Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tentang Pedagang Buah Potong Keliling

5 Oktober 2021   15:50 Diperbarui: 5 Oktober 2021   15:53 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto. pedagang buah potong / unimus.ac.id

Kami pedagang buah potong keliling sekaligus pejalan kaki yang ramah.

Kami tak membutuhkan peta untuk menentukan arah kaki melangkah.

Sebab kami selalu ingin kembali pulang ke rumah dengan harapan yang sederhana seperti harga buah-buahan terjangkau murah.

Kami tak risaukan hujan, tak cemaskan panas, kami berusaha selalu segar dengan segala cuaca.

Buah-buahan yang tersusun rapi di etalase kecil pun tak merasa gusar selalu bisa nyaman berhimpitan es batu, dingin dan menyenangkan.

Kami tak pernah berhayal menjadi saudagar atau menjadi pohon-pohon dari buah-buahan yang kami jual.

Cukup bisa membayar kontrakan dan menyisihkan hasil jualan untuk di bawa pulang ke kampung itu sudah lumayan.

Apalagi punya satu tempat yang ramai tanpa perlu membayar iuran, biar berdiri di bawah payung sambil mengupas buah-buahan tetapi hati senang.

Mencairlah es batu dari etalase, setetes demi setetes memenuhi ember kecil menggantung di bawah seperti keringat kami yang mengucur menerpa gerah.

"Buah, buah" begitulah kami berteriak di sepanjang jalan atau saat memasuki gang-gang yang penuh berdesakan rumah-rumah.

Dan biasanya para perempuan atau ibu-ibu muda mencegat kami, mencari kesegaran dari buah-buah merah nan matang yang terpajang rapi.

Ada pepaya, ada semangka, jambu merah juga mangga dapat di rujak dengan bumbu sambal gula merah di tambah garam penambah rasa.

Tak jarang juga para lelaki datang menghampiri, mencari semangka dan pepaya matang sambil seorang di antara mereka berkata.

"Kalau susah buang air besar sering-sering makan buah khususnya buah pepaya, lihat saja burung Kutilang habis makan terus buang kotoran".

Maka tersenyumlah yang lain mendengar perkataannya entah membayangkan buah pepaya atau burung kutilang.  

Kami pedagang buah potong keliling sekaligus pejalan kaki yang ramah.

Kami tak membutuhkan peta untuk menentukan arah kaki melangkah.

Segera kami akan pulang setelah buah-buahan yang kami jajakan dapat terjual.

Mau habis ataupun tersisa kami tak pernah menunggu sampai senja hilang tenggelam.

Handy Pranowo

05102021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun