Mohon tunggu...
Hamdan Hamado
Hamdan Hamado Mohon Tunggu... Pelajar

Pemuda Biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pasar Barter Wulandoni: Ketahanan Pangan & Ekonomi Adat yang Bertahan di Era Global - Sebuah Warisan Budaya di Lembata, NTT, Indonesia

20 September 2025   11:09 Diperbarui: 20 September 2025   11:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Interaksi antara penduduk gunung membawa hasil hutan dan penduduk pantai dengan hasil laut menggambarkan harmonika perdamaian (Sumber: Penulis, 2025)

Di era di mana pasar modern dan e-commerce merajalela, mengapa Pasar Barter Wulandoni tidak hanya bertahan, tapi justru semakin populer?

  • Simbiosis Geografis & Ketahanan Pangan: Masyarakat pesisir hidup di tanah tandus yang tidak subur, sehingga sangat bergantung pada hasil pertanian dari pedalaman. Sebaliknya, masyarakat pedalaman membutuhkan protein dari ikan laut. Kebutuhan ini bersifat komplementer, bukan kompetitif, menciptakan ketergantungan mutual yang menjadi pilar ketahanan pangan lokal.
  • Modal Sosial yang Kuat: Pasar ini bertahan karena didukung oleh modal sosial atau norma, kepercayaan, dan jaringan hubungan antar-individu yang tercipta secara alami dari tradisi. Nilai-nilai seperti kebersamaan, kekeluargaan, dan saling membantu adalah perekat sosial.
  • Perlawanan Budaya yang Damai: Pasar ini adalah bentuk "eksistensi" ala Kierkegaard. Masyarakat pesisir selatan dan masyarakat pegunungan sisi selatan Lembata telah "memilih" untuk tetap mempertahankan sistem barter. Mereka menolak untuk larut dalam arus homogenisasi global. Ia adalah oase ekonomi alternatif di tengah gurun kapitalisme.

Ikon Pariwisata Budaya dan Ancaman Modernitas

Pasar Barter Wulandoni kini bukan hanya urusan lokal. Ia telah menjadi ikon pariwisata budaya nasional dan internasional. Pada tahun 2020, pasar ini dinobatkan sebagai juara nasional untuk kategori pasar tradisional. Wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang bukan hanya untuk menyaksikan transaksi unik, tapi juga untuk merasakan atmosfer budaya yang autentik.

Namun, popularitas membawa tantangan. Arus wisatawan, penetrasi uang tunai, dan hadirnya pedagang non-barter (papalele) yang menjual barang-barang industri, adalah ancaman laten terhadap kemurnian sistem barter. Belum lagi, rencana pembangunan tambang di wilayah Leragere "mitra barter masyarakat pesisir selatan Lembata" yang dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial berbasis resiprositas ini.

 Interaksi antara penduduk gunung membawa hasil hutan dan penduduk pantai dengan hasil laut menggambarkan harmonika perdamaian (Sumber: Penulis, 2025)
 Interaksi antara penduduk gunung membawa hasil hutan dan penduduk pantai dengan hasil laut menggambarkan harmonika perdamaian (Sumber: Penulis, 2025)

Penutup: Warisan Budaya yang Harus Dijaga untuk Masa Depan Indonesia

Pasar Barter Wulandoni, dengan batu Nobe-nya yang sakral dan batas ulayat Doni Mata Papa-nya yang historis, adalah sebuah mahakarya peradaban lokal Indonesia. Ia membuktikan bahwa ekonomi tidak harus selalu tentang uang dan keuntungan maksimal. Ia bisa tentang kepercayaan, keadilan, kelestarian hubungan sosial, dan ketahanan pangan berbasis komunitas.

Bagi pemerintah, pasar ini adalah aset pariwisata budaya unggulan yang dapat menjadi "superior potential" bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Lembata dan Provinsi NTT. Namun, bagi masyarakat Lamalera, Wulandoni, dan Labala, ia adalah napas kehidupan, warisan leluhur yang "tidak bisa dihilangkan oleh siapapun".

Mari kita jaga oase ini. Bukan dengan mengubahnya menjadi taman hiburan komersial, tapi dengan menghormati aturan, ritus, dan semangat adat yang telah membuatnya bertahan selama lebih dari 200 tahun. Karena di tengah dunia yang semakin terkomodifikasi, Pasar Barter Wulandoni adalah pengingat bahwa ada cara lain untuk "ada" dan "bertahan", yakni cara yang berakar pada budaya, komunitas, dan kearifan lokal Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun