Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (7)

14 Oktober 2014   23:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian 7
Ke Kampus

ESOK harinya, pagi-pagi sekitar pukul 08.00, Poltak bersiap berangkat ke kampus. Gomos sudah memberikan penjelasan yang sangat mendetail tentang rute angkutan umum yang harus dia naiki nanti. Berapa ongkos bus dan angkot yang harus dia bayar, di mana turun, bagaimana menyeberang, bahkan di warung mana nanti makan siang atau ngopi, harganya kira-kira berapa rupiah, semua sudah dijelaskan oleh Gomos. Dan Poltak sudah mencatat itu semua. Dia membenahi berkas-berkasnya di meja ruang depan.
“Tumben pagi-pagi kau sudah rapi. Mau ke mana pula kau ini?” tanya Tiurlan, istri pamannya, yang sedang mengepel lantai.
“Ke INJAK, Tante...” jawab Poltak sopan plus santun.
“Bah. Aku kan nanya kau ini mau ke mana, kok kau bilang keinjak? Memangnya apa yang keinjak? Siapa yang menginjak kau?” sambut Bu Tiurlan dengan suara kencang. Perempuan setengah tua ini langsung esmosi. Sangkanya pagi-pagi sudah dipermainkan keponakannya yang masih bau kampung ini.
“Maksudku, mau ke kampus INJAK. Singkatan dari Institut Jurnalistik Jakarta,” kata Poltak menjelaskan.
“Oh...begitu toh. Ngobrol dong. Kau tak sarapan dulu?”
“Gak usahlah, Tante. Nanti kesiangan.”
“Bah...sudah sok sibuk pula kau sekarang ya....Sudahlah pergi sana... Hati-hati di jalan. Kalau bingung di jalan, telepon ke sini atau SMS si Gomos. Kalau nyasar hubungi kantor polisi terdekat!”
“Oce...”
Bu Tiurlan, istri pamannya ini, sejak beberapa bulan memang suka uring-uringan. Seorang pembantu rumah tangga mereka yang sudah lama bekerja di rumah itu, dan sudah disayang oleh semua penghuni rumah, belum kembali lagi ke rumah sejak mudik Lebaran enam bulan silam. Jadi selama hampir setengah tahun ini pekerjaan rumah tangga dilakukan sendiri oleh nyonya ini. Untunglah setiap pagi ada seorang ibu bernama Dariyah, penduduk kampung sebelah yang datang membantu. Tetapi Dariyah harus pulang sore ke rumahnya.
“Saya hanya ingin menjadi PRT freelance, dan tidak mau outsourching,” kata Dariyah dulu sewaktu diwawancarai Bu Tiurlan.
Padahal Bu Tiurlan kepingin PRT yang permanen, tinggal di dalam rumah, biar standby 1 x 24 jam. Tetapi dia pun maklum betapa dewasa ini sulit mendapatkan PRT yang baik, rajin, setia dan punya dedikasi. Ny. Tiurlan tidak akan mau mempekerjakan orang yang jati diri dan asal-usulnya tidak jelas.
Dariyah dikenalkan oleh Pak RT yang juga teman baik Pak Johnson. Berbekal rekomendasi Pak RT-lah maka si Dariyah diterima bekerja. Kalau tidak ada rekomendasi itu, sulit bagi Dariyah untuk diterima sekalipun hanya kerja setengah hari.
“Baiklah,” jawab Bu Tiurlan waktu itu. Dia memang tidak ada lagi pilihan lain. Bila menunggu Dariyah yang tidak jelas kabar beritanya, bisa-bisa Tiurlan stress sendiri mengerjakan tugas-tugas rutin di rumah tangganya.

Poltak sendiri tidak kesulitan mencari kampus INJAK. Poltak tidak sulit mendapatkan bus yang rutenya melewati kampus tersebut. Bahkan ketika mau mendekati lokasi, kondektur bus kota yang kreatif itu berteriak-teriak untuk mengingatkan penumpang yang mau turun di halte kampus tersebut untuk bersiap-siap:
“INJAK...INJAK. Yang mau diinjak siap-siap. Yang suka diinjak-injak, siap-siap!!!”
Para penumpang turun dengan tertib. Tidak ada yang marah atau tersinggung. Sebab rata-rata mereka adalah mahasiswa/mahasiswi INJAK. Dan mereka sudah terbiasa dengan bahasa kondektur itu. Ada banyak penumpang yang turun. Termasuk Poltak.
Areal kampus INJAK yang luas itu cukup sejuk dan asri, sebab pohon-pohon banyak yang tumbuh dan dirawat dengan baik. Di beberapa tempat ada taman yang dilengkapi bangku-bangku untuk duduk-duduk bersantai. Namun sayang ada beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi yang duduk bergerombol sambil mengobrol dan merokok.
Poltak jadi heran sebab berdasarkan iklan yang dia baca beberapa waktu lalu, di lingkungan kampus tidak boleh merokok. Bahkan di dekat pintu gerbang terpampang spanduk besar dengan tulisan besar-besar: ANDA MEMASUKI DAERAH BEBAS ASAP ROKOK.
Tetapi kok ada beberapa orang yang dengan leluasa merokok di halaman kampus? Atau jangan-jangan di dalam ruangan pun mungkin ada yang nekat merokok padahal sudah jelas-jelas ada himbauan untuk tidak merokok? Ah, peraturan di negeri ini memang sering hanya berlaku di atas kertas.
Loket pendaftaran belum dibuka. Kesempatan itu digunakan Poltak untuk duduk-duduk di taman sambil mengajak ngobrol seorang pemuda yang sedang merokok.
“Bukankah di sini tidak boleh merokok?” tanya Poltak.
“Siapa bilang?” balas si pemuda sambil memandangi Poltak dari ujung sepatu hingga jidat. Pemuda itu ternyata mahasiswa senior yang sedang menyusun skripsi.
“Di spanduk-spanduk itu kan ada tulisan bahwa kawasan ini daerah bebas asap rokok. Artinya kan tidak boleh merokok!” Poltak mencoba menjelaskan.
“Wah, kau ini bagaimana sih? Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dapat nilai berapa ya. Pasti di bawah 6, alias belum lulus,” jawab si pemuda sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya. Dia tersenyum menyebalkan.
“Maksudnya apa?” Poltak balik bertanya.
“Nah. Di spanduk itu kan tertulis: ANDA MEMASUKI DAERAH BEBAS ASAP ROKOK. Artinya, bahwa di tempat ini asap rokok bebas dihamburkan. Lalu apa salahnya saya dan teman-teman yang lain itu merokok di sini? kata si pemuda memandangi Poltak sambil tersenyum merendahkan.
“Kamu sekolah di SMA mana sih? Nilai pelajaran bahasa Indonesia kamu berapa sih? Nama guru bahasa Indonesia kamu siapa sih?” si pemuda terus nyerocos.
Poltak terdiam. Dalam hati membenarkan juga penjelasan si pemuda. Mestinya pihak yang berwenang membuat pengumuman dengan bunyi dan kalimat yang tegas. Misalnya: “DILARANG MEROKOK DI SINI”.
Tapi meneruskan perdebatan dengan si pemuda yang merasa diri pintar itu akan menjadi pengalaman pahit dan menyakitkan hati. Tanpa mengucapkan “selamat pagi” atau “terimakasih atas penjelasannya,” Poltak menjauhi si pemuda, dan melangkah menuju loket pendaftaran yang sudah dibuka.

Singkat cerita. Poltak melewati tahap-tahap pendaftaran dengan lancar. Segala persyaratan yang ditentukan telah dia lengkapi tanpa kurang suatu apa pun. Dalam hati, dia merasa beruntung punya saudara sepupu sekelas Gomos yang kuliah di UI, universitas terbaik di Indonesia. Berkat nasihat dan petunjuk Gomos-lah, maka Poltak bisa melengkapi segala persyaratan dan prosedur pendaftaran di INJAK, tanpa ada yang kurang atau terlewat.
Sulit membayangkan apabila tidak ada orang yang berkompeten semacam Gomos yang dengan jitu memberikan nasihat dan petunjuk kepada Poltak, bisa-bisa dia harus bolak-balik mengurus dan melengkapi berkas-berkas pendaftarannya.
Dia sendiri sudah melihat ada beberapa rekannya sesama calon mahasiswa yang terpaksa di-cancle pendaftarannya karena salah mengisi formulir atau kurang persyaratan yang dibawa. Tetapi Poltak bisa melenggang dengan lancar. Dia tinggal mengikuti tes masuk minggu depan.{} BERSAMBUNG...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun