Tiara memelukku begitu erat. Tersirat takut kehilangan dari kedua lengannya yang melingkari tubuh mungilku. Aku dipangkunya di kursi teras depan rumah nuansa minimalis itu.
"Temani aku menunggu suamiku pulang, ya, Puteri?" ujar Tiara sambil mencubit hidungku.
Hari ini aku mengenakan rok biru muda rajutan tangan licah Tiara. Sangat serasi dengan pakaian atasanku yang berwarna putih. Menemani Tiara saat menunggu suaminya pulang kerja adalah rutinitasku beberapa bulan belakangan.
Tiara seorang perempuan muda berusia 26 tahun. Dulunya dia adalah seorang karyawati di salah satu perusahaan swasta di kota ini. Setelah menikah, Tiara mengundurkan diri dan fokus mengurus rumah tangganya.
***
"Hallo, Mas! Perutku sakit sekali. Mules-mules, ada bercak darah yang keluar," rintih Tiara dalam saluran telepon di suatu siang.
"Aku lekas pulang dan membawamu ke rumah sakit," sahut Mas Andhika dari seberang telepon.
Tiara menutup telepon sambil merintih dan duduk pelan-pelan di kursi dekat gagang telepon diletakkan. Diusap-usap perut besarnya, usia kandungannya beranjak 7 bulan. Aku tak kuasa membantu apa-apa dan tidak ada orang lain di rumah ini. Bahkan Tiara tidak mengabari keluarganya yang lain tentang kondisi kandungannya.
Tiara dan Mas Andhika menikah tanpa restu kedua orang tua mereka. Apa sebabnya? Aku pun tak tahu sama sekali. Tiara tak pernah menceritakan padaku alasan mengapa pernikahannya tak menuai restu. Makanya, apapun yang terjadi pada dirinya dan pernikahannya, Tiara tidak pernah mengeluhkan pada kedua orang tuanya.
Sepertinya kontraksi di perut Tiara semakin kerap frekuensinya, tampak dari ekspresi wajahnya yang berkali-kali menutup mata dan mengaduh.