Aku pejalan kaki, terperosok di trotoar, meregang di pinggir jalan
menapak kaki penuh muatan bimbang sebenarnya di manakah harus berjalan.
Kendaraan bising lalu lalang, menyerebot tanpa perduli melintas di tempat yang tak seharusnya,Â
seenaknya bunyi klakson, teriak-teriak merasa paling berhak, merasa paling benar.
Berjalan di atas trotoar kota besar, ketimpangan sesak berhimpitan, para pedagang kaki lima koar-koar, menggelar dagang di trotoar,Â
alasan untuk makan, alasan kehidupan, beribu alasan yang juga menumpuk di gedung dewan.Â
Dan pejalan kaki terus mengalah, dan pejalan kaki hanya bagian persoalan yang nantinya harap di maklumkanÂ
maka berjalanlah aku di atas genangan sisa air hujan.
Pejalan kaki di atas trotoar cermin budaya yang hampir pudar tergerus kemacetan jalan, tergerus percepatan pembangunan,Â
tergerus keinginan penguasa yang sok bicara keadilan.
Nyatanya pejalan kaki tetaplah lumpuh, di paksa mengalah turun dari trotoar, terserempet kemajuan jaman.