Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Full English, Efektifkah?

7 Februari 2023   17:30 Diperbarui: 7 Februari 2023   19:34 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(BiljaST via pixabay.com)

Ada banyak pertimbangan dalam proses belajar mengajar, terutama yang menyangkut strategi mengajar. Bagaimana mencapai tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah pemikiran di dalam pendidikan secara berkelanjutan.

Begitu juga dalam pendidikan bahasa Inggris di sekolah-sekolah. Strategi dan metode sudah sangat berlimpah di era ini. Setiap guru bahasa Inggris berupaya semaksimal mungkin untuk mengajarkan mata pelajaran bahasa Inggris kepada peserta didik dengan cara yang menyenangkan.

Saya terkadang ingin tahu bagaimana para guru bahasa Inggris mengajar di kelas-kelas dimana murid-murid les saya bersekolah.

Sebut saja Michael, salah seorang murid les, yang menimba ilmu di sebuah SMP di kota Samarinda, Kalimantan Timur. Dia mengeluh perihal guru bahasa Inggris di sekolahnya, Dani (bukan nama sebenarnya).

"Pak Dani full english waktu mengajar. Kami semua gak paham apa maksudnya," keluh kesah Michael.

Sebenarnya saya kurang setuju dengan pernyataan Michael yang berbunyi "Kami semua...", karena pasti ada saja satu, dua, atau beberapa peserta didik di kelas Michael yang mengerti perkataan-perkataan dalam bahasa Inggris yang dilontarkan Dani.

Namun kalau menimbang dari kondisi peserta didik, kelemahan kebanyakan dari mereka dalam bahasa Inggris adalah:

1. Tidak terbiasa berbahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari

Ini adalah satu hal yang menjadi persoalan mendasar dalam berbahasa, apa pun bahasa yang ingin kita pelajari. Bagaimana bisa berbahasa Inggris dengan baik dan lancar jika menggunakannya hanya 2 (dua) kali dalam seminggu dengan durasi waktu sekitar satu jam 30 menit dalam satu pertemuan yang berarti total waktu tiga jam dalam satu minggu?

Idealnya, semakin sering berbahasa Inggris, semakin lancar dan fasih keterampilan berbahasa Inggris. Jadi, alangkah baiknya kalau melatih otot bahasa setiap hari, setiap saat, tidak terpaku pada jam mata pelajaran bahasa Inggris semata. 

Sayangnya, bahasa Inggris masih sangat jauh dari keseharian. Masih terbilang wajar kalau kebiasaan berbahasa Inggris tidak tertanam dalam keluarga. Menjadi tidak wajar kalau di lembaga pendidikan formal semisal sekolah dan perguruan tinggi, kemampuan berbahasa Inggris sangat jauh dari kategori "baik".

Lingkungan pun juga tidak mendukung, Stigma buruk "Cinta Produk Luar" sampai arogan ditempelkan pada siapa saja yang berupaya mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris. 

Saya pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dan dianggap makhluk asing dari planet lain sewaktu berbahasa Inggris dengan teman.

Oya, saya jadi teringat program "English Day" di beberapa SMP dan SMA di Samarinda. Bagaimana nasibnya sekarang? Saya rasa, cuma untuk gaya-gayaan aja. Nyatanya tetap saja pakai bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.

2. Tidak suka membaca literatur berbahasa Inggris

Sudah bukan rahasia lagi kalau minat baca kebanyakan warga +62  masih memprihatinkan. Lebih suka nonton video di YouTube dan aplikasi-aplikasi sejenis. Lebih doyan main game online di gawai. Lebih banyak menghabiskan waktu membaca status linimasa di media sosial (apakah isi status penting? Tanyalah pada rumput yang bergoyang).

Kemajuan teknologi ternyata tidak mempengaruhi peningkatan minat baca. Dulu, sewaktu masih berstatus mahasiswa, saya menemui kesulitan dalam menemukan literatur berbahasa Inggris, baik itu di toko buku maupun di perpustakaan. Kalaupun ada, yang tersedia hanya buku-buku terbitan lama (di toko buku dan perpustakaan) dan berharga mahal (di toko buku).

