Sudah pasti saya pilih dokter anak.Â
Di kategori dokter anak pun muncul banyak pilihan, tiap dokter lengkap dengan nama, foto profil, rating pengguna, komentar pasien sebelumnya, dan keterangan sudah berapa tahun mereka praktek sebagai dokter.Â
Sebagai bapak yang baik, tentu saya mencari yang terbaik untuk anak saya. Dengan segera saya menelusuri profil-profil dokter yang ada, dan memilih yang fotonya paling cantik.
Setelah bayar secara online, maka muncul panel untuk mengisikan apa keluhan dan data-data pasien.
Tidak lama kemudian, dokternya menanggapi dengan beberapa pertanyaan, disusul meminta foto bercak-bercak merah pada tubuh anak saya. Lengkap semua saya kirim, dokter pun memberikan diagnosa.
"Sepertinya biduran Pak, saya beri obat C#######e, ya..."
"Siap Bu Dok," jawab saya.
Pilihan untuk membayarkan obat yang sudah ditentukan dokter muncul, tinggal klik, bayar pakai salah satu dompet uang digital dan hari itu juga obat diantar. Semudah itu, sesederhana itu. Tentu karena sakitnya juga bukan sakit yang membutuhkan penanganan dokter secara langsung.
Akan tetapi dari kasus gangguan kesehatan yang terjadi, ada berapa banyak yang sebenarnya bisa ditangani cukup dengan wawancara dan pemeriksaan visual? Terbayangkan tidak, betapa besar efeknya kemajuan teknologi informasi pada dunia kesehatan?Â
Ada berapa ratus, atau berapa ribu orang yang bisa mendapatkan layanan kesehatan, tanpa harus memenuhi fasilitas kesehatan yang terbatas kapasitasnya?
Belum lagi kalau kita memikirkan, masalah penyakit yang bisa menular lewat berbagai media, seperti yang paling akhir ini Corona.