"In this economy" Menikah di Usia 25: Sebuah Tekad Meneladani Rasulullah
Keputusan untuk segera menikah bagi saya dan istri bukanlah karena kami sudah memiliki segalanya. Bukan pula karena ekonomi kami sudah mapan. Tapi karena satu alasan yang sangat mendasar: kami ingin segera halal dalam ikatan suami istri, dan saat itu kami merasa usia kami sudah cukup---sama-sama 25 tahun.
Tidak ada ketakutan soal bagaimana nanti ekonomi setelah menikah. Modal kami saat itu hanyalah tekad, niat yang tulus, dan keyakinan bahwa Allah pasti akan membuka jalan bagi hamba-Nya yang melaksanakan sunah Rasulullah. Menikah adalah salah satu sunah besar yang membawa banyak keberkahan, dan kami ingin menjalani hidup dengan memulainya dari titik itu.
Kami pertama kali bertemu di kampus, sebagai sesama mahasiswa di sebuah universitas di Kota Malang. Saya adalah kakak kelasnya. Uniknya, kami berasal dari angkatan SMA yang sama---meskipun beda sekolah dan beda kota. Dia masuk perguruan tinggi setahun setelah saya, sehingga menjadi adik kelas.
Perkenalan kami bermula dari teman-teman kampus yang, secara tidak langsung, mencoba menjodohkan kami. Waktu itu terasa seperti gurauan, tapi ternyata menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih serius. Sebagai kakak kelas, saya seringkali menjadi pembimbingnya dalam perkuliahan. Mulai dari membantu menyelesaikan tugas-tugas, memberi arahan saat kebingungan, hingga membimbing dalam proses penelitian akhir. Kami bahkan memilih dosen pembimbing yang sama untuk tugas akhir kami---karena merasa cocok dan nyaman dalam arahan akademiknya.
Kami sama-sama mahasiswa Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian. Maka secara alami, kami sering bertemu, berdiskusi, dan bahkan melakukan kegiatan lapangan bersama. Kedekatan itu bukan sekadar emosional, tapi juga intelektual dan spiritual. Kami belajar untuk saling mendengarkan, saling membantu, dan saling memahami. Tanpa sadar, itu menjadi dasar kuat bagi hubungan kami kelak.
Saya lulus lebih dulu. Tapi saya tidak ingin berjalan sendirian. Justru saat itulah saya merasa perlu lebih aktif menyemangatinya untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya. Saya mendampinginya memilih topik penelitian, memilih dosen pembimbing, tempat praktik lapang, hingga ikut mengawal saat dia menjalani KKN. Kadang saya seperti asisten pribadi yang siap sedia kapan pun dibutuhkan. Tapi saya ikhlas, karena ini bagian dari cinta yang tumbuh dengan tulus.
Keinginan saya untuk menikah di usia 25 bukanlah keinginan biasa. Saya memang memiliki cita-cita untuk meneladani Rasulullah, termasuk dalam hal usia saat menikah. Saya ingin menjadikan kehidupan beliau sebagai pedoman hidup. Dan ketika usia itu datang, kami berdua pun sudah sama-sama lulus---saya sudah dua tahun lulus, dan dia baru setahun. Rasanya seperti semua puzzle kehidupan disusun oleh Allah dengan sangat rapi.
Kami tahu bahwa menikah bukan perkara ringan. Tapi kami juga tahu bahwa terlalu banyak pertimbangan hanya akan membuat langkah tertunda. Banyak anak muda sekarang yang merasa harus "sempurna" dulu baru menikah. Mereka menunggu stabil secara ekonomi, karier, bahkan sampai urusan rumah dan kendaraan. Belum lagi dibebani oleh cerita-cerita yang bertebaran---tentang pernikahan yang gagal, pasangan yang berpisah, dan rumah tangga yang penuh luka. Akibatnya, mereka takut. Mereka menunda. Dan akhirnya malah kehilangan momentum.
Padahal, menikah adalah tentang keberanian untuk memulai. Tentang kesiapan untuk tumbuh bersama, bukan tentang sudah siap dalam segala hal. Kami melangkah dengan bismillah, dengan keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan, seperti janji-Nya dalam Al-Qur'an: "Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya." (QS. An-Nur: 32)