Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lebih dari Sekadar Menulis

15 Januari 2017   17:52 Diperbarui: 15 Januari 2017   18:01 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hal paradoks dari dunia virtual yakni adanya kenyataan bahwa sambil mempromosikan globalisme, teknologi komunikasi dan informasi mutakhir juga mendorong pembentukan sebuah dunia yang terfragmentasi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil dan tercecer. Dalam hubungannya dengan itu, sebelum dibentuknya Kompasiana, berbagai macam blog tersebar dan tercecer di mana-mana. Dengan berlandaskan pada motto "Sharing and Connecting", Kompasiana berupaya mengumpulkan baik blog mau pun blogger yang tercecer itu ke dalam sebuah wadah umum yang memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk mengakses. Bisa dibayangkan, jika semua blog dengan penulisnya itu berdiri sendiri; akan betapa susahnya seseorang mencari referensi bacaan yang bagus. Setelah sukses menjadi media yang menghubungkan pelbagai pihak dan menjadi wadah saling berbagi entah informasi, entah pengalaman dan pendapat, Kompasiana kembali mencetuskan motto lain, "Beyond Blogging". Hemat saya, bukan tanpa alasan, Kompasiana memilih motto tersebut. Secara sederhana, bisa dijelaskan sebagai berikut: 

Pertama, Sebagai media "sharing and connecting", Kompasiana memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menyeringkan atau membagikan pengalaman hidup dan aktivitas berpikirnya kepada orang lain. Setelah adanya proses pembagian tersebut, secara otomatis akan menghubungkan baik antara penulis dan pembaca maupun antarsesama pembaca. Kedua, motto baru yakni "Beyond Blogging" merupakan salah satu langkah cerdas Kompasiana untuk menunjukkan bahwa kehadiran blog ini bukan sekadar tempat untuk menulis dan selesai. Tidak sesederhana itu. Dengan kata lain, Kompasiana ingin agar pembaca dan blogger yang berkecimpung di dalamnya memiliki cara berpikir "Meta-Blogging". Maksudnya, siapa saja yang berinteraksi baik dengan menulis mau pun membaca di Kompasiana hendaknya memiliki cara pandang yang melampaui. Contohnya: sepotong roti di mata kebanyakan orang dari cara berpikir yang standar tentu hanya dilihat sebagai sebuah benda yang terbuat dari terigu dengan sedikit campuran air dan gula. Namun, bagi seseorang yang memiliki cara berpikir yang meta-fisis atau melampaui yang fisik, akan melihat secara jernih bahwa di balik sepotong roti terdapat gambaran mengenai petani gandum yang bekerja di bawah terik, ribuan pekerja yang mengaduk adonan, resep yang dikaji berulang-ulang kali, dan pendistribusian roti dengan sistem yang ruwet. Nah, dalam konteks itulah, "Beyond Blogging" menawarkan beberapa alternatif antara lain melampaui tulisan atau blog dan melampaui penulis atau blogger.

Lebih dari Sekadar Menulis

Ivan Illich dalam bukunya Celebration of Awarness menulis tentang the eloquency of silence (kefasihan dari diam). Menurut dia, "kata-kata dan kalimat terdiri atas diam yang lebih bermakna daripada bunyi". Maksudnya, komunikasi memang tidak selamanya terjadi hanya karena dua mulut menerocos bersahut-sahutan tetapi juga melalui tulisan. Menulis, dalam konteks tersebut, merupakan bentuk komunikasi yang paling menyentuh. Jika dalam penulisan berita, unsur baku yang mesti ada yaitu 5W + 1 H (Who, What, When, Where, Why, dan How) maka "Beyond Bloging" secara tidak langsung menawarkan alternatif baru, "What For" (untuk apa). 

Anda menulis untuk apa? Apakah ada nilai yang ingin diperjuangkan dalam tulisan Anda? Nilai seperti apakah itu? Sejauh mana cakupan nilai yang diperjuangkan? Universal atau partikularkah nilai-nilai itu? Ini pertanyaan-pertanyaan penting yang mesti lebih dahulu ada dalam pikiran setiap blogger sebelum menulis sesuatu. Secara konkret dapat dibahasakan seperti ini: Apa maksud Anda menulis tentang Pilkada DKI Jakarta sementara Anda beralamat di Flores-NTT yang, ketika pasangan tertentu menjadi gubernur, kebijakannya tentu tidak membawa pengaruh langsung dalam skala besar bagi masyarakat di NTT?

Melampaui Tulisan


Untuk menjawabi pertanyaan di atas, hal yang mesti dibuat yakni melihat dan membaca tulisan atau blog lebih dari sekadar sebuah tulisan. Agar bisa menemukan inti dan maksud terdalam dari sebuah tulisan, Anda mesti menemukan sejauh mana sebuah tulisan itu dibuat dengan memanfaatkan referensi tertentu. Peran sebuah blog atau blogger tidak sebatas menulis dan menyebarkan informasi. Ada nilai tertentu yang diperjuangkan di sana, termasuk tulisan saya ini. Oleh karena itu, Pembaca mesti cerdas menilai, memilah, dan selanjutnya menentukan tulisan manakah yang layak dikonsumsi dan mana yang tidak. Saya katakan demikian karena mengutip Jean Baudrillard, "Sekarang, kita hidup di zaman, tempat semakin banyak informasi dengan makna yang justru makin susut". Kompasiana tentu saja menyadari hal tersebut. Sebut saja maraknya praktik eufemisme bahasa, retorika bombastis, dan berbagai euforia tuturan, mencerminkan ketidakteraturan sistim bahasa. Sebagai misal, bentuk eufemisme dalam frasa “panjang tangan” untuk menggantikan makna dari aktivitas “mencuri”, kata “menggagahi” untuk menyembunyikan makna dari kata “memperkosa”, dan sebagainya. Proses penghalusan makna seperti itu pada gilirannya menciptakan kerancuan dalam berbahasa. Lebih tragisnya lagi, tidak terdapat rasa belas kasihan atau empati atas korban pemerkosaan karena penghalusan bahasa memungkinkan untuk itu.

Melampaui Penulis

Pada tahun 1988, John Walker misalnya, telah mengusulkan proyek "Pintu Masuk ke dalam Cyberspace" dengan motto "Reality is not Enough Anymore". TV, komputer, dan internet telah mendorong orang mulai mempertimbangkan alternatif realitas-realitas lain di luar kehidupan sehari-hari. Tidak mengherankan jika kekuasaan tidak lagi bersumber pada apa yang disebut oleh Michel Foucault sebagai power/knowledge tetapi juga dari power/speed, kecepatan memperoleh informasi, mengantisipasi pasar, dan mengomentari status facebook dan twitter. Dalam kondisi seperti ini, "Beyond Blogging" merupakan salah satu kiat untuk mengantisipasi munculnya penulis atau blogger dengan motif negatif seperti menyebarkan isu SARA, terorisme, dan anti-nasionalisme. 

Secara tidak langsung, motto yang ditawarkan oleh Kompasiana tersebut menegaskan bahwa selain tulisan, pembaca yang cerdas juga mesti mengantisipasi kemunculan penulis atau blogger dengan pemikiran yang "kerdil". Penulis jenis ini, akan lebih cenderung menulis tanpa disertai dengan refleksi yang mendalam, wawasan yang luas, dan gaya bahasa yang matang. Bahkan, melalui tulisan, Penulis seperti itu berusaha menghancurkan ketahanan diri pembaca di satu sisi dan merong-rong kewibawaan hidup berkebangsaan di lain sisi. Kekhawatiran itu bukan hanya muncul dari saya semata tetapi juga mesti menjadi keprihatinan bersama entah itu pengelola Kompasiana, entah pembaca, entah masyarakat pada umumnya.

Kekhawatiran Umum: Beberapa Catatan untuk "Kompasiana"

Baudrillard dalam Requiem for the Media menulis bahwa tidak ada teori revolusioner tentang media. Revolusi dalam media sudah merupakan bekas dari kenyataan dan bersifat mistis (Baudrillard, New York: Semiotext(e), 2006, halaman 70). Jika “pada awal sejarahnya,” tulis Hans Enzenberger, “media memungkinkan sebuah partisipasi publik dalam proses produktif dan sosialisasi, sebuah partisipasi yang secara praktis bermakna dalam diri massa itu sendiri” (Mark Poster, Polity Press: London, 1989, halaman 207) maka Baudrillard sebaliknya mengklaim media sebagai “berbicara tanpa reaksi” (speech without response). Maksudnya, jika seseorang mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah pertukaran resiprokal antara proses berbicara dan memberi reaksi maka proses itu mengandung sebuah tanggung jawab; bukan sebuah tanggung jawab psikologis dan moral, tetapi sebuah korelasi personal dari satu orang kepada yang lain dalam pertukaran. Sayangnya, keseluruhan media kontemporer dibangun atas definisi ini: media melarang reaksi selamanya (Ibid).

Bukan tidak mungkin, perkembangan Kompasiana sebagai sebuah media komunikasi bisa saja terhenti. Saya katakan demikian karena hakikat sebuah media yaitu komunikasi. Apalah artinya media komunikasi jika tidak ada proses penyaluran informasi, respon atas informasi tersebut, dan diskursus dalam wacana tersebut? Jika Kompasiana hanya berkutat pada aktivitas memproduksi dan menyebarluaskan tulisan maka bukan tidak mungkin minat orang untuk mengakses blog raksasa ini akan menurun. Oleh karena itu, saya menganjurkan beberapa hal antara lain:

Pertama, apa alasan utama seorang penulis atau blogger menerbitkan tulisannya di Kompasiana? Mengingat ada begitu banyak media yang bisa digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan wadah pertukaran gagasan, perlu diketahui mengapa  seorang blogger memilih Kompasiana sebagai media penerbitan tulisannya. Hipotesis awal saya yakni: orang menulis untuk didengarkan. Saya katakan demikian karena tidak semua tulisan atau penulis di Kompasiana lolos seleksi menulis di media massa bergengsi seperti Kompas, Tempo, dan Media Indonesia. Meskipun demikian, itu bukan juga berarti kualitas tulisan di blog raksasa ini rendah jika dibandingkan dengan media massa yang saya sebutkan di atas. Keunggulan menulis di Kompasiana, hemat saya, yakni saya tidak sekadar menulis. Ada tanggung jawab etis yang menuntut saya untuk mempertanggungjawabkan komposisi tulisan saya di hadapan pembaca. 

Kedua, kepada siapa penulis atau blogger ingin berkomunikasi setelah menerbitkan tulisannya di Kompasiana? Setiap penulis atau bloger hendaknya menyadari sedari awal tentang kepada siapa tulisannya itu ditujukan, apakah kepada pembaca luas tanpa batasan usia dan latar belakang kontingen (seperti pendidikan, agama, suku, ras, dan kepentingan) ataukah kepada kelompok pembaca tertentu. Anda dan saya tidak mungkin menulis tentang reaksi nuklir di Kompasiana sambil mengharapkan adanya respon dan diskursus datang dari seorang penjual sate misalnya. Mengetahui secara pasti kepada siapa Anda menulis, memberikan semacam daya gerak atau spirit bagi penulis untuk menulis secara baik dan benar.

Ketiga, nilai apa yang diterima oleh penulis atau blogger ketika apa-apa yang ia terbitkan itu disukai dan dibagikan? Semua konten dalam Kompasiana bebas dibagikan kepada siapa pun. Ingat, "kebebasan berarti tanggung jawab. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan orang takut kepadanya", tulis Geroge Bernard Shaw (1856-1950). Oleh karena itu, respon apa pun yang diberikan pembaca hendaknya memantik rasa tanggung jawab dalam diri penulis atau blogger.

Keempat, sejauh mana penulis atau blogger memberlakukan sistim editing sebelum menerbitkan naskahnya di Kompasiana? Ini persoalan paling penting dan krusial. Saya katakan penting karena dalam jenis tulisan apa pun, editing adalah cara mengorganisasikan tulisan menjadi gagasan yang koheren dan kohesif serta masuk akal. Tidak salah jika Anda menulis argumentasi yang menegaskan bahwa Tuhan itu tidak ada, sejauh tulisan tersebut tepat dari sisi gramatikal dan dapat dipertanggungjawabkan dari sisi penalaran metodologis. Di situ, setiap penulis entah pemula atau pun penulis terkenal  mesti memahami teknik mengedit tulisannya sendiri. Berbeda dengan media massa bergengsi seperti yang saya sebutkan di atas, Kompasiana tidak memberlakukan sistim editing dengan menempatkan editor pada akhir naskah yang saya dan Anda terbitkan. Itu berarti, blogger adalah penulis sekaligus editor. Tentu saja, hal ini menuntut tanggung jawab yang tidak biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun