Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Golput Apakah Bisa Dipidana?

9 Februari 2024   10:11 Diperbarui: 9 Februari 2024   10:12 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar photo dan ilustrasi Pupuk Indonesia (BUMN)

Golput Apakah Bisa Dipidana?
Oleh Handra Deddy Hasan

Kurang dari seminggu lagi Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu). Tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024, seluruh rakyat Indonesia yang telah dewasa atau yang telah menikah atau pernah menikah mempunyai hak untuk memilih pemimpinnya dengan datang ke Tempat Pemberian Suara (TPS).

Hal tersebut setelah melalui proses dan koordinasi dalam bentuk Tim Kerja bersama yang terdiri dari DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP. 

Kesepakatan Tim Kerja Bersama bahwa Pemilu dan Pemilihan diselenggarakan pada tahun 2024 sebagaimana dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU Pemilu, Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Golongan Putih (Golput)

Jadi Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih dengan cara mencoblos kertas suara yang telah disediakan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pemilu merupakan momen bagi rakyat untuk menentukan pemimpin yang akan mengelola negara Indonesia untuk 5 (lima) tahun ke depan terhitung sejak tahun 2024.

Namun dalam pelaksanaannya pada hari pencoblosan ada sebagian masyarakat tidak menggunakan haknya untuk memanifestasikan kedaulatannya sebagai rakyat. Sebagian rakyat yang tidak memilih tersebut dinamakan Golongan Putih (Golput).

Golongan Putih, atau Golput, merupakan sikap atau tindakan seseorang yang memilih untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilihan umum, baik itu karena alasan tidak puas terhadap calon yang ada, tidak yakin dengan proses pemilihan, atau alasan lainnya.

Golput sering kali dipandang sebagai bentuk protes atau ketidakpuasan terhadap kondisi politik atau sistem pemilihan yang ada. 

Di Indonesia, golput sering menjadi topik perdebatan dan perhatian dalam setiap pemilihan umum, karena suara golput dapat memengaruhi hasil akhir pemilihan dan legitimasi pemerintahan. 

Beberapa pihak menganggap golput sebagai hak demokratis warga negara, sementara yang lain mengkritiknya sebagai sikap pasif yang tidak berkontribusi dalam proses demokrasi.

Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan tentang beberapa alasan mengapa seseorang memilih untuk menjadi golongan putih (golput) dalam pemilihan umum di Indonesia.

Ada sebagian masyarakat memilih untuk menjadi golput karena merasa tidak puas dengan pilihan calon yang tersedia. 

Dari tiga Pasangan Calon (paslon) yang maju dalam Pemilu Pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024  tidak satupun menurut mereka pantas untuk menduduki kursi Presiden dan Wakil Presiden. 

Mereka merasa bahwa tidak ada calon yang mewakili atau memenuhi harapan mereka. Sehingga mereka memutuskan untuk menjadi Golput.

Gencarnya pemberitaan di media sosial baik berita yang benar maupun yang hoaks juga mempengaruhi munculnya Golput. Misalnya pemberitaan tentang masalah kecurangan.

Beberapa orang percaya Pemilu akan dilaksanakan dengan penuh kecurangan sehingga mereka meragukan keadilan atau keabsahan proses pemilihan itu sendiri. Sehingga akibatnya  mereka memilih untuk tidak memberikan suara sebagai bentuk protes terhadap sistem yang ada.

Ada juga sebagian masyarakat memilih untuk Golput sebagai bentuk sarana politik untuk mengekprsikan pendapatnya.  

Dalam hal ini mereka berpendapat Golput dianggap sebagai bentuk protes politik terhadap kondisi politik, pemerintahan, atau sistem yang dianggap tidak memadai saat ini.

Yang paling parah dari masyarakat yang memilih Golput adalah masyarakat yang tidak peduli dengan haknya. Jadi mereka memilih untuk menjadi golput karena kurangnya minat atau keterlibatan dalam urusan politik.

Politik menurut mereka kotor dan menjijikkan, karena memamerkan keserakahan, saling hujat. Sehingga mereka tidak merasa tertarik atau peduli untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Baginya lebih baik tidur daripada harus pergi memberikan hak suaranya di Tempat Pemberian Suara (TPS) yang telah disediakan.

Selain itu mungkin ada sebagian masyarakat tidak memahami pentingnya hak suara dalam proses demokrasi, sehingga mereka memilih untuk tidak memberikan suara. Bagi mereka tidak paham bahwa satu suara yang dimilikinya adalah merupakan kedaulatan rakyat yang menentukan nasibnya untuk 5 (lima) tahun kedepan.

Sebagai gambaran, menurut Data Pemilu Indonesia bahwa ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam Pemilu 2019. Jumlah itu setara dengan 18,02% dari daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang.

Dengan memperhatikan data Golput pada Pemilu 2019, maka dapat dikatakan bahwa Golput ini sangat signifikan kuantitasnya untuk bisa diabaikan begitu saja.

Apabila semua Golput memberikan haknya untuk memilih bisa menentukan kemenangan salah satu Pasangan Calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden.

Golput Apakah Merupakan Pidana Pemilu?

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak mengenal istilah Golput.

Hanya dalam Pasal 1 ayat 1 UU Pemilu disebutkan bahwa Pemilu disebutkan sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya.

Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 43 yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)  yang berbunyi:

Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Dari bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa pada prinsipnya setiap Warga Negara Indonesia ("WNI") diberikan hak untuk memilih dalam pemilihan umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian dapat dikatakan peristiwa mencoblos surat suara dalam Pemilu merupakan hak dan bukan merupakan kewajiban, sehingga tidak dapat diberikan sanksi pidana apabila tidak melaksanakannya.

Namun demikian khusus bagi rakyat yang mempunyai hak memilih dan tidak melaksanakan Pemilihan/mencoblos dalam Pemilu karena kondisi tertentu bisa dianggap sebagai peristiwa pidana.

Misalnya seseorang menjadi Golput karena tidak diperbolehkan oleh atasannya untuk mencoblos atau ada pihak-pihak tertentu yang membujuk dan mempengaruhi agar tidak memilih dalam Pemilu akan masuk dalam katagori pidana Pemilu.

Berdasarkan Pasal 498 UU Pemilu seorang majikan/ atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja/karyawan untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana denganpidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda palingbanyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Jadi seorang karyawan yang Golput karena tidak diperkenankan oleh Majikan atau atasannya untuk melaksanakan haknya, maka Majikannya dapat dikenakan pidana dengan sanksi pidana kurungan dan denda.

Demikian juga bagi orang yang menghasut, mengajak dan mempengaruhi orang untuk Golput juga bisa Dipidana.

Perbuatan yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih peserta pemilu ini diatur dalam Pasal 284 UU Pemilu yang berbunyi:

Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:

- tidak menggunakan hak pilihnya;
- menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
- memilih Pasangan Calon tertentu;
- memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/ataumemilih calon anggota DPD tertentu,
dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Sebagai informasi, yang dimaksud dengan "menjanjikan atau memberikan" adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana dan tim Kampanye Pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi pemilih.

Pasal ini selain mempunyai makna larangan "money politics" juga mengandung ketentuan larangan orang untuk mengajak Golput, karena peristiwa mengajak, membujuk atau mempengaruhi tersebut merupakan tindak pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun