Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sepak Bola dan Berbagai Kemungkinannya di Alam Metaverse

8 Januari 2022   08:26 Diperbarui: 9 Januari 2022   12:12 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Metaverse, sumber: kompas.com

untuk menjelajahi tempat-tempat unik, di seluruh dunia, tanpa perlu mengharuskan kita beranjak dari tempat kita berada sekarang.

Bayangkan juga bila suatu klub sepak bola bisa bertanding tanpa perlu bepergian ke kota, atau pun ke negara lain. Akan ada banyak ongkos yang bisa dihemat. Sementara klub-klub tetap tak kehilangan pendapatan, sebab pemasukan tiket bisa didapat dari stadion virtual.

Metaverse tidak hanya menjanjikan desain model bisnis baru bagi seluruh klub sepak bola, ia juga menawarkan konsep anyar terhadap bentuk sepak bola itu sendiri.

Akan tetapi dalam sebuah ekosistem baru, tentu akan ada ancaman guncangan peradaban, dari mereka yang secara intelijensia maupun psikologis, tidak cukup adaptif pada nilai-nilai yang baru.

Semesta alternatif bisa saja menjadi ekosistem sepak bola baru yang ramah dan menyenangkan. Namun sangat mungkin juga mengalami distraksi secara sosial oleh sebab perilaku segelintir orang.

Medium bisa saja berganti, namun jika perilakunya masih tetap sama, tentu ini sama saja dengan memindahkan bencana sosial dari satu tempat, ke tempat yang lain.

Mereka yang terbiasa pada lingkup paparan toksik fanatisme buta dan sempit, sangat mungkin melihat semesta alternatif adalah habitat ideal, untuk melebarkan eksistensi toksiknya menjadi lebih luas.

Gejala-gejala itu tampak jelas mengelilingi lingkar jejaring di mana kita berinteraksi sekarang. Perundungan siber, perilaku rasis, seksis, dan semacamnya, tampak jelas terjadi di depan hidung kita sendiri. Media sosial dan grup perpesanan menjadi contoh paling dekat.

Kenikmatan berlindung pada anonimitas, terlebih sensasi menjadi superior oleh sebab dipertemukan dengan banyak orang berpola algoritmik sama, pelan tapi pasti, akan menciptakan gelembung-gelembung perangkap, yang menyamarkan perilaku zalim menjadi lazim.

Parahnya lagi, seolah belum cukup menjadi sumber toksik pada satu ranah, orang-orang ini akan berpindah pada ranah lain yang secara perlahan menjadi sebuah episentrum baru, episentrum merusak, ganas, serta tak tertanggulangi. Ironisnya perilaku ini dilakukan secara sadar dan penuh kebanggaan.

Kita tentu tak ingin, semesta alternatif yang tengah kita gagas sekarang, malah menjadi tempat bising dan primitif. Bukankah itu sama saja dengan fenomena para pengonar yang mengibarkan bendera-bendera kebencian, dari tribun lengkung utara dan selatan di stadion-stadion pada semesta kita hari ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun