Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola dan Berbagai Kemungkinannya di Alam Metaverse

8 Januari 2022   08:26 Diperbarui: 9 Januari 2022   12:12 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Metaverse, sumber: kompas.com

Bagaimana jika suatu saat, seseorang bisa merasakan langsung atmosfer pertandingan sepak bola dari stadion yang berjarak ribuan kilometer, tanpa perlu menempuh perjalanan berjam-jam dari kota asalnya?

Atau bagaimana juga kalau suatu hari, para pesepak bola bisa bertanding melawan tim pesepak bola lain dari kamar tidurnya sendiri, tanpa perlu hadir di atas lapangan, namun tetap tak kehilangan tensi pertandingan?

Di masa lalu, untuk menyaksikan secara langsung pertandingan sepak bola dari rumah, teknologi melakukannya dengan mentransmisikan gelombang radio, hingga yang paling modern, memindahkan data siarannya bit per bit melalui internet.

Di masa depan, atau boleh saya katakan "sebentar lagi", yang berpindah dan ditransmisikan melalui konektivitas internet sudah bukan lagi 'siarannya', melainkan adalah kita yang dipindahkan ke dalam stadion.

Apa yang saya ungkappdkan tadi, secara teknis bisa benar-benar terjadi. Hanya saja ia tak terjadi pada semesta konvensional yang selama ini kita tahu. Ia kelak bakal eksis pada semesta lain yang berlangsung bersamaan dengan semesta kita. Detik per detik.

Semesta alternatif, atau lebih kita kenal sebagai Metaverse, ialah semesta yang wujud dan isinya melampaui wujud dari semesta kita yang sudah ada.

Kita bisa menyeberang, bahkan menetap di dalamnya. Namun kita juga tak kehilangan kendali, atas semesta kita yang sudah terlebih dulu ada.

Tak ubahnya di media sosial, di metaverse kita bisa memilih untuk menjadi unik sebagai diri kita sendiri, atau kita bisa memfabrikasi diri kita, sesuai dengan yang kita harapkan terjadi pada diri kita.

Spesifik di sepak bola, metaverse sesungguhnya hanyalah salah satu produk dari sains terapan, yang kelak akan membuat bidang ini, bertransformasi menuju bentuknya yang paling memiliki relevansi dengan arah zaman.

Sekalipun sifatnya masih 'meta', yang artinya masih mengawang-awang. Tetapi semesta alternatif ini, akan tumbuh besar dan memiliki banyak sekali pesona yang sulit diabaikan.

Setelah melewati banyak etape, dari mulai revolusi industri, perang dunia, era penyiaran analog ke penyiaran digital. Penghitungan statistik manual, ke komputasi digital, lalu beranjak ke penghitungan otomatis via kecerdasan artifisial. Sepak bola sebenarnya telah melewati rangkaian evolusi, yang membuatnya tampak sebagai wujud sepak bola hari ini. Sepak bola modern.

Teknologi terus berkembang. Maka suka ataupun tidak, sepak bola pun akan mengikuti orbit kemajuan teknologi, setapak demi setapak.

Di Liga Italia Serie A, perkawinan antara teknologi dan sepak bola, telah berada satu langkah di depan kompetisi-kompetisi lain di seluruh dunia.

Di liga ini, teknologi kecerdasan buatan sudah dipakai penerapannya tidak hanya dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemain terbaik, ia juga mampu mempertanggung jawabkannya dengan penyajian data-data statistik per pemain yang terukur, serta sangat akuntabel.

Bahkan jika tak menjadi polemik ketika itu, di awal-awal pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu, penghitungan algoritmik juga nyaris dipakai sebagai penentu klub yang keluar sebagai juara di Liga Italia.

Jika pada level teknis, sepak bola sudah berevolusi menjadi secanggih itu. Maka pada tataran yang lebih luas lagi, sepak bola hari ini semestinya juga tengah bersiap, melakukan migrasi menuju sebuah ekosistem baru, yang kelak menuntut sepak bola itu sendiri menemukan bentuknya yang paling ideal.

Imajinasi saya melayang-layang, membayangkan bagaimana nantinya sepak bola bisa hidup dalam semesta alternatif.

Akan menakjubkan sekali rasanya bagi para penggemar, bisa merasakan atmosfer pertandingan besar di stadion impian dari kamar tidur mereka sendiri, cuma bermodal perangkat kacamata realitas virtual.

Beberapa waktu lalu, Justin Bieber telah membuktikan kepada kita, bahwa konser musik saja bisa ditransmisikan ke dalam semesta alternatif, yang di dalamnya memungkinkan kita saling berinteraksi dalam wujud avatar. Maka secara teknis, sepak bola pun juga memungkinkan untuk ditransmisikan ke dalam medium yang sama.

Singkatnya, para pesepakbola akan bertanding di sebuah lapangan virtual dengan mengenakan perangkat tertentu, yang menciptakan keterhubungan dengan avatar diri mereka sendiri di dunia holografik, semesta alternatif.

Di medium itu juga, keberadaan kita yang diproyeksikan oleh avatar-avatar yang mewakili diri kita sendiri, larut pada gegap-gempita, seolah tengah menonton langsung pertandingan dari stadion sungguhan, padahal kita tidak ke mana-mana.

Ya, semesta yang melampaui imajinasi kita itu memang memungkinkan kita

untuk menjelajahi tempat-tempat unik, di seluruh dunia, tanpa perlu mengharuskan kita beranjak dari tempat kita berada sekarang.

Bayangkan juga bila suatu klub sepak bola bisa bertanding tanpa perlu bepergian ke kota, atau pun ke negara lain. Akan ada banyak ongkos yang bisa dihemat. Sementara klub-klub tetap tak kehilangan pendapatan, sebab pemasukan tiket bisa didapat dari stadion virtual.

Metaverse tidak hanya menjanjikan desain model bisnis baru bagi seluruh klub sepak bola, ia juga menawarkan konsep anyar terhadap bentuk sepak bola itu sendiri.

Akan tetapi dalam sebuah ekosistem baru, tentu akan ada ancaman guncangan peradaban, dari mereka yang secara intelijensia maupun psikologis, tidak cukup adaptif pada nilai-nilai yang baru.

Semesta alternatif bisa saja menjadi ekosistem sepak bola baru yang ramah dan menyenangkan. Namun sangat mungkin juga mengalami distraksi secara sosial oleh sebab perilaku segelintir orang.

Medium bisa saja berganti, namun jika perilakunya masih tetap sama, tentu ini sama saja dengan memindahkan bencana sosial dari satu tempat, ke tempat yang lain.

Mereka yang terbiasa pada lingkup paparan toksik fanatisme buta dan sempit, sangat mungkin melihat semesta alternatif adalah habitat ideal, untuk melebarkan eksistensi toksiknya menjadi lebih luas.

Gejala-gejala itu tampak jelas mengelilingi lingkar jejaring di mana kita berinteraksi sekarang. Perundungan siber, perilaku rasis, seksis, dan semacamnya, tampak jelas terjadi di depan hidung kita sendiri. Media sosial dan grup perpesanan menjadi contoh paling dekat.

Kenikmatan berlindung pada anonimitas, terlebih sensasi menjadi superior oleh sebab dipertemukan dengan banyak orang berpola algoritmik sama, pelan tapi pasti, akan menciptakan gelembung-gelembung perangkap, yang menyamarkan perilaku zalim menjadi lazim.

Parahnya lagi, seolah belum cukup menjadi sumber toksik pada satu ranah, orang-orang ini akan berpindah pada ranah lain yang secara perlahan menjadi sebuah episentrum baru, episentrum merusak, ganas, serta tak tertanggulangi. Ironisnya perilaku ini dilakukan secara sadar dan penuh kebanggaan.

Kita tentu tak ingin, semesta alternatif yang tengah kita gagas sekarang, malah menjadi tempat bising dan primitif. Bukankah itu sama saja dengan fenomena para pengonar yang mengibarkan bendera-bendera kebencian, dari tribun lengkung utara dan selatan di stadion-stadion pada semesta kita hari ini?

Kita juga tak mau, jika hal yang sama terjadi juga pada bidang-bidang kehidupan yang lain. Dunia ini sudah cukup rusak, sementara gerakan moral alternatif, yang mampu menekan laju pengerusakan tadi, justru kalah amplifikasinya dengan si perusak.

Sepak bola dalam tataran semesta alternatif, perlu kita lindungi dari jemari-jemari jahat, mereka yang hidup berbahagia dengan atribusi kebencian.

Pemain harus bisa bertanding dalam atmosfer yang sehat, bukan dalam intensi tekanan intimidatif dan perundungan dari suporter. Sementara suporter, juga harus menyadari bahwa kualitas pertandingan, sangatlah deterministik terhadap perilaku mereka dalam memberikan dukungan.

Apa sulitnya mendukung tim kesayangan tanpa memaki tim lawan? Apakah syarat mendukung tim kesayangan, harus dibarengi dengan menyertakan kebencian kepada tim lawan?

Hanya 1 persen populasi di jagad maya, yang memahami betul pentingnya mitigasi atas segala potensi bencana sosial di ranah digital.

1 persen melawan 99 persen, tentu ibarat sebuah pertarungan yang nyaris mustahil. Namun jika kita terus berjuang dan tak berhenti melawan, orang-orang ini tak akan pernah genap mencapai seratus persen eksistensinya.

Saya percaya, akan selalu saja ada celah yang bisa disusupi oleh para penikmat kebencian di sepak bola. Namun jika kita mau untuk senantiasa tak memberi ruang gerak bagi mereka. Setidaknya kita telah mampu menahan kebencian itu supaya tak menular, atau bahkan mengular.

Metaverse dan sepak bola, memang melesatkan jauh angan-angan kita pada kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terbayangkan.

Meski ia berpotensi memunculkan ancaman baru di masa mendatang, sesungguhnya benih-benihnya itu berada sangat dekat, dan sangat mungkin sekali untuk kita jangkau, terlebih untuk dicegah, diantisipasi. Bukan justru dipupuk, apalagi dipelihara. Sebab kita tentu tak ingin segala sesuatunya menjadi terlambat, kemudian membuat kita terperangkap sekali lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun