Yang ragil biar kubawa sekalian, biar sesekali kena panas matahari, mumpung belum siang," sahutku, hatiku juga ikut kasihan sewaktu menoleh melihat si sulung yang jarang rewel, meski kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan.
"Ya ..., tapi hati-hati ya." Isteriku yang masih sibuk mengaduk adonan menjawab.
Begitulah asal-usulnya, sehingga sekarang aku menggendong anakku yang bungsu, sambil mengawasi anakku yang sulung berlari ke sana ke mari. Meski tempat dia bermain ituÂ
Bukan sebuah taman yang dirancang untuk jadi tempat bermain, buat anak sekecil itu, apa saja yang dia lihat, bisa jadi sesuatu yang menarik. Sesekali aku berteriak, kalau dia sudah mulai mendekati jalanan, atau ketika dia berlari ke arah gerumbulan semak yang terlalu lebat.
Saat matahari makin naik ke atas, kuajak dia pulang.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya dia bertanya dan dengan senang hati aku pun bercerita, "Dulu waktu Bapak masih kecil, biasa main di sawah. Lebih banyak lagi yang bisa kamu lihat di sana.Â
Gantrung itu bisa macam-macam warnanya, merah, kuning, biru. Bukan cuma hitam seperti yang kamu lihat tadi.
Kalau malam, banyak kunang-kunang, kelap-kelip seperti bintang di langit."
Panjang lebar aku bercerita tentang masa kecilku yang besar di desa. Jauh dari beton-beton dan bangunan yang menjulang tinggi. Tempat di mana bintang-bintang bebas bersinar saat malam hari tiba, tak perlu bersaing dengan lampu neon penerang kota.Â
Bercerita tentang kodok dan katak yang riuh rendah berceloteh, lebih ramai dari wakil-wakil kita di Senayan. Berlari di atas pematang sawah, memancing belut dan ikan. Memotong bambu dan membuat panah-panahan.
Saat kami sampai di rumah, si sulung terlihat termenung diam.