Imbas dari ketidaksukaan membaca adalah minimnya perbendaharaan kata (vocabulary) yang dipunya. Mendengar (listening) dalam bahasa Inggris saja jarang dilakukan, Berbicara (speaking) apalagi. Seandainya kosakata mumpuni, kedua aktivitas tersebut tidak akan menjadi masalah serius.

Bagaimana sebaiknya?

Terlepas dari kesalahan masyarakat, pendidik juga memegang peranan vital di lembaga pendidikan. Guru bahasa Inggris menentukan kesuksesan penguasaan bahasa Inggris peserta didik (setelah orangtua murid).

Menurut saya, ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan oleh para rekan guru bahasa Inggris.

1. Peserta didik yang aktif, bukan gurunya yang aktif 

Terkadang jengkel melihat kondisi saat ini. Terlalu panjang lebar kata-kata terangkai dalam kurikulum, namun kalimat-kalimat canggih yang nyaris tanpa ujung itu cuma sekadar hiasan. Kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Guru "mengoceh" sepanjang perjalanan proses belajar mengajar.

Bagaimana dengan guru bahasa Inggris?

Dalam pemandangan saya, ada 2 (dua) tipe guru bahasa Inggris.

Pertama, guru yang tidak banyak bicara dalam bahasa Inggris, tetapi lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam menjelaskan. Murid tidak diwajibkan berbahasa Inggris selama pelajaran bahasa Inggris berlangsung.

Kedua, guru banyak mendominasi dalam proses belajar mengajar. Full English. Peserta didik diwajibkan berbahasa Inggris saat berbicara dan bertanya.

Kebanyakan guru bahasa Inggris yang saya lihat berada dalam tipe pertama. Hanya sedikit guru bahasa Inggris yang termasuk dalam tipe kedua, seperti Dani yang sudah kita bahas di awal tulisan,

Sebenarnya, kalau mau ditarik benang merahnya, guru ingin peserta didiknya "bisa" "Membisakan", bukan "Membisukan".

Bahasa Inggris adalah keterampilan, Untuk menjadi terampil, seseorang harus aktif. Aktif bertindak. Aktif belajar. Aktif mempraktikkan.

Saya jarang sekali melihat guru-guru bahasa Inggris yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan berbicara (Speaking). Bagaimana dengan menulis (Writing)? Bisa dikatakan, peserta didik hanya terbatas menulis jawaban soal ketimbang menulis artikel atau puisi dalam bahasa Inggris.

Tak heran, yang menyukai mata pelajaran bahasa Inggris hanya segelintir peserta didik. Bisa dihitung dengan jari.

Peserta didik sudah seharusnya aktif dalam proses belajar mengajar. Pendidik, dalam hal ini guru bahasa Inggris, berkewajiban memfasilitasi peserta didik dengan berbagai kegiatan yang "mengaktifkan" peserta didik.

Misalnya, daripada sekadar mengeja satu per satu abjad dalam bahasa Inggris secara biasa, kenapa tidak melatih pengucapannya lewat lagu ABC Song?

Saya juga pernah menggunakan strategi "Class Survey" yang melatih kemampuan "menyatakan kebisaan (ability)" dengan yang kata "can", tapi sebelumnya harus menanyakan kebisaan peserta didik.

Alih-alih bertanya langsung pada peserta didik, saya meminta mereka bertanya langsung pada teman-teman di kelas. Caranya? Mungkin akan saya bahas di tulisan, yang lain. Kalau diulas di mari, bisa panjang kali lebar kali tinggi, hehehe.

Jadi, fokus pada keaktifan peserta didik.

2. Menimbang kemampuan berbahasa Inggris peserta didik

Ini yang terkadang tidak dilakukan oleh kebanyakan guru bahasa Inggris yang saya lihat dan kenal. Mereka berbicara panjang kali lebar kali tinggi dalam bahasa Inggris kepada peserta didik selama proses belajar mengajar berlangsung.

Sang guru perlu menimbang kemampuan berbahasa Inggris peserta didik. Untuk apa menyampaikan materi pelajaran dalam bahasa Inggris secara penuh, tapi kebanyakan peserta didik tidak mengerti materi yang sedang dipelajari?

Jadi terkesan sia-sia dan ujung-ujungnya hasil dari proses belajar mengajar tidak seperti yang diharapkan.

