Beberapa minggu yang lalu, anak saya yang pertama tiba-tiba menangis dengan kencang. Padahal sebelumnya dia sedang sibuk main sendirian di ruang tengah.Â
Usut punya usut (nggak mudah untuk diusut karena anaknya baru setahun lebih sedikit, belum bisa ngomong), sepertinya dia tergigit serangga sewaktu makan jambu.
Bibirnya berubah jadi seperti bibirnya Angelina Jolie, sayang cuma sebelah atas dan itupun tidak imbang. Yang sebelah kiri lebih besar dari yang sebelah kanan.
Awalnya sebagai bapak saya masih santai-santai saja, karena saya juga pernah mengalami digigit semut bibirnya. Biasanya dalam hitungan jam juga bakalan kempes. Cukup dioles minyak telon dan digendong-gendong biar berhenti nangisnya.
Namun yang ditunggu-tunggu tidak juga terjadi.
Malah bercak-bercak merah seperti biduran bermunculan di badannya. Yang membuat saya masih bisa tenang, adalah nafsu makan dan minum tidak berubah, dan juga tetap bandel seperti biasa. Seakan sudah lupa tadi sempat menangis melolong-lolong.
Sampai besoknya pun belum juga hilang, suhu badan juga sudah mulai naik. Antara panik dan tidak, biasalah, modal Google, katanya memang wajar kalau muncul reaksi alergi yang bisa bertahan beberapa hari.Â
Asalkan tidak terjadi beberapa gejala yang lebih serius, seperti sesak nafas, hilangnya nafsu makan, dll. Tapi dengan suhu yang mulai menyentuh 38 derajat Celcius, tetap saja saya merasa was-was.
Nah hari itulah pertama kali saya mencoba dokter online lewat salah satu aplikasi yang ada  (ga disebut ya, kuatir ngiklan).
Ada banyak pilihan apakah mau dokter umum, dokter anak, dokter penyakit dalam, dll.
Sudah pasti saya pilih dokter anak.Â
Di kategori dokter anak pun muncul banyak pilihan, tiap dokter lengkap dengan nama, foto profil, rating pengguna, komentar pasien sebelumnya, dan keterangan sudah berapa tahun mereka praktek sebagai dokter.Â
Sebagai bapak yang baik, tentu saya mencari yang terbaik untuk anak saya. Dengan segera saya menelusuri profil-profil dokter yang ada, dan memilih yang fotonya paling cantik.
Setelah bayar secara online, maka muncul panel untuk mengisikan apa keluhan dan data-data pasien.
Tidak lama kemudian, dokternya menanggapi dengan beberapa pertanyaan, disusul meminta foto bercak-bercak merah pada tubuh anak saya. Lengkap semua saya kirim, dokter pun memberikan diagnosa.
"Sepertinya biduran Pak, saya beri obat C#######e, ya..."
"Siap Bu Dok," jawab saya.
Pilihan untuk membayarkan obat yang sudah ditentukan dokter muncul, tinggal klik, bayar pakai salah satu dompet uang digital dan hari itu juga obat diantar. Semudah itu, sesederhana itu. Tentu karena sakitnya juga bukan sakit yang membutuhkan penanganan dokter secara langsung.
Akan tetapi dari kasus gangguan kesehatan yang terjadi, ada berapa banyak yang sebenarnya bisa ditangani cukup dengan wawancara dan pemeriksaan visual? Terbayangkan tidak, betapa besar efeknya kemajuan teknologi informasi pada dunia kesehatan?Â
Ada berapa ratus, atau berapa ribu orang yang bisa mendapatkan layanan kesehatan, tanpa harus memenuhi fasilitas kesehatan yang terbatas kapasitasnya?
Belum lagi kalau kita memikirkan, masalah penyakit yang bisa menular lewat berbagai media, seperti yang paling akhir ini Corona.
Sebenarnya bukan hanya bidang kesehatan yang mengalami transformasi digital ini, bidang industri dan engineering pun demikian adanya.Â
Sebagai seorang programmer untuk satu industri tertentu, sejak pandemi Covid melanda negara kita, semua pekerjaan saya, akhirnya saya kerjakan cukup lewat remote dari jarak jauh.Â
Tentunya dengan bantuan-bantuan orang-orang yang ada di lapangan. Sebenarnya dari dulu pun, bukankah sudah bisa dilakukan?
Iya, sih.
Cuma memang mengubah kebiasaan itu susah. Terkadang sistem yang sudah tua, kalau tidak dipaksa oleh keadaan, dia tidak mau berubah. Apalagi beberapa orang, rasanya belum sreg, belum mak nyos, kalau belum melihat ahlinya datang secara langsung.
Perkembangan teknologi memang menghadirkan berbagai kemudahan. Sayangnya juga menyimpan ancaman.
Setelah merasakan mudahnya memeriksakan kondisi anak saya dengan layanan dokter online, maka terbayang juga saya, seandainya dokter online ini digantikan oleh A.I. bagaimana?Â
Dengan database yang lengkap tentang gejala dan diagnosanya + kemampuan pengolahan citra yang cukup bagus, apa yang dilakukan dokter yang cantik tadi untuk anak saya, bisa dengan mudah dikerjakan oleh sebuah program A.I.
Dan itu sudah bukan sesuatu yang hanya angan-angan belaka. Kemampuan A.I. untuk mengolah citra dan mengenali pola sudah sangat teruji. Rasa-rasanya tinggal setapak lagi, dokter online bisa-bisa digantikan oleh sebuah A.I.
Apakah itu akan menjadi kenyataan? Wallahualam, hanya saja, sebagai orang yang tahu sedikit mengenai dunia A.I., saya berpikir dari sisi teknologinya sendiri, hal itu sangat dimungkinkan.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI