Malam terakhir, kami menginap di rumah Pak Taufik Nadjamuddin, petugas taman nasional, yang asli Pinogu dan tinggal di desa paling ujung, Dataran Hijau.
Kami dijamu dengan masakan beraroma khas minyak kelapa kampung. Setelahnya, kami menikmati suguhan kopi Pinogu yang terkenal itu, paduan antara robusta dan liberika, yang konon merupakan bagian peninggalan masa tanam paksa VOC di Gorontalo, sejak 1875.
Menikmati kopi sambil membaca dan mendengar sejarah Pinogu. Legenda Raja Bangio dan kedua anaknya Mo'odulio dan Mo'oduto. Cerita yang diteruskan turun temurun bagi warga Pinogu dan Gorontalo, layaknya benda pusaka nan sakti.
Pagi ini, kami akan kembali ke Desa Tulabolo dan terus sampai ke Kota Gorontalo. Sejak semalam, pak Taufik sudah menghubungi belasan tukang ojek untuk mengantar kami. Dan, sebelum pukul delapan, ojek-ojek sudah riuh di depan rumah Pak Taufik.
"Seratus lima puluh ribu kalau dari Pinogu ke Tulabolo, tapi bisa sampai 300 ribu kalau dari Tulabolo ke Pinogu sini," terang Pak Taufik tentang ongkos ojek ini.Â
"Rata-rata, tukang ojek ini warga Tulabolo, jadi mereka pasang tarif lebih murah kalau dari sini, hitung-hitung daripada kembali kosong," jelas beliau lebih lanjut.
Hawa telah memanas ketika kami mulai bersiap packing. Tas-tas ransel kami dibungkus plastik dan diletakkan di depan atau belakang motor. Kami dan pengojek, sisip-sisip di antaranya.
Motor-motor ini sebenarnya motor bebek biasa, namun para tukang ojek ini telah memodifikasi motor-motor tersebut serupa motor trail. Ini diperlukan, karena memang jalur ojek yang akan kami tempuh, lebih banyak berkubang tanah daripada melewati jalan yang sebagiannya telah dirabat beton.
Akhirnya motor berjalan beriringan. Saya sendiri dijokikan oleh Ardin, kawan saya tadi.