Terkadang, kita selalu mengagung-agungkan gedung sekolah yang mentereng beserta dengan fasilitas-fasilitas wah di dalamnya. Penampilan fisik bangunan membius kita, seakan meyakinkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut.
Memang, kenyamanan sekolah, dalam hal ini gedung yang bagus dan nyaman sehingga menyenangkan dalam menjalankan proses belajar mengajar adalah suatu faktor penting, namun ada faktor-faktor lain juga yang menentukan kualitas pendidikan.
Kompetensi guru adalah faktor mutlak yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan, sebagai partner dari para orangtua di sekolah. Gedung yang bagus, tapi kompetensi guru yang rendah, maka kualitas pendidikan menjadi memble.
Pendidik yang profesional tidak berhenti pada tataran sudah lulus sertifikasi dan telah mengikuti seabrek seminar. Guru yang luar biasa tidak merasa "cukup" dengan pengalaman yang sudah malang melintang dan centang perenang.
Sayangnya, kendali dari kualitas lulusan sertifikasi sepertinya telah usai sesudah mendapatkan lembar kertas kelulusan. Kembali ke sekolah masing-masing, kebanyakan guru yang menyandang status guru profesional malah kembali ke habitat cara mengajar sebelum lulus sertifikasi. Menggunakan metode ceramah yang membosankan dalam proses belajar mengajar dan menghabiskan materi di buku pelajaran.
Supervisi yang seharusnya rutin diadakan untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan cara mengajar guru bersertifikasi tadi dan perubahan yang tampak pasca mendapat tunjangan profesi guru hanya dilakukan tiga bulan atau lima bulan sekali pada mayoritas sekolah yang saya pantau sejauh ini.Â
Itu pun dengan kondisi "formalitas".Â
"Anda kan sudah bertahun-tahun mengajar. Sudah sangat berpengalaman...," ujar salah seorang pengawas sewaktu menyupervisi Rina (bukan nama sebenarnya), seorang rekan guru SD yang mengajar di kelas lima beberapa tahun yang lalu.
Yah, memang kelihatan bagus saat supervisi. Namun pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah tetap bagus (mengajar) di luar supervisi?
Program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) tersusun rapi dan menggunung, padahal itu cuma salin-tempel dari unduhan internet. Sedikit modifikasi, ganti nama dan tanggal. Beres.
Sepertinya, sertifikasi jadi terkesan mubazir kalau mentalitas guru sebatas plagiator.