Perlindungan anak usia dini merupakan isu yang mendesak dan memerlukan perhatian serius. Anak usia dini adalah kelompok yang paling rentan, tetapi juga memiliki potensi besar dalam membangun peradaban yang maju. Sayangnya, hak mereka kerap terabaikan akibat kemiskinan, kekerasan, serta keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Menurut UNICEF (2023), sekitar 30 persen anak usia dini di negara-negara ASEAN belum mendapatkan akses pendidikan berkualitas. Tantangan ini semakin besar karena kesenjangan sosial dan ekonomi yang mempersempit peluang anak untuk mendapatkan hak-haknya secara optimal.
Penelitian oleh Heckman (2006) menegaskan bahwa investasi pada pendidikan anak usia dini berpengaruh besar terhadap pencapaian akademik dan sosial anak di masa depan. Setiap satu dolar yang diinvestasikan pada pendidikan anak usia dini diproyeksikan menghasilkan keuntungan ekonomi hingga tujuh kali lipat. Sebaliknya, kegagalan memberikan perlindungan optimal pada masa awal kehidupan dapat berdampak panjang terhadap kualitas hidup mereka di masa dewasa.
Praktik Baik yang Menginspirasi
Sejumlah negara ASEAN telah menunjukkan langkah progresif dalam memperkuat perlindungan anak usia dini. Pendekatan berbasis data dan praktik berbasis bukti menjadi kunci keberhasilan mereka.
Di Singapura, program 'First 2000 Days' terbukti efektif meningkatkan literasi anak sebesar 40 persen dan menurunkan keterlambatan perkembangan hingga 30 persen. Program ini juga berkontribusi pada peningkatan kesehatan mental ibu dan bayi melalui edukasi yang berkelanjutan.
Di Indonesia, program 'Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan' yang diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah berhasil meningkatkan kesiapan anak masuk pendidikan dasar hingga 85 persen di wilayah perkotaan dan 72 persen di daerah pedesaan. Program ini juga mendorong keterlibatan orang tua, sehingga anak merasa lebih nyaman dan siap secara emosional saat memasuki jenjang pendidikan dasar.
Di Filipina, inisiatif berbasis komunitas menciptakan pusat belajar yang melibatkan tokoh masyarakat sebagai mentor anak. Program ini tidak hanya meningkatkan kehadiran anak di PAUD, tetapi juga memperkuat pemahaman budaya lokal di kalangan anak-anak.
Tantangan yang Dihadapi
Meski berbagai inovasi telah diterapkan, tantangan besar masih menghambat perlindungan anak usia dini di ASEAN. Kemiskinan yang tinggi membatasi akses anak terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Selain itu, laporan World Bank (2023) mencatat bahwa hanya 45 persen anak usia dini di ASEAN yang memiliki akses stabil terhadap sumber belajar digital. Hal ini memperlebar kesenjangan literasi digital antara kelompok sosial-ekonomi yang berbeda.
Aksi Kolektif untuk Masa Depan yang Lebih Cerah