Oleh karena itu, sesuaikan bahasa Inggris yang digunakan dalam proses belajar mengajar dengan kemampuan berbahasa Inggris peserta didik. Jangan "mengharamkan" penggunaan bahasa Indonesia dalam pembelajaran bahasa Inggris. Perlu penataan porsi yang tepat dalam menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, karena lebih baik bermakna, dimengerti, daripada disalaharti.

3. Merancang program pembelajaran yang efektif dan efisien

Gagal dalam perencanaan berarti merencanakan kegagalan itu sendiri.

Saya tidak pernah bosan untuk mengatakan ini, meskipun proses perencanaan tidak menyamankan. Namanya proses, ada lika-liku, dinamika, dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

"Ilmunya sudah ada di sini," kata Randi (bukan nama sebenarnya), salah seorang rekan guru di masa lalu, sewaktu saya menanyakan tentang persiapan sebelum mengajar. Menunjuk kepalanya. Itulah yang Randi lakukan sewaktu saya bertanya tentang persiapan sebelum mengajar.

Kebanyakan guru (baik itu guru bahasa Inggris maupun bukan) terlalu mengagungkan pengalaman mengajar bertahun-tahun yang hanya menganut satu metode mengajar, yaitu metode ceramah yang membosankan.

Setelah pengaplikasian metode, kebiasaan membebani peserta didik dengan segebung pekerjaan rumah juga dianut mayoritas guru yang saya kenal.

Begitu terus pola tersebut berulang-ulang dilakukan sampai mereka pensiun.

Padahal mereka sudah banyak mengikuti seminar, pelatihan tentang berbagai metode mengajar dan trik, serta tips menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di dalam kelas.

Sungguh tragis.

Tidak ada perencanaan secara tertulis. Tidak ada evaluasi atas kinerja selama satu tahun ajaran (yang ada, supervisi satu hari dengan melihat pengajaran yang sudah "disetting" dan perangkat pengajaran (program tahunan, program semester, silabus, rpp, dan lain-lain) yang salin-tempel atau amati-tiru-plek dari internet dan tersusun menjulang tinggi, menghabiskan kertas HVS folio sekitar empat sampai lima rim atau lebih).

Tidak ada supervisi, mengajar "biasa" dilanjutkan kembali. Sejauh mata memandang, dalam setahun, cuma ada dua kali supervisi. Satu semester, satu kali supervisi (mudah-mudahan sekarang sudah berubah).

Terlepas dari "langkanya" supervisi dalam setahun, setiap kita, sebagai pendidik, bertanggungjawab kepada orangtua peserta didik. Mereka sudah mempercayakan putra-putri mereka kepada guru-guru di sekolah untuk dididik. Bukan hanya menjadi pribadi yang berpengetahuan luas, tetapi juga berakhlak mulia, tangguh dalam menghadapi masalah, dan cerdas dalam melihat kehidupan ini.

Bagaimana bisa mewujudkan harapan-harapan tersebut jika minim persiapan (bahasa halus dari nirpersiapan) sebelum mengajar?

Dengan persiapan yang matang sebelum mengajar, guru bisa mengkaji apakah dia bisa full english selama proses belajar mengajar atau tidak.

Back to basic

Language is a tool of communication....

Dasar dari bahasa, apa pun bahasanya, adalah sebagai alat komunikasi, bagaimana menyampaikan pesan kepada pihak lain, pihak tersebut mengerti arti pesan, dan menanggapinya sesuai makna pesan, baik itu lewat jawaban lisan maupun melalui tindakan langsung.

Untuk apa belajar bahasa Inggris kalau peserta didik tidak memahami pesan yang terkandung dalam ujaran-ujaran guru?

Full English perlu, namun harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, karena pembelajaran yang bermakna lebih penting daripada sekadar full english di kulit luar, apalagi guru bahasa Inggrisnya yang mengambil porsi waktu "full english" lebih banyak dibanding peserta didik yang hanya bisa termangu dan membisu.

Hendaknya guru bahasa Inggris back to basic, kembali ke dasar, mencerdaskan peserta didik dengan melatih murid untuk menguasai dan bisa menerapkan Speaking Ability dan Writing Ability dalam bahasa Inggris di kehidupan nyata.

Jangan sampai, nilai fantastis di rapor dan ijazah tidak sinkron dengan kemampuan yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun