Aku tak lagi mendengarkan kata hatiku sengaja aku memilih sibuk dengan puisi-puisi milikmu yang berebut masuk ke dalam pikiran lewat jendela rumahku ketika angin mengirimkan lelucon kecut yang paling busuk seputar hidup dan maut.
Sedang di luar sana, seorang lelaki berambut gimbal yang gemar tertawa dan berbicara sendirian selalu menanyakan kepadaku dimana rumah ibunya yang sudah meninggal itu, ia hendak kesana dan ziarah ke kamar ibunya.
Aku pernah bersekutu dengan makhluk halus yang wajahnya penuh jerawat dan ia malu menampakkan diri ketika ku paksa mengajaknya ke salon di bawah pohon jamblang. Katanya di pohon itulah seluruh keluarganya tinggal, ia tak mau pulang takut di cekik lehernya entah oleh siapa.
Aku juga pernah dekat dengan gembong narkoba antar daerah, aku akrab dengannya karena ia rajin dan senang menulis puisi dan aku pernah kecanduan puisi-puisinya sementara ia terus di buru oleh polisi sedangkan aku masuk penjara gara-gara satu linting ganja terselip di buku puisinya.
"Ini buku siapa"
"Bukan buku saya pak"
"Bukan buku kamu kenapa kamu bawa-bawa"
"Ini buku puisi punya teman saya pak"
"Kok ada ganjanya"
"Saya tak tahu, kalau soal itu pak"
"Baiklah kalau begitu, kamu saya tangkap bersama barang bukti"
"Bagaimana dengan puisi-puisinya pak"
"Biarkan saja mereka mati"
Hujan turun diam-diam melewati jendela rumahku, diam-diam menemani lelaki gimbal yang sendirian itu berbicara, makhluk halus penuh jerawat diam-diam pulang ke rumahnya di pohon jamblang itu, temanku si gembong narkoba itu diam-diam rupanya sudah mati di tembak polisi.
Diam-diam aku masih menyimpan buku puisinya, diam-diam aku belajar menulis puisi dari dirinya.
Diam-diam puisiku berbicara kepadaku.
"kapan kamu mati"
Handy Pranowo
15042021