Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Prabowo, dan Ucapan "Selamat" yang Terlambat

14 Juli 2019   19:48 Diperbarui: 14 Juli 2019   19:55 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski terlambat, pertemuan antara Jokowi dengan Prabowo di stasiun MRT Lebakbulus, Jakarta Selatan pada Jumat 12 Juli 2019, tetaplah sangat melegakan. 

Dikatakan "terlambat" jika mengacu pada saat diketahuinya hasil quick count pilpres (pemilihan presiden) 17 April 2019 sore. Pada sore hari itu lembaga-lembaga survei yang telah diakui kredibilitasnya menuntaskan hasil hitung cepat mereka yang memperlihatkan kemenangan paslon 01 Jokowi - Ma'ruf dengan jumlah sekitar 55% atas paslon 02 Prabowo - Sandiaga. 

Oh, andaikata saja pihak 02 segera memberikan respon positif pada saat itu, misalnya dengan memberikan ucapan "selamat" kepada paslon 01, niscaya kita tidak akan pernah disuguhi ketegangan dan kengerian selama kurang lebih 3 bulan. Sebagaimana kita ketahui, semenjak diumumkannya kemenangan paslon 01 berdasarkan hitung cepat, kondisi di masyarakat mulai menghangat. Aksi saling klaim kemenangan, tuduhan curang, dan sebagainya, terdengar saling sahut, secara khusus di medsos.

Situasi semakin membara ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) membacakan rekapitulasi (real count) pada 21 Mei 2019, yang hasilnya ternyata tidak jauh (atau hampir sama) dengan quick count yakni 55% - 45% untuk kemenangan paslon 01. Bahkan pada waktu itu (22-23) berlangsung aksi unjuk rasa diikuti aksi kekerasan dan perusakan di berbagai titik Ibu Kota. Beberapa korban tewas jatuh. Beruntunglah bangsa ini, sebab situasi bisa dikendalikan oleh aparat keamanan Polri dan TNI sehingga kekacauan tidak meluas.

Prabowo - Sandi yang tentu tidak ingin melihat kondisi bangsa dan negara ini chaos akhirnya memasrahkan sengketa pilpres ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa hari bersidang, pihak MK telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak untuk membeberkan uneg-uneg atau kesaksiannya. Lewat siaran langsung di televisi, masyarakat luas pun bisa menilai bahwa klaim penggugat memang sangat lemah dan sulit dibuktikan bahwa pihak tergugat telah melakukan kecurangan yang TSM (terstruktur, sistematis, masif). 

Sebelumnya pun sudah diperkirakan bahwa adalah sangat mustahil membalikkan selisih suara yang nyomplang, yakni sekitar 15 juta suara. Terlebih lagi dengan tidak mampunya para saksi dari penggugat memaparkan argumen mereka dengan meyakinkan. Yang bikin miris adalah sikap ngotot dari ahli-ahli penggugat itu bahwa mereka telah dicurangi, namun tanpa dapat menunjukkan bukti-bukti kuat yang mendukung. 

Sampai di sini mestinya Prabowo - Sandi sudah bisa legowo dan menyampaikan ucapan selamat kepada rival. Namun publik kembali dibuat bingung dengan statemen Sandiaga Uno bahwa mengucapkan "selamat" itu bukan budaya bangsa kita. Itu budaya Barat, kata cawapres 02 tersebut.

Ucapan "selamat" itu baru terucap dari Prabowo pada saat kedua capres itu bertemu--untuk pertama sekali setelah Pilpres 2019--di MRT. Prabowo beralasan bahwa mengucapkan "selamat" itu lebih tepat kalau sudah saling bertatap muka, sebab secara langsung disampaikan kepada orang yang bersangkutan. Tetapi tidak apalah, sebab adalah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pertemuan antara capres dan adanya ucapan "selamat" itu telah pula mengakhiri segala sengketa yang sebenarnya tidak perlu berlarut-larut.

Kita bangsa Indonesia, kalau ingin diakui sebagai bangsa yang relijius, berjiwa besar, kita patut belajar dari Pilpres AS pada 2018 silam yang di luar dugaan dimenangkan oleh Donald Trump. Konglomerat yang kontroversial ini padahal hanya menang tipis atas pesaingnya, Hillary Clinton, yang adalah seorang politisi kawakan, mantan ibu negara dua periode, mantan menlu AS. Tapi segera setelah hasil quick count dirilis, Hillary langsung mengucapkan selamat kepada Trump. 

Pilpres AS ini pun bukannya sepi dari isu atau tudingan curang yang dilakukan oleh kelompok Trump. Yang lebih menakjubkan lagi, "kemenangan" Trump atas Hillary hanya tipis. Tapi hal ini tidak menghalangi Hillary yang juga sudah sejak lama punya ambisi untuk menjadi presiden AS, untuk membuang jauh sikap ego dan ambisinya itu demi kepentingan yang jauh lebih besar, yakni persatuan dan kesatuan rakyat AS. 

Sikap-sikap seperti inilah yang mestinya diadopsi oleh para kontestan pilpres di negeri kita--supaya tidak terjadi ketegangan dan kericuhan selama berbulan-bulan. Selama tiga bulan dalam suasana sengketa, berapa banyak biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menjaga keamanan, misalnya. Belum lagi "gesekan" di antara warga masyarakat yang dapat memicu disintegrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun