Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketinting, Kapal Layar, dan Kehidupan Desa Pesisir

2 September 2021   14:36 Diperbarui: 4 September 2021   11:48 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal layar nelayan (foto: Evaschlomberg dari https://pixabay.com)  

2006. Kepulauan Tanimbar, Maluku

Ketika berada di Kepulauan Tanimbar belasan tahun silam,  laut benar-benar menjadi tetangga maupun halaman rumah kami. Rumah tempat kami bekerja sekaligus tinggal sedikit di atas bukit kecil yang menghadap langsung ke Teluk Yamdena. 

Beberapa sudut teluk terlihat biru maupun toska mempesona. Setiap kami ke desa atau daerah mana pun, hampir semuanya kami lakukan dengan menggunakan sarana perahu atau kapal, baik besar maupun kecil, besi maupun kayu, dengan mesin tempel modern maupun ketinting, bahkan mendayung maupun menggunakan tenaga angin alias perahu layar.

---

Suatu ketika kami mengunjungi beberapa desa di sisi barat Pulau Yamdena, pulau terbesar di Kepulauan Tanimbar, Maluku. Kami menghabiskan beberapa malam di Wunlah, desa sebagai ibu kota Kecamatan Wuarlabobar, barat laut Yamdena. 

Jangan bayangkan ibu kota kecamatan layaknya lokasi lain, terlebih di Jawa. Kecamatan ini, saat 2006 lalu masih merupakan kecamatan baru, pemekaran dari Kecamatan Tanimbar Utara. 

Sehingga apa yang disebut sebagai ibu kota kecamatan adalah hanya ditandai dengan adanya Pak Camat dan kantornya yang masih baru. Itu pun belum ditempati.

Hampir seluruh desa di Tanimbar adalah desa pantai, sehingga transportasi laut saat itu merupakan sarana utama yang menghubungkan antar desa.

Namun kabarnya saat ini telah terdapat jalan darat yang cukup baik sehingga transportasi antar desa dapat menggunakan sepeda motor bahkan mobil untuk banyak tempat.

Baca juga: Angin Barat, Kapal Kayu, dan Yamdena

Pada awal-awal di Kepulauan Tanimbar ini, ketika kami sedang menuju suatu desa, teman kami yang asli Yamdena pernah mengatakan, "kalau katong ke desa, cara mencari rumah bapak kaya gampang sekali". Bapak kaya adalah sebutan untuk kepala desa.

"Tinggal tanya saja ke salah satu orang desa", timpal saya.

"Tidak perlu" katanya, "bahkan katong su tahu ketika masih di laut". Maksudnya adalah, ketika kapal kami belum merapat ke dermaga desa sekali pun, tanpa harus bertanya kepada siapa pun, kita sudah dapat memperkirakan posisi rumah kepala desa.

"Mmmmm, bagaimana?" akhirnya saya bertanya.

"Lihat saja itu" teman saya sambil menunjuk sesuatu ke arah permukiman desa. "Itu antena radio, pasti itu di rumah bapak kaya", maksudnya adalah antena radio SSB atau Single Side Band, yaitu alat komunikasi yang menggunakan frekuensi radio. Ternyata memang, setiap rumah kepala desa di Kepulauan Tanimbar ini, pada masa itu, akan dipasang antena SSB yang cukup menjulang, sehingga akan mudah dilihat dari arah laut.

Alat komunikasi SSB ini sangat efektif saat itu dalam bertukar informasi antar desa maupun dengan pihak kecamatan. Handphone saat itu memang sudah ada, namun hanya sebagian kecil area yang dapat terjangkau sinyalnya. Nah, posisi antena radio SSB inilah navigasi kita menuju rumah kepala desa.

Di setiap kantor kecamatan, pemerintah daerah juga saat itu menyediakan kendaraan dinas. Namun cukup unik. Kendaraan dinas Camat adalah speedboat fiber kecil (dapat muat sekitar 5-8 orang) dengan mesin motor tempel 40PK. Waw!

Ketika berada di desa yang kebetulan juga sebagai ibu kota kecamatan, biasanya kami "meminjam" speedboat camat ini untuk mobilisasi antar desa. Meminjam karena kendaraan ini memang tidak bisa disewakan, kan memang kendaraan dinas. 

Kami cukup membeli bahan bakar dan memberikan sedikit uang untuk operator speedboat yang membawa kami. Maka, jika kendaraan dinas ini sedang tidak dipakai oleh pihak kecamatan, kami dapat "meminjam" dengan cara demikian.

Suatu kali di Desa Wunlah ini, speedboat camat sedang tidak ditempat. Maka kami blusukan mencari sewaan perahu dan mesin ketinting untuk mengantar kami antar desa. 

Biasanya kami akan menyewa sekali jalan ke satu desa. Nanti kami kembali ke Desa Wunlah dengan cara yang sama, mencari sewaan perahu dan mesin ketinting di desa target kami.

