Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gunung Merapi: Wisata yang Mencampur Aduk Perasaan

7 Oktober 2016   10:22 Diperbarui: 7 Oktober 2016   10:43 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 September, saya berkunjung ke Yogyakarta dalam rangka wisata. Perjalanannya sendiri dimulai sehari sebelumnya yaitu pada pukul delapan malam, karena domisili saya di Kediri, Jawa Timur.

Wisata ini sebenarnya dalam rangka liburan tahunan dari kantor mama, tapi berhubung kursi busnya ada yang sisa, saya dan adik akhirnya bisa ikut. Untuk tempat tujuannya sendiri, ada tiga yakni candi Prambanan, gunung Merapi, dan Malioboro. Di antara ketiganya, saya paling terkesan pada tempat tujuan kedua, selain memang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Pukul empat pagi, rombongan sampai di ibu kota Jawa Tengah dan disambut hujan yang cukup deras. Begitu turun dari bus, orang-orang bergegas mengambil tas dalam bagasi lantas segera memasuki rumah makan Grafika. Sarapan baru akan terhidang dua jam kemudian, jadi mandi dan sholat adalah kegiatan yang dilakukan untuk menunggu.

Kurang dari jam tujuh, kami tiba di Prambanan dan masing-masing mulai berfoto menggunakan ponsel dengan latar candi tersebut sepuluh menit kemudian. Agenda wisata ini diutamakan di gunung Merapi, jadi kami tidak begitu lama di sini. Setelah berfoto menggunakan jasa pemotret yang sudah disediakan, kami meninggalkan kompleks candi. Berjalan pelan-pelan, kemudian ke toilet dan membeli oleh-oleh untuk menunggu hasil foto, yang bisa diambil di dekat pintu keluar. Harga yang ditebus sebesar 10-15 ribu, entahlah saya kurang ingat. Namun, saya pribadi senang memandangi foto berukuran 10 R tersebut, karena semuanya memakai baju berwarna merah sebagai dresscode. Terlihat kompak pun menarik.

Berpindah dari candi Prambanan ke gunung Merapi diperlukan waktu satu jam lebih. Setibanya di sana, kami sudah disambut berderet mobil off road. Saya sempat ber-oh dalam hati. Jadi, ke puncaknya naik kendaraan khusus medan terjal itu? Sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali. Gunung Merapi, yang lebih tepatnya museum Merapi, tempat yang kami kunjungi, saya kira berada di dataran rendah.

Satu mobil off road bisa diisi lima orang termasuk sang driver. Adik duduk di depan, sementara saya, mama, dan teman mama duduk di belakang. Dasarnya saya dan mama suka naik wahana-wahana yang memacu Adrenalin, maka kami berdua berdiri sambil menyeimbangkan tubuh saat mobil melaju, menerjang medan yang tampaknya mustahil dilalui, tapi nyatanya bisa. Bahkan, pada satu momen, mobil sudah sangat miring dan saya sangat deg-degan. Bagaimana kalau benar-benar terbalik?

 Mengingat tidak ada safety yang diberikan pihak wisata semisal saja pelindung kepala. Tapi, ternyata situasi tersebut hanya gimmick yang dilakukan driver agar perjalanan semakin seru. Saya pun sepakat kalau memang seru, bahkan sangat, karena bisa berteriak-teriak seperti naik roller coaster. Namun, jika dibandingkan, tentu jauh lebih seru ini. Selain tegang, kolaborasi pemandangan dan hawa yang ditawarkan dijamin membuat ketagihan!

Mobil off road tidak lantas menuju puncak, ada dua pemberhentian terlebih dahulu. Pemberhentian pertama adalah museum Merapi. Museum ini tidak seperti pada umumnya, karena bukanlah bangunan yang sengaja dibangun, melainkan sisa-sisa rumah dan barang yang diletakkan secara teratur di dalamnya. Luasnya tidak seberapa, hanya ada empat rumah, di mana rumah terakhir terpisah jarak yang tidak terlalu jauh.

Di dinding luar rumah, ada potret-potret proses meletusnya gunung Merapi, ekspresi sedih korban, bangkai-bangkai kendaraan serta hewan ternak, dan lain sebagainya, yang intinya berkenaan dengan bencana alam tersebut. Entah hanya saya saja, atau yang lainnya juga, melihat potret tersebut membuat dada saya sesak. Saya bisa merasakan kesedihan para korban. Kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta benda.

Semakin memasuki rumah, perasaan saya berubah kagum. Peralatan-peralatan rumah tangga yang leleh lantaran wedus gembel atau hawa panas yang dikeluarkan gunung Merapi, justru tampak lebih artistik. Lalu, tulang-tulang sapi yang digantung dan disatukan utuh, membuat saya teringat museum purbakala. Sayangnya, perasaan kagum saya terhenti seketika saat memasuki rumah terakhir.

Begitu melewati pintu, dada saya sesak lagi, bahkan kali ini lebih hebat. Di dekat pintu ada rak yang berisi buku-buku. Saya iseng menyentuhnya dan kontan merasakan perasaan yang aneh. Di hati prihatin, tapi bibir malah tersenyum. Beberapa langkah dari situ, ada sebuah ruangan, yang mungkin dulunya adalah kamar. 

Saya menyembulkan kepala ke ruangan yang dipenuhi gundukan abu vulkanik tersebut. Anehnya, meski sangat singkat, di pikiran saya tergambar atau seperti reka adegan tentang bagaimana paniknya, takutnya, para korban saat datangnya bencana alam tersebut. Tidak lama setelahnya, saya memutuskan untuk keluar dari sana. Hidung rasanya sudah susah bernapas. Di luar, udara segar akhirnya kembali memenuhi paru-paru.

Perjalanan dilanjutkan kembali. Perasaan-perasaan kalut sudah sirna, karena medan yang dilalui lebih ekstrim. Guncangan makin hebat, tubuh oleng tidak keruan, sampai jatuh terduduk dan topi saya terbang. Untung saja tersangkut di pojok tempat duduk. Mungkin, tadi sempat ditangkap teman mama yang sedari tadi duduk meringkuk lantaran takut, sambil sesekali menyuruh sang driver menurunkan kecepatan. Beliau bahkan bercanda kalau sedang hamil. Padahal, sebelum berangkat, sudah dijelaskan larangan tentang hal tersebut.

Pemberhentian selanjutnya adalah tempat di mana batu Alien berada. Batu ini sudah terkenal, bahkan pernah diliput televisi dan saat itu saya menyaksikan. Off road driver kami menjelaskan bagian-bagian muka dari batu hasil muntahan gunung Merapi tersebut. Sementara tourguide menjelaskannya menggunakan bahasa Inggris pada turis-turis mancanegara.

Setelah penjelasannya selesai, saya ber-selfiedi depan batu unik tersebut. Hasil foto saya sangat bagus, apalagi awannya. Bergumpal-gumpal, namun memiliki bentuk yang teratur. Birunya langit turut mempercantik lukisan alam itu. Sayangnya, angle-nya kurang tepat, jadi wajah saya jadi semakin bulat. Hahaha. Abaikan.

Kemudian, kami berjalan-jalan di sekitar sana. Beberapa meter dari jurang, saya mendapati seorang ibu-ibu yang menjual segenggam bunga Edelweiss. Niatnya ingin membeli, tapi akhirnya urung, karena menurut saya sangat mahal. Harga yang harus ditebus adalah 100 ribu! Dengan senyum, saya membatalkannya, kemudian beranjak dari sana. Saya makin mendekati jurang, berdiri dekat pagar bambu pembatas.

Di dasar jurang sana ada aktivitas pengerukan pasir, pun di sepanjang jalan menuju museum Merapi tadi. Pasir di sana berbeda dengan biasanya, karena berwarna hitam pekat. Lalu, salah satu teman mama memaparkan sambil memberikan gerakan tangan, “ini dulunya perkampungan, tapi sekarang sudah luluh lantak seperti ini. Rata dengan pasir.”

Saya menelan ludah kering. Betapa dahsyatnya letusan gunung Merapi ini! Jalan yang mulai dilalui mobil off road pun dulunya adalah perkampungan, tapi sekarang seperti hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang dan banyak ditumbuhi rumput-rumput gajah. Saya menjumpai wanita dan laki-laki lansia yang angon

Ada juga yang sudah menggendong sekarung penuh rumput dan bersiap pulang. Kata sang driver, merekalah orang-orang yang tidak mau direlokasi dan tetap memilih tinggal di sana. Tapi, satu hal yang bisa saya tangkap dari senyum mereka saat saya melakukan kontak mata. Mereka nerimo, mereka cukup, mereka bahagia. Kalau saya tinggal di sini, saya rasa akan betah, tapi tidak untuk sinyal. Mulai memasuki kawasan gunung Merapi sampai di sini, tidak ada sinyal sedikit pun di ponsel saya!

Di dataran yang lebih tinggi lagi, tepatnya di bunker Kaliadem, tempat evakuasi warga setempat saat gunung Merapi meletus, seketika sinyal ponsel saya penuh kembali. Kalau dibilang puncak gunung tersebut, tempat ini bukanlah puncak tertingginya. Meski begitu, udara di sini cukup dingin dan berkabut. Bunga Edelweiss tumbuh di mana-mana. Saya ingin mencabut beberapa batang, tapi dilarang oleh mama. Jangan sembarangan, itu saja alasannya. Mengingat wisata ini masih ada kaitannya dengan hal-hal berbau mistis.

Bunker Kaliadem terletak sedikit menjorok ke bawah, sementara di atasnya ada tulisan tempat ini, berwarna oranye. Visualisasinya tidak jauh berbeda dengan tulisan Holywood. Dari sini, gunung Merapi tampak jelas meski diselimuti kabut. Setelah lelah berfoto, saya, adik, dan Mama “menuruni” tempat ini, menuju lapak-lapak penjual. Papa sempat berpesan kalau ingin kaus bergambar mbah Maridjan.

Saat mama dan adik sibuk memilih-milih, saya terduduk sambil membenarkan kunciran. Di depan lapak yang kami sambangi, ada segerombol turis asal Korea yang didampingi tour guidesedang memilih-milih sesuatu. Kemudian, salah satu dari mereka tersenyum pada saya saat mata kami tidak sengaja bertemu. Saya menoleh ke belakang, memastikan kalau saja oppa(sebutan kakak laki-laki) itu tersenyum pada orang lain. Namun, ternyata senyum itu memang ditujukan untuk saya. Saya pun membalasnya sambil mengangguk.

 Berakhirlah wisata kami di Gunung Merapi. Kami pun beranjak ke Paradise Resto untuk makan siang, mandi, sholat ashar, kemudian ke Malioboro. Di tempat yang terkenal akan produk khas Yogyakarta yang murah itu, saya merencanakan pertemuan dengan saudara yang tinggal di dekat situ.

 Rombongan berpencar sendiri-sendiri dan berkumpul di parkiran bus sekitar jam tujuh malam. Setelahnya, kami menuju kembali ke rumah makan Grafika untuk makan malam dan sholat Isya. Kira-kira jam setengah sembilan, kami pun bergegas pulang ke Kediri setelah mengunjungi pusat oleh-oleh, agar hari senin sudah bisa masuk kantor.                 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun