SD?Â
Sangat jauh dari kehadiran laboratorium.
Saya dulu pernah mengajar di salah satu sekolah dasar negeri yang cukup berprestasi di Samarinda. Keistimewaan dari SDN tersebut dibanding dengan beberapa SD dimana saya pernah mengajar adalah ketersediaan laboratorium IPA.
"Ini berkat Bu Firda yang lulus menjadi pemandu bidang studi IPA tingkat provinsi Kalimantan Timur. Kita mendapat banyak alat peraga IPA. Sudah selayaknya SD kita mempunyai laboratorium IPA untuk itu," puji Kepala Sekolah, Pak Danu (bukan nama sebenarnya).
Sayangnya, tidak ada guru-guru lain yang menggunakan laboratorium IPA tersebut. Hanya Bu Firda (nama samaran) yang menggunakannya.
"Takut rusak alat-alatnya, Pak Anton," kebanyakan dari mereka mengatakan seperti itu waktu saya menanyakan alasan kenapa mereka tidak menggunakan laboratorium IPA dalam proses belajar mengajar.
Saya menanyakan juga pada Bu Firda dan beliau mengutarakan masalahnya.
"Yah, susah, Pak Anton. Mereka sudah dapat pelatihan dari saya dulu. Antusias luar biasa. Sayangnya, setelah selesai pelatihan dan kembali ke sekolah masing-masing, mereka malah tidak mempraktikkannya...," keluh Bu Firda.
Mungkin itu juga yang menyebabkan di banyak sekolah dasar yang saya pernah kunjungi, mereka tidak mempunyai laboratorium IPA, karena takut menggunakan alat-alat peraga di dalamnya.Â
Takut rusak sewaktu menggunakan atau karena sebab klasik lainnya, yaitu kekurangan ruang kelas untuk proses belajar mengajar, sehingga laboratorium IPA tersebut beralih fungsi menjadi ruang kelas.
Seandainya kesadaran akan pentingnya media audio visual dalam proses belajar mengajar ada dalam diri pendidik, sudah pasti keberadaan laboratorium IPA dan juga laboratorium-laboratorium untuk berbagai mata pelajaran lainnya adalah keharusan di sekolah dasar.