Mesin ketinting adalah sebutan untuk mesin penggerak perahu yang sifatnya dapat lepas pasang seperti mesin tempel namun versi yang lebih merakyat. Mesin motor ini biasanya berukuran persegi sekitar [30x30x30] sentimeter. 

Perangkat ini biasanya diletakkan pada papan yang dipasang melintang bagian atas perahu di bagian agak belakang. Mesin akan terhubung dengan tuas sekitar dua meter yang ujungnya berupa baling-baling. 

Jadi ketika mesin telah menyala dan baling-baling berputar, tuas segera dimasukkan ke air laut di samping kanan atau kiri perahu, dan perahu akan berjalan.

Mesin ketinting, andalan masyarakat pesisir di banyak tempat di Indonesia sebagai mesin penggerak perahu nelayan. (@Hanom Bashari) 
Mesin ketinting, andalan masyarakat pesisir di banyak tempat di Indonesia sebagai mesin penggerak perahu nelayan. (@Hanom Bashari) 

Karena Wunlah merupakan desa yang cukup besar dengan aktivitas ekonomi yang lumayan menggeliat, tak susah bagi kami untuk mendapatkan perahu dan mesin ketinting-nya. Kami bertiga siang menjelang sore ini akan ke desa tetangga, sedikit ke arah selatan, hanya sekitar lima kilometer.

Perahu yang kami dapat adalah model kole-kole yaitu perahu tanpa cadik. Dengan lincah, pemuda operator perahu kami menggerakkan perahu membelah teluk kecil berair tenang. 

Air laut yang hijau toska menandakan perairan teluk ini cukup dangkal. Andaikan perahu ini bergerak cukup lambat, maka kita dapat sedikit menikmati karang-karang dengan warna warni indah yang terhampar manja.

Perahu tanpa cadik memang terkenal lebih gesit dalam bermanuver membelah gelombang, lebih cocok untuk bergerak cepat daripada lambat . Angin terasa sedikit kencang karena lajunya perahu kami. Singkatnya, kami lancar jaya sampai ke desa target.

Sesampainya di desa target (saya tidak ingin menyebut nama desa ini), kami pun seperti biasa langsung ketemu Kepala Desa dan segera menyelenggarakan pertemuan warga untuk penyampaian informasi mengenai pelestarian hutan dan satwa di Kepulauan Tanimbar ini. 

Informasi acara ini memang sudah disampaikan sebelumnya ke kepala desa, ya dengan sarana alat komunikasi radio SSB tadi. Acara pun memang sengaja diselenggarakan sore hari, agar tidak terlalu mengganggu kesibukan rutin warga desa.

Setelah kegiatan selesai, kami pun masih berada di rumah kepala desa. Berbincang sejenak tentang berbagai hal, dan akhirnya kami ungkapkan juga. "Bapak kaya, ada perahu dan ketinting yang bisa kami sewa untuk antar kami kembali ke Wunlah".

"Ooo, perahu tadi tidak menunggu?", balas kepala desa.

"Tidak bapak, dorang langsung balik, biar kami nanti cari perahu di sini saja, daripada dorang suruh tunggu lama". Sesungguhnya juga agar kami dapat menyewa perahu ke lebih banyak orang, sehingga uang project pun tidak mengalir ke orang itu-itu saja.

Kepala desa terlihat agak bingung dengan situasi seperti ini. Akhirnya beliau menyuruh seseorang untuk mencari apa yang kami butuhkan tersebut. Tidak berapa lama, orang tersebut kembali dan melapor ke kepala desa. 

Akhirnya kepala desa mengatakan kepada kami, bahwa hanya ada dua atau tiga mesin ketinting di desa ini, tapi semuanya sudah lama rusak. Kalau perahu banyak.

Wah, bagaimana kami kembali ini, pikir saya. Sedangkan tidak ada persiapan juga untuk menginap.

"Lalu bagaimana mereka hari-hari ke laut mencari ikan", kami bertanya.

"Kami biasa menggunakan layar. Hampir semua perahu di sini punya layar". Ya, memang dengan layar dan angin sebagai tenaga penggerak, setidaknya juga tidak dibutuhkan biaya bahan bakar.

"Baiklah bapak, tidak masalah. Apakah kami bisa pakai perahu layar tersebut untuk kembali ke Wunlah?" ungkap kami.

Akhirnya kepala desa kembali menyuruh orang tadi untuk memanggil dua warga segera menghadap. Setelah mereka datang, kepala desa menyampaikan keperluannya, yaitu meminta tolong mereka untuk mengantar kami ke Desa Wunlah.

"Begini Pak", kepala desa menjelaskan kembali kepada kami. "Sebaiknya kita menggunakan dua perahu. Sore ini meti (air surut), jadi tidak bisa kapal berisi banyak orang, nanti akan kandas". Kami jelas menuruti saran tersebut.

