Di era di mana pasar modern dan e-commerce merajalela, mengapa Pasar Barter Wulandoni tidak hanya bertahan, tapi justru semakin populer?
- Simbiosis Geografis & Ketahanan Pangan: Masyarakat pesisir hidup di tanah tandus yang tidak subur, sehingga sangat bergantung pada hasil pertanian dari pedalaman. Sebaliknya, masyarakat pedalaman membutuhkan protein dari ikan laut. Kebutuhan ini bersifat komplementer, bukan kompetitif, menciptakan ketergantungan mutual yang menjadi pilar ketahanan pangan lokal.
- Modal Sosial yang Kuat: Pasar ini bertahan karena didukung oleh modal sosial atau norma, kepercayaan, dan jaringan hubungan antar-individu yang tercipta secara alami dari tradisi. Nilai-nilai seperti kebersamaan, kekeluargaan, dan saling membantu adalah perekat sosial.
- Perlawanan Budaya yang Damai: Pasar ini adalah bentuk "eksistensi" ala Kierkegaard. Masyarakat pesisir selatan dan masyarakat pegunungan sisi selatan Lembata telah "memilih" untuk tetap mempertahankan sistem barter. Mereka menolak untuk larut dalam arus homogenisasi global. Ia adalah oase ekonomi alternatif di tengah gurun kapitalisme.
Ikon Pariwisata Budaya dan Ancaman Modernitas
Pasar Barter Wulandoni kini bukan hanya urusan lokal. Ia telah menjadi ikon pariwisata budaya nasional dan internasional. Pada tahun 2020, pasar ini dinobatkan sebagai juara nasional untuk kategori pasar tradisional. Wisatawan dari berbagai penjuru dunia datang bukan hanya untuk menyaksikan transaksi unik, tapi juga untuk merasakan atmosfer budaya yang autentik.
Namun, popularitas membawa tantangan. Arus wisatawan, penetrasi uang tunai, dan hadirnya pedagang non-barter (papalele) yang menjual barang-barang industri, adalah ancaman laten terhadap kemurnian sistem barter. Belum lagi, rencana pembangunan tambang di wilayah Leragere "mitra barter masyarakat pesisir selatan Lembata" yang dikhawatirkan akan menghancurkan struktur sosial berbasis resiprositas ini.
Penutup: Warisan Budaya yang Harus Dijaga untuk Masa Depan Indonesia
Pasar Barter Wulandoni, dengan batu Nobe-nya yang sakral dan batas ulayat Doni Mata Papa-nya yang historis, adalah sebuah mahakarya peradaban lokal Indonesia. Ia membuktikan bahwa ekonomi tidak harus selalu tentang uang dan keuntungan maksimal. Ia bisa tentang kepercayaan, keadilan, kelestarian hubungan sosial, dan ketahanan pangan berbasis komunitas.
Bagi pemerintah, pasar ini adalah aset pariwisata budaya unggulan yang dapat menjadi "superior potential" bagi pengembangan pariwisata di Kabupaten Lembata dan Provinsi NTT. Namun, bagi masyarakat Lamalera, Wulandoni, dan Labala, ia adalah napas kehidupan, warisan leluhur yang "tidak bisa dihilangkan oleh siapapun".
Mari kita jaga oase ini. Bukan dengan mengubahnya menjadi taman hiburan komersial, tapi dengan menghormati aturan, ritus, dan semangat adat yang telah membuatnya bertahan selama lebih dari 200 tahun. Karena di tengah dunia yang semakin terkomodifikasi, Pasar Barter Wulandoni adalah pengingat bahwa ada cara lain untuk "ada" dan "bertahan", yakni cara yang berakar pada budaya, komunitas, dan kearifan lokal Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI