Saya rasa Anda sudah bisa menebaknya.
Ada lagi Tina (nama samaran), anak ibu guru Sinta (bukan nama sebenarnya), menjadi pustakawan di SD tempat sang ibu bertugas. Tina baru lulus menjadi sarjana dan belum mendapat pekerjaan. Sang ibu berinisiatif memasukkan sang anak ke sekolah sebagai pustakawan.
Hasil?
Saya rasa Anda sudah bisa menebaknya juga.Â
Buku rapi, tertata (meskipun tanpa klasifikasi), bersih, namun hanya sebatas itu. Perpustakaan tetap menjadi tempat yang sunyi.
Bukan masalah beda jurusan di perguruan tinggi atau anak siapa, tapi hendaknya kepala sekolah mempertimbangkan komitmen dari calon pustakawan sebelum menjabat, terlepas itu anaknya atau kerabatnya sekalipun.
Harapannya, dengan adanya komitmen yang kuat dan semangat untuk menggiatkan kesukaan literasi di sekolah dasar, maka akan tercipta kecintaan membaca buku di kalangan peserta didik.Â
Dan alangkah lebih baiknya lagi jika kepala sekolah mengirimkan pustakawan untuk mengikuti pelatihan menjadi pustakawan yang baik, sehingga tidak sekadar menjadi "penunggu" perpustakaan saja.
Koleksi buku juga harus ditambah. Jangan seakan-akan cuma itu-itu saja buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Tentu saja, disesuaikan dengan besarnya ruangan perpustakaan. Dan juga, jangan hanya buku pelajaran saja yang menjadi mayoritas di perpustakaan.Â
Aneh kalau perpustakaan yang notabene untuk meningkatkan minat baca tapi hanya diisi, dimonopoli oleh buku-buku pelajaran.
2. Laboratorium
Ini juga menjadi keprihatinan. Secara pribadi, saya iri dengan SMP, SMA, dan SMK yang kebanyakan dari mereka mempunyai laboratorium-laboratorium yang menunjang proses belajar mengajar di sekolah.