Setelah pamit, kami bertiga segera bergegas menuju pantai. Dua pemuda tadi sudah lebih dahulu di sana untuk menyiapkan perahu-perahu mereka. Di pantai, cahaya jingga di cakrawala barat sudah mulai meredup, bahkan matahari sepertinya telah tenggelam.

Sementara pemuda-pemuda tadi menyiapkan layar, kami pun segera berbagi. Karena bertiga, dua yang paling ringan dari kami akan bersama kapal dengan pemuda pembawa perahu yang paling ringan juga, sedangkan teman kami yang "dianggap" paling berat akan naik bersama pembawa perahu yang dianggap paling berat juga.

Setelah persiapan selesai, kami take-off. Layar terkembang dan kapal kecil kami melaju dengan tiupan angin yang memang kencang. 

Saya berpikir, kalau angin seperti ini, tentu kapal layar akan mudah sekali beroperasi. Bahkan kecepatannya mungkin bisa lebih cepat dari perahu yang menggunakan mesin ketinting.

Kami beriringan melaju ke utara. Cahaya temaram mulai menghilangkan warna laut toska yang semakin buram, yang sungguh, teluk dangkal ini sangat indah jika dinikmati dengan cahaya yang lebih terang. Laut teduh dan pembawa perahu kami terlihat sangat cekatan mengatur arah layar dan kemudi sehingga kami berjalan sesuai arah arah yang dituju.

Akhirnya kami sampai ke Desa Wunlah ketika gelap sudah hampir sempurna. Setelah kami memberikan sedikit uang ke masing-masing pemuda itu, kami tanyakan, bagaimana mereka kembali ke desa dalam malam begini, apakah tetap akan kembali. 

"Seng masalah, gampang" jawab bagi mereka. Kami pun mengamati mereka kembali berlayar kemudian tak lama kami pun segera berjalan ke rumah tempat menumpang inap di desa ini.

Pengalaman menaiki kapal layar nelayan seperti ini adalah yang pertama bagi saya, dan sampai sekarang masih yang terakhir. Ya, memang bukan kapal layar mewah seperti yacht. 

Tapi bagi saya cukup menarik, menantang, dan mengasyikkan, karena sebenarnya kami didukung oleh laut yang sedang teduh dan angin yang cukup. Mungkin cerita akan berbeda jika air sedang pasang dan ombak meraja.

Saya sebelumnya berpikir. Mesin ketinting adalah hal yang sangat umum di tiap desa, sehingga tidak pernah ada kekhawatiran kami tidak mendapat perahu dan mesin ketinting di tiap desa pantai seperti ini. Mesin ketinting bagi sebagian besar penduduk desa adalah modal usaha keluarga untuk melaut.

Memang jelas tidak semua rumah tangga di desa pantai memiliki mesin ketinting ini, karena ada juga yang berusaha dari hasil-hasil kebun mereka atau wisausaha lain. Namun mungkin ibarat sepeda motor pada saat ini. Tidak ada di suatu desa saat ini yang di desanya, tidak ada satu pun sepeda motor.

Perahu dengan menggunakan mesin ketinting merupakan salah satu sarana transportasi utama di desa-desa Kepulauan Tanimbar. (@Hanom Bashari) 
Perahu dengan menggunakan mesin ketinting merupakan salah satu sarana transportasi utama di desa-desa Kepulauan Tanimbar. (@Hanom Bashari) 

Namun kenyataan di desa yang baru saja kami kunjungi sungguh membuat saya tersadar. Bahkan untuk modal penting mencari ikan saja, mereka sangat susah. Saya yakin saat itu, mungkin di desa tersebut juga gelap gulita saat malam. 

Hampir pasti hanya sedikit orang yang mempunyai mesin gen-set untuk listrik, karena secara logika, mesin ketinting lebih penting daripada mesin gen-set untuk listrik harian. Jadi jika mesin ketinting saja tidak ada, mungkin tidak ada juga pemilik mesin gen-set untuk listrik.

Apakah mereka miskin, mungkin belum tentu juga dan sangat relatif. Bisa jadi untuk kebutuhan hidup, mereka sudah merasa cukup. Pada kesempatan lain di beberapa desa, kami dapat menginap sampai beberapa malam. 

Walaupun beras bukan merupakan makanan pokok dan rutin, namun sebagian besar warga di Tanimbar  tetap cukup untuk makan dengan berbagai sumber pangan karbohidrat lain, seperti umbi-umbian, pisang, jagung, sagu, dan sebagainya.

Kami pun berefleksi. Apa yang kami sampaikan kepada warga tadi. Untuk apa itu semua. Mengajak mereka untuk menjaga alam, hutan, dan satwa mereka. 

Tapi sebenarnya kami tidak memberikan harapan kehidupan kepada mereka lebih baik. Kami hanya pandai berbicara mengawang-awang, padahal mereka lebih butuh modal usaha untuk meningkatkan kehidupan mereka. 

Toh, hutan dan isinya tersebut juga tidak pernah mereka usik, kecuali hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saja.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun