Oleh: Shofia Adlia Fitri Marpaung
     Nabil Nawfal
Abstrak
Artikel ini bertujuan mengkaji kisah Nabi Musa dan Fir'aun dalam Al-Qur'an melalui pendekatan tafsir kompratif. Dua sumber utama digunakan: Tafsir al-qur'an al-'azhim karya ibnu katsir yang mempresentasikan tafsir klasik berbasis riwayat (bi al-ma'tsur), dan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab yang mewakili tafsir kontemporer berbasis makna. Kisah ini merupakan narasi paling sering diulang dalam Al-Qur'an, dan menyimpan pelajaran penting mengenai perjuangan menghadapi kedzaliman, kesabaran dalam dakwah, dan keagungan mukzizat ilahi. Melalui pendekatan analitis-kualitatif berbasis studi pustaka, artikel ini menggambarkan bagaimana kedua mufassir menafsirkan pesan spiritual, sosial, dan moral dalam kisah tersebut. Temuan menunjukan bahwa Ibnu Katsir banyak mengandalkan riwayat sahabat dan tabi'in , sementara Quraish Shihab lebih menekankan nilai-nilai kontekstual dan relevansi sosial. Kajian ini penting dalam memperluas pemahaman terhadap tafsir al-qur'an dalam perspektif klasik modern.
Kata Kunci: Musa, Firaun, Kisah Al-Qur'an, tafsir ibnu katsir, tafsir Al-Misbah, Analisis Tafsir
Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan kitab suvi yang tidak hanya memuat ajaran teologis, tetapi juga sarat dengan narasi historis yang berfungsi sebagai pealajaran dan refleksi. Salah satu bentuk ajaran Al-Qur'an adalah kisah (Qishah), yang mencakup peristiwa nyata yang telah terjadi, disampaikan untuk meneguhkan hati Nabi, memperkuat keimanan umat Islam, dan memberikan hikmah bagi pembacanya. Di antara kisah paling dominan adalah kisah Nabi Musa 'alaihissallam dan Fir'aun.
Kisah Nabi Musa dan Fir'aun tercatat sebagai kisah yang paling sering diulang dalam Al-Qur'an. Menurut Quraish Shihab, pengulangan ini bukanlah sekedar repetisi, melainkan penegasan atas pentingnya nilai yang dikandungnya serta pengembangan naratif dalam konteks yang berbeda. Kisah ini membuat banyak dimensi: spiritual, sosial, politik, bahkan psikologis. Dari awal kelahiran Nabi Musa yang disembunyikan, hingga misi kerasulannya dan pertarungan dengan tirani Firaun, semua disajikan dengan dramatis dan mengandung hikmah mendalam.
Dalam tulisan ini, penulis mengkaji bagaimana kisah Musa dan Firaun ditafsirkan dalam dua corak tafsir: klasik dan kontemporer. Tafsir Ibnu Katsir sebagai perwakilan tafsir klasik menggunakan pendekatan kontekstual yang lebih aplikatif terhadap kondisi umat modern .
Metodologi
Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif, deskriptif dengan pendekatan tafsir tematik dan komparatif. Data diperoleh dari sumber primer, yakni Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Mishbah, serta sumber sekunder seperti buku metodologi tafsir dan jurnal ilmiah. Teknik analisis dilakukan dengan mengindentifikasi ayat-ayat yang memuat kisah Musa dan Firaun, lalu dibandingkan antara dua penafsir tersebut dalam hal metode, isi, dan penekanan pesan.
Pembahasan
Struktur Kisah Nabi Musa dan Firaun dalam Al-Qur'an
Kisah Musa dan Firaun tersebar dalam lebih dari sepuluh surah, antara lain: al-qashash, al-a'raf, thaha, assyuara. Dan ghaffir, secara umum, kisah ini terdiri dari beberapa tahapan besar:
Kelahiran Musa dan penyelamatan di Sungai Nil (QS. Al-Qashash: 7-13)
Musa tumbuh di istana Firaun dan kemudian melarikan diri ke madyan
Pengangkatan Musa sebagai nabi (QS. Thaha: 9-14)
Konfrontasi Musa dengan Firaun dan para penyihir
Eksodus Bani Israil dan tenggelamnya Firaun (QS. Al-A'raf: 136-137; QS. Yunus: 90)
Kisah ini bukan hanya menggambarkan pergulatan fisik antara Musa dan Firaun, tetapi juga merupakan simbolisasi antara Musa dan Firaun, tetapi juga merupakan simbolisasi antara kebenaran dan kebatilan, antara wahyu dan kekuasaan duniawi yang dzalim. Menurut Wahbah az-Zuhaili, kisah ini tidak hanya menyajikan konflik antara nabi dan tiran, tetapi mengandung pelajaran penting tentang iman, kejujuran, dan perjuangan menghadapi kezaliman. Musa digambarkan sebagai figur profetik yang gigih dalam menyampaikan kebenaran, meski dihadapkan pada ancaman politik dan intimidasi kekuasaan Firaun.
Penafsiran dalam Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menggunakan metode tafsir bil ma'tsur, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan ayat yang lain, hadits, dan riwayat sahabat serta tabi'in. Dalam membahas kisah Musa, ia mengutip banyak riwayat israiliyat yang bersumber dari Ahlul Kitab, meski tetap mengingatkan pembacanya untuk tidak sepenuhnya memercayai jika bertentangan jika bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah shahihah. Tafsir al-Qur'an al-'Azhim karya Ibnu Katsir menggunakan pendekatan bi al-ma'tsur, yakni menafsirkan ayat dengan ayat lain, hadis, dan riwayat sahabat serta tabi'in. Dalam membahas kisah Musa, Ibnu Katsir banyak mengutip riwayat Israiliyat yang berasal dari Ahlul Kitab, seperti kisah masa kecil Musa, bentuk peti yang dihanyutkan, dan nama istri Firaun.
Contoh penasfiran:
Ketika menafsirkan QS. Al-Qashash: 7, Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana wahyu Allah kepada ibu Musa berupa ilham, bukan wahyu kenabian, dan mengutip beberaoa riwayat yang menyebutkan deskripsi fisik peti yang dihanyutkan.
Kelebihan tafsir ini adalah kedalaman narasi dan kelengkapan kisah berdasarkan sumber-sumber awal islam. Namun kelemahannya, ia tidak banyak memberikan refleksi sosial atau makna kontekstual dari kisah tersebut bagi kehidupan tersebut bagi kehidupan modern.
Penafsiran Kisah dalam Tafsir Al-Mishbah
Berbeda dari pendekatan Ibnu Katsir, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menggunakan metode bi al-ra'yi, yakni pendekatan rasional dan kontekstual. Fokus utamanya adalah menggali makna etis, spiritual, dan sosial dari kisah-kisah Qur'ani. Dalam menafsirkan QS. Thaha: 44: "Ucapkanlah kepada Firaun dengan kata-kata yang lemah lembut", menjelaskan bahwa ini adalah pelajaran universal dalam dakwah. Bahkan terhadap tiran sekalipun, seorang nabi tetap diperintahkan berbicara dengan adab dan kelembutan, bukan cacian atau kekerasan. Quraish juga menggambarkan Musa sebagai simbol perjuangan sosial, bukan hanya seorang nabi pembawa mukjizat. Ia menyatakan bahwa karakter Firaun relevan dengan bentuk-bentuk kekuasaan otoriter di masa kini, yang menolak kebenaran karena takut kehilangan kekuasaan.