Nama kapal bukan sekadar penanda. Dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk, nama menjadi cara untuk menyampaikan identitas, mengenalkan tempat, dan membangun koneksi batin. KMP Ile Labalekan dan KMP Ile Ape adalah contoh bagaimana kontribusi ASDP untuk rakyat tidak hanya dalam wujud fisik (kapal, dermaga, sistem tiket), tetapi juga dalam bentuk simbolik dan budaya.
Saya merasa, lewat penamaan ini, ASDP Indonesia Fery telah membuka ruang pengakuan atas eksistensi budaya lokal dalam sistem transportasi nasional. Di tengah lalu lintas kendaraan dan orang, ada pula lalu lintas makna.
Slogan Bangga Menyatukan Nusantara bukan sekadar kampanye; ia hidup di atas geladak, di antara penumpang, di antara nama-nama gunung yang mengarungi laut.
Dalam satu pelayaran singkat, saya belajar bahwa Indonesia bukan hanya dilihat dari pusat—Jakarta, Surabaya, atau Makassar—tetapi dirasakan dari tepian: dari pelabuhan kecil, dari perahu-perahu kayu, dari nama-nama yang lahir dari bumi lokal.
Pulau Lembata, bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, terletak di gugusan Kepulauan Solor. Secara geografis, pulau ini memanjang dari barat ke timur, dipisahkan oleh gunung dan dihubungkan oleh laut.
Ile Ape di utara dan Ile Labalekan di selatan bukan hanya dua kutub geografis, tapi juga dua kutub budaya yang hidup dalam keseimbangan.
Lembata dikenal dengan warisan tradisi lamanya seperti sistem perburuan paus di Lamalera, ritual adat di Lewohala, hingga anyaman tenun ikat yang penuh simbol kosmologis. Budaya kami tidak bisa dipisahkan dari alam—gunung, hutan, laut, dan langit menjadi satu kesatuan dalam narasi hidup orang Lembata.
Karena itu, ketika saya melihat kapal-kapal feri dengan nama gunung kami melintasi laut Indonesia, saya melihat mereka bukan hanya sebagai moda transportasi, tetapi sebagai kapal pelestari budaya.
Lebih jauh lagi, di tengah isu perubahan iklim dan krisis lingkungan, keberadaan kapal feri sebagai moda transportasi menjadi sangat relevan. Transportasi darat sering kali menimbulkan dampak ekologis besar, terutama bila pembangunan infrastruktur dilakukan secara agresif di kawasan pesisir dan hutan.
Sebaliknya, jalur laut seperti yang difasilitasi oleh PT ASDP Indonesia Fery, justru bisa menjadi bagian dari solusi. Di wilayah kepulauan seperti NTT, jalur laut bukan sekadar alternatif, tapi satu-satunya pilihan mobilitas yang ramah lingkungan dan efisien.