Membaca puisi-puisimu seperti mendengarkan rintik-rintik hujan di atas genting. Nyaring. Melengking.
Iramanya mudah di ingat, tak di buat-buat mirip dongeng anak-anak peri sebelum mereka pergi bermimpi.
Aku tak pernah selesai membaca puisi-puisimu sebab selalu ku ulang-ulang ketika sampai di bait terakhir.
Puisi-puisimu seperti udara, ringan namun begitu tak dapat ku genggam.
Aku tak pernah hapal bagaimana caramu menyisipkan kata-kata rindu ke saku celanaku yang robek dan kumal.
Aku tak pernah bisa, aku tak pernah mempunyai rindu seperti dalam puisi-puisimu itu.
Rindu terlalu bebal untuk ku masukkan ke dalam saku celana apalagi ke dalam ingatan.
Aku seringkali lupa kalau rindu itu ternyata ada.Â
Namun yang sekarang aku cemaskan, apakah aku berlebihan bila mencintai puisi-puisimu.Â