Mohon tunggu...
Handoko
Handoko Mohon Tunggu... Programmer - Laki-laki tua yang masih mencari jati diri.

Lulusan Elektro, karyawan swasta, passion menulis. Sayang kemampuan menulis cuma pas-pasan. Berharap dengan join ke kompasiana, bisa dapat pembaca yang menyukai tulisan-tulisan receh saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Thulu-Thulu

23 September 2021   09:49 Diperbarui: 23 September 2021   13:17 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gbr diambil dr www.idntimes.com

Menggendong si kecil dengan dua tangan, mataku tak pernah lepas mengawasi kakaknya yang berkeliaran ke sana ke mari. Anakku yang baru berusia tiga tahun itu, memandang dunia di sekitarnya dengan penuh keingin tahuan. 

Matanya berkelana dari satu obyek ke obyek lain. Ketika menemukan sesuatu yang menarik, kakinya yang pendek membawa dia berlari ke tempat itu, lalu berjongkok diam mengamati, sampai akhirnya bosan dan mencari hal lain untuk ditemukan.

Kubiarkan saja dia memuaskan diri, jarang-jarang dia punya kesempatan untuk bermain berdekatan dengan alam.

Di hari-hari kerja, aku dan ibunya seharian sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Aku bekerja di pabrik, sementara ibunya membuka warung kecil di depan rumah. Rumah kami pun letaknya di pinggir jalan antar kota yang ramai.

Anak-anak tidak kami biarkan main di luar, karena kuatir dengan kendaraan yang lalu lalang. Saat aku libur dari pekerjaan, tidak jarang rasanya sudah terlalu penat dan capai, sehingga malas untuk menemani anak-anak bermain di luar.

Melihat si sulung bisa berlarian dengan senang di antara rerumputan, terselip juga pikiran, 'Mungkin Tuhan juga punya alasan tersendiri, kenapa harus ada pandemi.'

Gara-gara pandemi, pabrik tutup untuk sementara waktu. Akhirnya aku cuma luntang-lantung di rumah membantu isteri, beruntung rejeki di warung tidak mampet, karena isteriku dengan gesit ikut mendaftar ke beberapa platform jualan makanan online.

Pagi ini saat melihat si sulung bermain di lantai dengan mobil-mobilan plastiknya, isteriku tiba-tiba, "Mas, kasian juga ya Nanang, tiap hari mainnya di rumah terus. Mumpung Mas tidak kerja ke pabrik, gimana kalau Mas ajak si Nanang main di luar? 

Sesekali lihat alam sekitar." 

"Bener juga kamu Wid ..., apa aku ajak ke tegalan dekat jalan tol sana ya?

Yang ragil biar kubawa sekalian, biar sesekali kena panas matahari, mumpung belum siang," sahutku, hatiku juga ikut kasihan sewaktu menoleh melihat si sulung yang jarang rewel, meski kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan.

"Ya ..., tapi hati-hati ya." Isteriku yang masih sibuk mengaduk adonan menjawab.

Begitulah asal-usulnya, sehingga sekarang aku menggendong anakku yang bungsu, sambil mengawasi anakku yang sulung berlari ke sana ke mari. Meski tempat dia bermain itu 

Bukan sebuah taman yang dirancang untuk jadi tempat bermain, buat anak sekecil itu, apa saja yang dia lihat, bisa jadi sesuatu yang menarik. Sesekali aku berteriak, kalau dia sudah mulai mendekati jalanan, atau ketika dia berlari ke arah gerumbulan semak yang terlalu lebat.

Saat matahari makin naik ke atas, kuajak dia pulang.

Dalam perjalanan tak henti-hentinya dia bertanya dan dengan senang hati aku pun bercerita, "Dulu waktu Bapak masih kecil, biasa main di sawah. Lebih banyak lagi yang bisa kamu lihat di sana. 

Gantrung itu bisa macam-macam warnanya, merah, kuning, biru. Bukan cuma hitam seperti yang kamu lihat tadi.

Kalau malam, banyak kunang-kunang, kelap-kelip seperti bintang di langit."

Panjang lebar aku bercerita tentang masa kecilku yang besar di desa. Jauh dari beton-beton dan bangunan yang menjulang tinggi. Tempat di mana bintang-bintang bebas bersinar saat malam hari tiba, tak perlu bersaing dengan lampu neon penerang kota. 

Bercerita tentang kodok dan katak yang riuh rendah berceloteh, lebih ramai dari wakil-wakil kita di Senayan. Berlari di atas pematang sawah, memancing belut dan ikan. Memotong bambu dan membuat panah-panahan.

Saat kami sampai di rumah, si sulung terlihat termenung diam.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Napa emua celita Bapak itu selalu entang yang thulu-thulu?" tanyanya dengan lidah yang masih celat.

"Awah-awah yang thulu, sekarang atha thi mana?" tanyanya lagi dengan wajah penuh kerinduan, berharap bisa bermain di sawah seperti dalam ceritaku tadi.

Aku jadi terdiam, membayangkan sawah warisan Bapak yang akhirnya kami jual dan hasilnya kami bagi-bagi. Dibeli oleh seorang pengusaha. Di atasnya dibangun sebuah pabrik besar, tempat sekarang aku bekerja. 

Membayangkan sawah Lek No yang sekarang jadi jalan tol. Atau sawah Bu Lik yang senasib dengan sawah warisan bapak, sudah berubah jadi pabrik.

Pabrik besar yang semua permukaannya sudah dicor dengan beton. Di atasnya berdiri silo-silo besar dengan dinding dan tiang-tiang dari baja. Di atasnya berdiri menara mesin yang menjulang tinggi dan mengepulkan asap hitam ke atas langit.

Tiba-tiba aku tidak bisa menjawab pertanyaan Nanang itu. Kenapa semua yang terkenang indah itu hanya ada dahulu saja? Apa memang seperti itu yang namanya nostalgia? Ketika masa lalu selalu terasa lebih indah dan romantis dari saat ini.

Sambil tertawa aku elus kepala anakku itu, "Sudah, jangan nanya terus. Sana coba lihat, ibumu sedang apa itu?"

Memandang anakku yang berlari ke dalam mencari ibunya dengan kakinya yang pendek-pendek itu, dalam hati aku berbisik, 'Maaf ya Nak, bapakmu ini bukan orang pandai. Mungkin besok kalau kamu sudah besar, kamu yang bisa menjawab.

Salahkah kami yang menjual sawah-sawah kami untuk dijadikan pabrik dan jalan tol? Salahkah kami kalau kami memilih TV, HP, kulkas dan kemudahan hidup lainnya, dibandingkan alam yang rindang, pepohonan dan sungai yang tak tercemar dan segala flora fauna yang hidup darinya.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun