Berlayar dengan kapal feri tak selalu soal jarak yang ditempuh, tetapi tentang kejutan-kejutan kecil yang tak terduga. Salah satunya terjadi pada saya dalam sebuah perjalanan lintas pulau di Indonesia timur—sebuah wilayah yang masih menyimpan banyak makna di balik ombaknya.
Pada 14 Oktober 2024, saya naik kapal feri dari Pelabuhan Larantuka menuju Kupang. Ini bukan perjalanan laut pertama saya, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Tiket saya beli secara daring lewat aplikasi Ferizy—sebuah inovasi layanan dari ASDP yang belum pernah saya coba sebelumnya, bahkan ketika pernah naik kapal feri di Sulawesi Tenggara.Â
Nama kapalnya kini telah terlupa, namun suasana malam di geladaknya, suara nyanyian lagu-lagu daerah Flores, dan salam perpisahan sang kapten masih hidup dalam ingatan saya. Di atas kapal itu, diselenggarakan lomba karaoke yang sederhana namun meriah. Lagu-lagu daerah menggema. Penumpang dari berbagai latar berkumpul, tertawa, dan menikmati udara laut dalam suasana kekeluargaan yang hangat.
Yang membuat momen itu begitu istimewa: malam itu adalah pelayaran terakhir kapal tersebut sebelum dipindah tugaskan ke Bitung, Sulawesi Utara. Para awak kapal naik ke geladak, lalu menyampaikan salam perpisahan secara langsung kepada seluruh penumpang. Di tengah riuh hangat, saya merasa menjadi bagian dari satu keluarga besar Nusantara. ASDP bukan sekadar operator transportasi—ia adalah penjaga ruang pertemuan lintas budaya.
Beberapa waktu setelah pelayaran itu, saya kembali dikejutkan oleh penemuan yang tak kalah membekas. Dalam sebuah berita daring, saya membaca tentang dua kapal feri milik ASDP yang melayani rute di wilayah Indonesia timur: KMP Ile Labalekan dan KMP Ile Ape.
Saya tercekat. Dua nama itu sangat akrab di telinga saya. Ile Labalekan dan Ile Ape adalah dua gunung yang menjulang di Pulau Lembata—kampung halaman saya. Keduanya bukan hanya puncak yang terlihat dari kejauhan, tetapi juga bagian dari jiwa kolektif kami, masyarakat Lembata.
Ile Labalekan terletak di bagian selatan, di wilayah Wulandoni. Ia adalah puncak tertinggi di Lembata, dikelilingi hutan adat dan desa-desa tua. Sedangkan Ile Ape berdiri gagah di utara, terkenal karena keaktifannya dan letusan-letusannya yang sesekali mengguncang.
Namun gunung-gunung ini lebih dari sekadar bentang geografis. Mereka adalah bagian dari kehidupan spiritual kami. Di lerengnya para leluhur dimakamkan, di puncaknya kami memanjatkan doa adat, dan dari kaki gunungnya kami menggali air dan tanah untuk bertani.
Melihat nama dua gunung itu menjadi bagian dari armada nasional ASDP membuat saya terharu. Rasanya seperti kampung kami diangkat ke panggung yang lebih luas. Tanpa perlu menjadi pusat perhatian, budaya dan identitas kami ikut berlayar bersama kapal-kapal yang menyatukan Indonesia.