Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Pahlawanku] Kuingat Saat Itu

18 Agustus 2019   22:36 Diperbarui: 18 Agustus 2019   22:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : thetechnoskeptic.com

Lima tahun yang lalu, Ayah meninggal. Meninggalkan kami, keluarga yang mencintainya dengan sepenuh hati. Meskipun di dalam kepedihan yang sangat, kami merelakan kepergiannya. 

"Ayah sudah tidak merasakan sakitnya lagi. Ayah sudah tenang sekarang."

Fandi, kakak tertua, kakak yang mengurus segala keperluan ayah di saat-saat terakhirnya berkata dengan tegar. Dia yang paling mengerti betapa menderitanya ayah karena penyakit diabetes yang sedikit demi sedikit menggerogoti fungsi organ-organ tubuh ayah. 

Sampai akhirnya jantung ayah pun berhenti berdetak. 

14 Februari 2014 dini hari, ayah berpulang.

Betapa hancur hati kami. 

Tapi aku lebih lagi. 

Saat itu, aku sedang berjuang, menjalankan salah satu bisnis multi level marketing. MLM yang menurutku bisa menjadi kendaraan bagiku untuk meraih hidup sukses, kaya, supaya aku bisa membahagiakan ayah dan ibu. 

Oktober 2013, aku baru memulai, karena aku baru tahu tentang MLM ini.

Aku ikut yang kesekian ini, karena aku melihat potensinya yang besar. 

Namun yang di hadapan tak seindah impian. Kenyataannya tak seperti yang diangankan. 

Aku menganggap MLM yang ini sama saja, seperti mlm-mlm yang sebelumnya.

"Sepertinya, aku tidak menikmati prosesnya. Bukannya tidak suka, tapi aku tak enjoy dengan apa yang kulakukan."

Aku berpikir seperti itu. Meskipun begitu, aku tetap melakukan, karena upline-ku, Pak Januar terus memotivasi, "Saya juga seperti bapak dulu. Merasa tak bisa, tak minat, tak bersemangat. Tapi kalau dilakukan secara konsisten, pasti lama kelamaan timbul rasa cinta."

Aku berpikir, "Yah, mungkin juga akan timbul 'cinta'. Dulu juga aku tak senang mengajar di esde, tak suka mengajar anak-anak usia dini, tapi lama kelamaan, aku pun menikmati, senang mengajar mereka, walau honor yang kudapat tak seberapa."

Tapi ini sudah akhir bulan Januari 2014. Sudah empat bulan, tapi hasil tidak seperti yang diharapkan. Pendapatan dari komisi penjualan produk tak seberapa, tapi pengeluaran, terutama dari operasional sangatlah besar. Target komisi besar memang dari aset jaringan. Semakin besar jaringan, dalam hal ini downline di bawahku, potensi pendapatan akan jadi semakin besar pula.

Yang sangat sulit adalah merekrut orang lain menjadi downline atau istilahnya member atau reseller di bawahku.

Mereka mau membeli produk, tapi tidak mau menjadi downline.

Hampir putus asa, sampai suatu ketika pada tanggal 13 Februari 2014, aku mendapat downline pertama. Hati gembira. Satu hari sebelum hari Valentine.

"Puji Tuhan. Dapat satu downline setelah empat bulan perjuangan," aku bersyukur kepada Tuhan.

Besok pagi, dini hari, berita duka itu tiba. Kakak perempuanku, Santi, menelepon pada jam 4. "Ayah meninggal, Gun."

Mungkin downline pertama ini hadiah dari ayah untukku.

* * *

Tahun 2019. Lima tahun sudah berlalu sejak meninggalnya ayah.

Aku tak bisa lagi memegang tangannya yang keriput.

Aku tak bisa lagi mendengar suaranya yang teramat susah untuk berkata-kata, meski untuk sepatah kata sekalipun.

Aku tak bisa lagi menatap matanya yang sayu.

Aku merindukan ayah ada bersamaku saat ini, jam ini, menit ini, detik ini.

Ayah sudah tidak ada secara fisik, namun aku percaya rohnya ada bersama setiap saat, melebihi waktu-waktu dahulu.

Ayah sosok yang tidak banyak bicara. Meskipun ayah terkesan kaku, namun dia seorang yang juga bisa bercanda. Dan yang terpenting, dia adalah seorang ayah yang bertanggung jawab.

Mempunyai tujuh orang anak bukanlah hal yang mudah. Butuh biaya yang lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga besar. Tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan. Dua anak pertama adalah laki-laki, empat anak berikut adalah perempuan, dan yang terakhir, anak ketujuh adalah laki-laki.

Akulah anak terakhir itu. Anak ketujuh. Anak bungsu.

Ayah dan Ibu memberiku nama Gunawan. 

Mungkin supaya aku kelak kalau sudah besar menjadi orang yang berguna. Mungkin itu impian mereka. Mereka biasa memanggilku 'Gun".

Banyak orang menyangka, sebagai anak bungsu, ayah dan ibu memanjakanku. Tapi itu cuma anggapan, prasangka kebanyakan orang. Nyatanya, tidak seperti itu.

Ayah dan ibu selalu mengingatkanku apabila aku meminta sesuatu, misalnya mainan, mereka selalu mengatakan, "Kakak-kakakmu dan juga kamu masih sekolah, Gun. Ayah harus membiayai sekolah dan juga makan kita sehari-hari. Nanti saja ya, kalau ada rezeki berlebih, ayah belikan mainan buatmu," kata ibu lembut.

Sejak itu, aku tak banyak menuntut apa-apa, karena sudah dibiasakan melihat kondisi ekonomi keluarga.. 

Toko ayah ada di depan rumah. Toko bahan bangunan yang cukup terkenal di Balikpapan yang waktu itu belum banyak pesaing. Balikpapan juga belum menjadi kota maju seperti sekarang. Masih kota kecil, dan masih dalam tahap membangun.

Aku terkadang menemani Kak Fandi, kakakku yang pertama, menjaga kasir. Meskipun masih kecil, tapi aku bisa melihat, betapa ayah bekerja keras di toko. Terkadang ayah turun langsung, mengangkat semen bersak-sak dari truk bersama pegawai-pegawainya. Kak Fandi, terkadang ikut membantu ayah mengangkat semen dan meletakkan sak-sak semen itu di sudut toko.

"Hati-hati ya, Gun. Jaga kasir. Tunggu sebentar ya," begitu pesan Kak Fandi.

Aku pun menjaga kasir.

Melihat ayah dan kakakku bekerja keras, aku pun jadi menyadari hidup ini keras. Mendapatkan uang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras.

Sayangnya, waktu SMP, usaha ayah mengalami masalah. Aku tidak tahu persisnya seperti apa, tapi kata ibu, "Sepupumu, Hadi dan Michael, mereka mengambil uang tabungan dari bank tanpa sepengetahuan ayah. Uang yang seharusnya untuk bayar angsuran kredit usaha dari bank malah mereka gunakan untuk kepentingan mereka."

Itu kata ibu. Namun ayah tak pernah berkata apa-apa pada kami, anak-anaknya. Mungkin dia tidak ingin kami semua cemas dan tidak semangat bersekolah.

SMA adalah saat dimana hidup keluarga sangat prihatin. Jadi kontraktor alias kontrak rumah setahun sekali. Aku naik kelas, otomatis pindah rumah juga.

Kebanyakan orang mengatakan masa SMA adalah masa yang indah, namun bagiku, SMA adalah masa yang menyedihkan. Makan dengan tempe, tahu, atau sekadar mie instan saja sudah bersyukur. Boro-boro memikirkan untuk pacaran, untuk biaya sekolah saja sudah sulit membayar. Dan juga, ayah waktu itu sudah sakit-sakitan. Terkena diabetes menyebabkan kesehatannya jadi sangat terganggu. Tapi yang lebih terganggu adalah pikirannya. Dulu banyak orang yang mengelu-elukannya karena dia sukses sebagai pengusaha, tapi waktu dia bangkrut dan usaha tutup, tidak ada lagi yang peduli padanya.

Hanya keluarga, saudara, dan beberapa sahabat yang masih berhubungan dekat dengan ayah.

* * *

Meskipun aku tidak begitu mengenal pribadinya semasa ayah masih ada, namun aku menganggap ayah sebagai pahlawanku.

Dalam diam, ayah menghidupi keluarga semasa sukses.

Dalam diam, ayah tidak mengungkapkan kebangkrutannya, supaya keluarga tidak cemas, dan dia menanggungnya dalam diam, yang mengakibatkan penyakit yang harus dideritanya.

Dalam diam, ayah tidak mengeluh karena penyakitnya, terutama di saat banyak orang meninggalkannya saat sudah tak berpunya, seakan dia mengidap penyakit berbahaya.

Dalam diam pula, ayah meninggal, di saat dini hari, di mana keluarga masih terlelap, dan melihatnya sudah berpulang ke rumah Bapa di Surga di saat menjelang matahari mau bersinar.

Ayah seorang laki-laki yang menumbuhkan rasa hormat di hatiku. Tentu saja, dia bukan ayah yang sempurna, namun dia tak pernah sekalipun mempermalukan atau mengecewakan kami, keluarganya.

Aku masih ingat di saat ayah, sewaktu masih jaya, suka mengajakku bersama ibu, bertiga, naik mobil pickup Chevrolet ke Kilometer 5 Balikpapan, saat sore hari sekitar jam empat, untuk melihat kebon kami di sana, tempat ayah memelihara ayam dan sapi. Betapa senangnya aku waktu ayah mengajak ke sana.

Mengambil telur-telur dari kandang ayam, memberi makan sapi dengan rumput, mencabut singkong, itulah kegiatan-kegiatan kami di kebon itu.

Di saat liburan, pernah kami sekeluarga piknik di kebon itu. Ibu dan kakak-kakak perempuan membakar ikan yang dibawa dari rumah. Aku dan kakak-kakak lelaki mengambil telur dari kandang ayam, memberi makan sapi dengan rumput, dan mencabut singkong.

Setelah ikan bakar sudah siap disantap, kami pun menikmati momen-momen indah itu. Makan bersama, dengan ikan bakar dan nasi panas yang dibawa dari rumah. Sambal pun tak ketinggalan, menjadi penambah nafsu makan.

Tapi, di antara banyak momen indah bersama ayah, ada satu momen yang tak akan pernah kulupakan.

Momen ini sederhana.

Mungkin bagi banyak orang, tidak istimewa.

Namun bagiku, apa yang ayah lakukan saat itu, meninggalkan kesan yang sangat mendalam di benakku.

Kuingat saat itu.

Malam itu, aku sedang mengerjakan PR Matematika kelas tiga. Sedari kelas satu, aku paling benci dengan pelajaran Matematika, apalagi kalau menyangkut soal cerita. Membingungkan.

"Tanya pada kakak-kakakmu," jawab ibu waktu aku menanyakan bagaimana mengerjakan soal matematika di hadapanku, "Ibu kan gak sekolah tinggi, cuma lulusan SMP."

Aku tidak mau lagi bertanya pada kakak-kakakku. Mereka tidak sabar mengajariku. Ada juga yang malah terlalu panjang lebar menjelaskan, sehingga untuk anak esde seusiaku, tentu saja sukar memahami.

Sudah pukul sembilan malam. Biasanya ibu menyuruhku tidur kalau sudah jam sembilan, tapi kubilang, "PR-ku belum selesai, Bu. Sebentar lagi selesai. Tanggung."

Ayah pulang, tak lama setelah ibu masuk ke kamar tidur.

"Kok belum tidur, Gun?" tanya ayah.

"Ada PR, yah. Aku belum selesai kerjakan," jawabku. Mataku masih memandang bingung ke kertas-kertas di hadapanku.

"PR apa?" tanya ayah lagi, sambil mendekat, mengambil kursi, lalu duduk di sampingku.

"Matematika," aku sebenarnya ingin meminta tolong ayah mengajari, tapi melihat mukanya yang nampak letih, aku jadi tak tega.

"Ayah bantu ya," kata ayah tiba-tiba, yang membuatku terperangah. Tak pernah aku melihat ayah menemani kakak-kakakku belajar. Aku pun juga tak pernah ditemani ayah belajar.

Malam itu, ayah menawari diri mengajariku Matematika.

Dua jam terlewati. PR-nya masih banyak. Aku sudah letih. Tapi aku tidak mengatakannya pada ayah. 

"Sudah, Gun. Tidur aja. Biar ayah yang selesaikan," kata ayah lembut.

"Tapi Yah ...," belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, ayah sudah memotong, "Kamu sudah ngantuk. Besok kan sekolah. Nanti terlambat bangun. Di sekolah juga bisa mengantuk waktu belajar. Ga papa. Ayah kerjakan. Tapi lain kali, kamu harus lebih rajin lagi. PR harus cepat dikerjakan. Jangan ditunda."

"Iya, Yah."

Aku pun pergi tidur.

Besok pagi, seperti janji ayah, PR Matematikaku sudah selesai.

Sejak itu aku berjanji dalam hati, "Aku harus belajar giat, rajin, supaya ayah tidak kecewa."

* * *

Mengingat saat itu, aku sedih.

Ayah adalah figur pahlawan bagiku. Laki-laki panutan yang sederhana, tidak banyak bicara, namun "berkata-kata" lewat tindakan nyata.

Ayah, sosok guru bagiku, memberikan contoh real lebih dari sekadar nasihat kosong tanpa aksi.

Ayah memberitahu jalan yang benar, bahwa hidup sukses hanya bisa diraih dengan kerja keras, bukan dengan santai dan kemalasan.

Kalau aku berada dalam kebimbangan, kuingat saat itu.

Kalau aku berada dalam kelesuan, kuingat saat itu.

Kalau aku berada dalam kesakitan, kuingat saat itu.

Saat seorang pahlawan yang sederhana, yaitu ayahku, sedang menemaniku, mengajariku Matematika, di saat dirinya sudah letih dan lelah, namun dia kesampingkan keletihannya, demi aku, anaknya yang dikasihinya.

Ayah, engkau pahlawan di hidupku. Sampai kapan pun juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun