Mohon tunggu...
Hamdan Hamado
Hamdan Hamado Mohon Tunggu... Pelajar

Pemuda Biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pasar Barter Wulandoni: Ketahanan Pangan & Ekonomi Adat yang Bertahan di Era Global - Sebuah Warisan Budaya di Lembata, NTT, Indonesia

20 September 2025   11:09 Diperbarui: 20 September 2025   11:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Interaksi antara penduduk gunung membawa hasil hutan dan penduduk pantai dengan hasil laut menggambarkan harmonika perdamaian (Sumber: Penulis, 2025)

Di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, setiap Sabtu pagi, sebuah fenomena ekonomi langka terjadi. Di Pasar Barter Wulandoni, uang "simbol utama kapitalisme global " sementara "dilucuti" dari kekuasaannya. Seorang ibu dari Lamalera menawarkan potongan daging paus segar, bukan dengan harga rupiah, melainkan dengan tawaran: "Ema, ike ne hopi muko mo pee" (Mama, ikan ini beli pisangmu itu). Di sisi lain, seorang nenek dari pedalaman Lewuka menawarkan seikat pisangnya, siap ditukar dengan garam atau ikan asin.

Inilah Pasar Barter Wulandoni. Sebuah pasar yang bukan sekadar pasar tradisional, melainkan sistem ekonomi adat berbasis ketahanan pangan yang telah bertahan lebih dari dua abad, bahkan di tengah gempuran ekonomi uang dan globalisasi. Kini, ia menjadi ikon pariwisata budaya nasional dan internasional, sekaligus laboratorium hidup tentang bagaimana komunitas lokal bisa menciptakan ekonomi alternatif yang berkelanjutan.

Nobe & Doni Mata Papa: Dua Titik Sakral yang Menjaga Jiwa Pasar dan Wilayah Ulayat Labala

Di sisi barat pasar, terdapat sebuah batu datar yang dikenal sebagai Nobe. Dalam perspektif antropologi, Nobe adalah nubanara atau batu keramat yang diyakini sebagai tempat duduk leluhur Lera-Wulan. Menurut cerita rakyat, di atas batu inilah para tetua dari suku Lamanudak (Lamalera) dan suku Wukak (Lewuka) mengikrarkan sumpah adat Mula Baja pada awal abad ke-19, menandai kelahiran pasar barter ini.

Namun, ada lapisan makna yang lebih dalam. Secara tutur masyarakat Labala, tanah tempat pasar ini berdiri masih merupakan bagian dari wilayah ulayat tradisional mereka. Batas barat wilayah ini ditandai oleh sebuah toponim sakral nernama Doni Mata Papa. Sebuah kali mati yang terletak persis di gerbang barat Desa Wulandoni.

Nama "Wulandoni" sendiri adalah gabungan dari "Wulan/Wule" (Pasar) dan "Doni" (nama panglima perang Labala). Dengan demikian, keberadaan pasar ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah dan otoritas adat Labala. Nobe dan Doni Mata Papa bersama-sama membentuk sebuah "zona netral sakral", yakni sebuah ruang di mana terjadinya transaksi ekonomi sekaligus menjadi ritual sosial yang memperkuat ikatan togetherness, trust, and harmony antara "orang pantai" dan "orang gunung".

Anatomi Ekonomi Adat: Sistem Monga, Pluit, dan Kekuatan Prewo

Apa yang membuat Pasar Barter Wulandoni begitu unik dan teratur?

  • Sistem Hitung Monga (1:6): Satu potong ikan ditukar dengan 6 batang jagung, 6 buah pisang, atau 6 buah ubi. Sistem ini menciptakan kepastian dan keadilan, meskipun secara teknis lebih menguntungkan pihak pesisir.
  • Tata Kelola yang Ketat: Transaksi hanya dimulai setelah mandor pasar meniup pluit. Sebelumnya, ia mengumpulkan "bea pasar" berupa barang dari setiap pedagang. Pelanggar aturan akan dikenai sanksi. Ini adalah bentuk self-regulation yang luar biasa efektif.
  • Kekuatan Prewo (Langganan): Jaringan prewo (sahabat tanpa hubungan darah) adalah jantung dari sistem ini. Transaksi antar prewo didasarkan pada kepercayaan (trust) yang tinggi, bahkan sering dilakukan secara kredit (danu). Ini adalah bentuk ekonomi yang personal dan berorientasi hubungan, bukan keuntungan semata.

Proses transaksi secara barter. Pisang dari gunung ditukar ikan dari pantai (Sumber: Penulis, 2025)
Proses transaksi secara barter. Pisang dari gunung ditukar ikan dari pantai (Sumber: Penulis, 2025)

Mengapa Masih Bertahan? Simbiosis, Modal Sosial, dan Strategi Ketahanan Pangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun