Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Suatu Hari Nanti

3 Maret 2021   14:10 Diperbarui: 3 Maret 2021   21:20 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi di suatu hari nanti (Sumber: pexels.com)

Ke sanalah aku akan pulang ke raut wajah ibu, ke pundak sepi ayah. Ke tempat di mana pertama kalinya diriku melihat kupu-kupu biru terbang menuju ke sebuah gunung di belakang rumah. 

Di dalam rumah yang sederhana itu aku diajarkan mencintai oleh sepasang lengan yang lembut yang sering mengusap-usap punggungku sebelum tidur. 

Dan dari pribadi ayah yang tak pernah mengeluh, aku dilatih untuk bersabar dan diajarkan bagaimana hidup semestinya terus bersyukur.

Ayahku seorang pedagang dan ibuku seorang penjahit dan kami rajin pergi ke masjid, tak ada alasan untuk yang satu ini bekal kehidupan masa mendatang, kira-kira seperti itulah kata mereka yang sampai saat ini masih terngiang.

Dan bila hari Minggu datang, aku diajak ayah pergi ke pasar ke tempat ia menjual bahan-bahan makanan.

Ayahku menuntunku berjalan melewati perkebunan yang penuh dengan jantung pisang. Waktu itu gigi susuku baru tanggal dan kantung celanaku penuh dengan buah murbai.

Di tengah jalan desa yang kami lalui burung-burung tak usainya bernyanyi, kokok ayam jantan dan anak-anak ayam seakan-akan mengikuti kami dari belakang.

Hingga sampailah kami di ujung jalan, kuda-kuda bendi dan angkutan berwarna kuning berjejal memanggil-manggil.

Ayah aku ingin naik bendi, aku ingin menjadi kusir seperti Wak Haji, kataku bersemangat. Ayah mengangguk dan kuda hitam pun berjalan melewati kesejukan pagi.

Selagi kami menuju ke pasar, ibu di rumah menyiapkan makanan. Nanti sebelum siang, ibu pasti menyusul sambil dibawanya celana dan baju ganti buatku.

Entah berapa lama waktu itu berlalu, kini mereka telah menua dan rapuh. Kuda-kuda bendi pun hanya beberapa yang tersisa selebihnya motor dan mobil angkutan umum.

Jantung pisang yang dulu melambai-lambai berganti dengan lampu-lampu rumah dan yang tersisa hanya kebun belakang serta gunung yang tetap angkuh menjulang.

Pohon murbai sudah tidak ada berganti pohon jambu, namun kupu-kupu masih nampak terlihat berputar-putar di tengah kebun meski warnanya tidak lagi biru.

Ayah duduk di sana sambil memperhatikan lelaki kecil yang sedang di timang ibu, matanya mulai rabun dan ibu tak cekatan lagi memasukan benang ke lubang jarum.

Dan aku menikmati masa laluku, di sini di antara waktu yang terus meluncur, rasanya ingin terus kembali pulang namun hidup mesti berjalan.

Suatu hari nanti semuanya pun akan hilang, ya suatu hari nanti.

Handy Pranowo

02032021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun