaran ini dipertegas dengan janji kehidupan yang baik dan kesejahteraan bagi mereka yang setia memelihara perintah ini. 

Dalam khazanah spiritualitas kuno, ritual-ritual penghormatan kepada leluhur dan orang tua menjelma sebagai bagian tak terpisahkan dari jalan kehidupan yang benar. Tradisi kebijaksanaan timur pun menyuarakan hal serupa, di mana bakti kepada orang tua dipandang sebagai jalan mulia menuju pencerahan dan keselarasan hidup.

Dengan demikian, pernyataan yang mengesampingkan signifikansi restu orang tua dalam ikatan pernikahan tidak hanya berseberangan dengan tafsir spiritual yang sahih, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai universal tentang bakti kepada orang tua yang menjadi nafas kehidupan semua ajaran kebijaksanaan. 

Prinsip hidup yang autentik senantiasa menekankan urgensi menjaga keharmonisan relasi dengan orang tua, termasuk dalam keputusan monumental seperti pernikahan, karena doa dan restu mereka bukanlah sekadar formalitas seremonial, melainkan cerminan dari keselarasan keluarga dan ketaatan terhadap nilai-nilai adiluhung yang diwariskan oleh tradisi leluhur. Mengabaikan prinsip fundamental ini justru dapat menyulut api perpecahan dan melahirkan bentuk ketidakseimbangan dalam perjalanan hidup.

Para cendekiawan tradisional pernah bertutur, "Mikul dhuwur mendhem jero," yang berarti menempatkan orang tua pada posisi yang tinggi dan menutupi kekurangannya. Kearifan lokal ini meresonansikan pesan universal bahwa menghormati orang tua adalah kunci membuka pintu keberkahan hidup. 

Sebagaimana diungkapkan dalam kitab-kitab bijak, "Janganlah engkau menolak didikan ayahmu, dan jangan engkau bosan akan ajaran ibumu, sebab semuanya itu bagaikan karangan bunga yang indah di kepalamu dan seperti kalung pada lehermu." 

Petuah ini menegaskan bahwa nasihat dan restu orang tua adalah permata berharga yang akan menerangi perjalanan hidup anak-anaknya, termasuk dalam membangun mahligai rumah tangga yang kokoh dan diberkati.

Di Indonesia, konsep restu orang tua dalam pernikahan tertanam begitu dalam pada jantung budaya nusantara yang majemuk. Dari Sabang hingga Merauke, berbagai suku dan tradisi menjunjung tinggi filosofi "berbakti pada yang melahirkan" sebagai landasan utama kehidupan berkeluarga. 

Upacara-upacara pernikahan tradisional seperti "sungkem" dalam adat Jawa, "sembah sujud" dalam tradisi Sunda, hingga ritual "meminang" di berbagai daerah, mencerminkan betapa pentingnya mendapatkan berkah dan restu orang tua sebelum membangun bahtera rumah tangga.

Bahkan dalam era digital yang serba cepat ini, nilai-nilai ketimuran tersebut masih kokoh berdiri di tengah derasnya arus modernisasi yang kadang menggerus nilai-nilai luhur. 

Para tetua dan cendekiawan lokal selalu mengingatkan bahwa rumah tangga yang dibangun tanpa restu orang tua ibarat perahu yang berlayar tanpa kompas di tengah samudra kehidupan yang penuh badai dan tantangan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun