Di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, setiap Sabtu pagi, sebuah fenomena ekonomi langka terjadi. Di Pasar Barter Wulandoni, uang "simbol utama kapitalisme global " sementara "dilucuti" dari kekuasaannya. Seorang ibu dari Lamalera menawarkan potongan daging paus segar, bukan dengan harga rupiah, melainkan dengan tawaran: "Ema, ike ne hopi muko mo pee" (Mama, ikan ini beli pisangmu itu). Di sisi lain, seorang nenek dari pedalaman Lewuka menawarkan seikat pisangnya, siap ditukar dengan garam atau ikan asin.
Inilah Pasar Barter Wulandoni. Sebuah pasar yang bukan sekadar pasar tradisional, melainkan sistem ekonomi adat berbasis ketahanan pangan yang telah bertahan lebih dari dua abad, bahkan di tengah gempuran ekonomi uang dan globalisasi. Kini, ia menjadi ikon pariwisata budaya nasional dan internasional, sekaligus laboratorium hidup tentang bagaimana komunitas lokal bisa menciptakan ekonomi alternatif yang berkelanjutan.
Nobe & Doni Mata Papa: Dua Titik Sakral yang Menjaga Jiwa Pasar dan Wilayah Ulayat Labala
Di sisi barat pasar, terdapat sebuah batu datar yang dikenal sebagai Nobe. Dalam perspektif antropologi, Nobe adalah nubanara atau batu keramat yang diyakini sebagai tempat duduk leluhur Lera-Wulan. Menurut cerita rakyat, di atas batu inilah para tetua dari suku Lamanudak (Lamalera) dan suku Wukak (Lewuka) mengikrarkan sumpah adat Mula Baja pada awal abad ke-19, menandai kelahiran pasar barter ini.
Namun, ada lapisan makna yang lebih dalam. Secara tutur masyarakat Labala, tanah tempat pasar ini berdiri masih merupakan bagian dari wilayah ulayat tradisional mereka. Batas barat wilayah ini ditandai oleh sebuah toponim sakral nernama Doni Mata Papa. Sebuah kali mati yang terletak persis di gerbang barat Desa Wulandoni.
Nama "Wulandoni" sendiri adalah gabungan dari "Wulan/Wule" (Pasar) dan "Doni" (nama panglima perang Labala). Dengan demikian, keberadaan pasar ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah dan otoritas adat Labala. Nobe dan Doni Mata Papa bersama-sama membentuk sebuah "zona netral sakral", yakni sebuah ruang di mana terjadinya transaksi ekonomi sekaligus menjadi ritual sosial yang memperkuat ikatan togetherness, trust, and harmony antara "orang pantai" dan "orang gunung".
Anatomi Ekonomi Adat: Sistem Monga, Pluit, dan Kekuatan Prewo
Apa yang membuat Pasar Barter Wulandoni begitu unik dan teratur?
- Sistem Hitung Monga (1:6): Satu potong ikan ditukar dengan 6 batang jagung, 6 buah pisang, atau 6 buah ubi. Sistem ini menciptakan kepastian dan keadilan, meskipun secara teknis lebih menguntungkan pihak pesisir.
- Tata Kelola yang Ketat: Transaksi hanya dimulai setelah mandor pasar meniup pluit. Sebelumnya, ia mengumpulkan "bea pasar" berupa barang dari setiap pedagang. Pelanggar aturan akan dikenai sanksi. Ini adalah bentuk self-regulation yang luar biasa efektif.
- Kekuatan Prewo (Langganan): Jaringan prewo (sahabat tanpa hubungan darah) adalah jantung dari sistem ini. Transaksi antar prewo didasarkan pada kepercayaan (trust) yang tinggi, bahkan sering dilakukan secara kredit (danu). Ini adalah bentuk ekonomi yang personal dan berorientasi hubungan, bukan keuntungan semata.
Mengapa Masih Bertahan? Simbiosis, Modal Sosial, dan Strategi Ketahanan Pangan
Di era di mana pasar modern dan e-commerce merajalela, mengapa Pasar Barter Wulandoni tidak hanya bertahan, tapi justru semakin populer?
- Simbiosis Geografis & Ketahanan Pangan: Masyarakat pesisir hidup di tanah tandus yang tidak subur, sehingga sangat bergantung pada hasil pertanian dari pedalaman. Sebaliknya, masyarakat pedalaman membutuhkan protein dari ikan laut. Kebutuhan ini bersifat komplementer, bukan kompetitif, menciptakan ketergantungan mutual yang menjadi pilar ketahanan pangan lokal.
- Modal Sosial yang Kuat: Pasar ini bertahan karena didukung oleh modal sosial atau norma, kepercayaan, dan jaringan hubungan antar-individu yang tercipta secara alami dari tradisi. Nilai-nilai seperti kebersamaan, kekeluargaan, dan saling membantu adalah perekat sosial.
- Perlawanan Budaya yang Damai: Pasar ini adalah bentuk "eksistensi" ala Kierkegaard. Masyarakat pesisir selatan dan masyarakat pegunungan sisi selatan Lembata telah "memilih" untuk tetap mempertahankan sistem barter. Mereka menolak untuk larut dalam arus homogenisasi global. Ia adalah oase ekonomi alternatif di tengah gurun kapitalisme.
Ikon Pariwisata Budaya dan Ancaman Modernitas
Pasar Barter Wulandoni kini bukan hanya urusan lokal. Ia telah menjadi ikon pariwisata budaya nasional dan internasional. Pada tahun 2020, pasar ini dinobatkan sebagai juara nasional untuk kategori pasar tradisional. Wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang bukan hanya untuk menyaksikan transaksi unik, tapi juga untuk merasakan atmosfer budaya yang autentik.
Namun, popularitas membawa tantangan. Arus wisatawan, penetrasi uang tunai, dan hadirnya pedagang non-barter (papalele) yang menjual barang-barang industri, adalah ancaman laten terhadap kemurnian sistem barter. Belum lagi, rencana pembangunan tambang di wilayah Leragere "mitra barter masyarakat pesisir selatan Lembata" yang dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial berbasis resiprositas ini.
Penutup: Warisan Budaya yang Harus Dijaga untuk Masa Depan Indonesia
Pasar Barter Wulandoni, dengan batu Nobe-nya yang sakral dan batas ulayat Doni Mata Papa-nya yang historis, adalah sebuah mahakarya peradaban lokal Indonesia. Ia membuktikan bahwa ekonomi tidak harus selalu tentang uang dan keuntungan maksimal. Ia bisa tentang kepercayaan, keadilan, kelestarian hubungan sosial, dan ketahanan pangan berbasis komunitas.
Bagi pemerintah, pasar ini adalah aset pariwisata budaya unggulan yang dapat menjadi "superior potential" bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Lembata dan Provinsi NTT. Namun, bagi masyarakat Lamalera, Wulandoni, dan Labala, ia adalah napas kehidupan, warisan leluhur yang "tidak bisa dihilangkan oleh siapapun".
Mari kita jaga oase ini. Bukan dengan mengubahnya menjadi taman hiburan komersial, tapi dengan menghormati aturan, ritus, dan semangat adat yang telah membuatnya bertahan selama lebih dari 200 tahun. Karena di tengah dunia yang semakin terkomodifikasi, Pasar Barter Wulandoni adalah pengingat bahwa ada cara lain untuk "ada" dan "bertahan", yakni cara yang berakar pada budaya, komunitas, dan kearifan lokal Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI