Mohon tunggu...
Haikal Pramono
Haikal Pramono Mohon Tunggu... Editor - #learning

setiap frasa punya rasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Revolusi Industri 4.0 Pada Sistem Pendidikan Indonesia

26 Juli 2021   05:40 Diperbarui: 26 Juli 2021   07:13 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berbicara perihal pendidikan, tentunya pembahasannya dapat berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana yaitu Apa yang bisa membuat seseorang memiliki kemampuan untuk mengubah dunia? Nelson Mandela berpendapat bahwa senjata yang paling ampuh untuk mengubah bangsa bahkan dunia adalah pendidikan.

Selain itu, sosiolog W. E. B Du Bois mengatakan bahwa "Cita-cita pendidikan, apakah manusia dididik untuk mengajar atau membajak (lahan), menenun atau menulis, tidak boleh dibiarkan tenggelam ke dalam utilitarianisme yang dangkal. Pendidikan harus menjaga cita-citanya yang luas, dan tidak pernah lupa bahwa pendidikan berhubungan dengan Jiwa dan bukan dengan Dolar" (Du Bois, 1902: 82).

Tidak lengkap rasanya jika membicarakan pendidikan tanpa menyertakan gagasan dari Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Dalam rangka merumuskan orientasi global dari pendidikan, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan tiga ajaran tentang pendidikan atau yang lebih  dikenal dengan tiga fatwa yaitu tetep, antep, dan mantep lalu ngandel, kandel, dan bandel serta neng,ning,nung dan nang.

Pertama, tetep, antep, mantep artinya bahwa pendidikan itu harus membentuk ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam prinsip hidup. Kedua, ngandel, kandel, kendel dan bandel secara singkat dapat diartikan bahwa pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang teguh berani, dan tahan uji dalam segala situasi hidup yang dihadapinya. Ketiga, neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran terdalam bercorak religious

Di lain sisi, dengan adanya perkembangan zaman, tentunya kita semua suda tidak asing lagi dengan jargon "Revolusi Industri 4.0". Jargon tersebut datang seolah menyihir hamper semua sektor di dunia untuk mengadaptasikan segala bentuk produk maupun sistemnya harus bertujuan dalam menyambut "Revolusi Industri 4.0". 

Sama seperti sektor lainnya, jargon tersebut juga sepertina juga ikut serta meramaikan dan memberi warna pada sektor  pendidikan di Indonesia khususnya di bawah komando mentri pendidikan Nadiem Makarim yang cukup dekat dengan jargon tersebut. Di Indonesia, jargon "Revolusi Industri 4.0" digaungkan tanpa henti di media dan tak kunjung berhenti dibicara kan mengenai pentingnya "revolusi" ini yang katanya harus segera diimplementasikan dalam semua lini sektor pendidikan. 

Pengimplementasian  jargon "Revolusi Industri 4.0" pada sistem pendidikan di Indonesia tergambarkan pada dokumen Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada dokumen tersebut, dicantumkan poin teknologi sebagai cerminan dari jargon "Revolusi Industri 4.0". 

Penerapan teknologi pada sistem pendidikan Indonesia tahun 2020-2035 akan diarahkan pada beberapa hal seperti (1) penerapan otomatisasi, AI (Artificial Intelligence) dan big data di semua sektor lalu (2) penyediaan konektivitas 5G yang memungkinkanteknologilainnyasalingterhubungsepertikendaraanotonom, drones, dll serta (3) pencetakan3D (3D printing), smart wearables, augmented dan realitasmaya (virtual reality)(AR dan VR).

Melihat fokusan unsur teknologi pada peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 pada 3 poin di atas tentunya melahirkan pertanyaan selanjutnya yaitu "Bagaimana hal tersebut dapat diimplementasikan dan dirasakan dampaknya oleh semua orang yang berada di sektor pendidikan (baik siswa, guru, dan lain sebagainya)?". Meskipun unsur teknologi pada dokumen peta jalan terasa sangat visoner dan utopis untuk sektor pendidikan, pengimplementasian unsur tersebut tidaklah mudah dan rawan menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih kompleks.  

Mengutip data Ikatan Guru Indonesia (IGI), berdasarkan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh yang diterapkan pada tiga bulan terakhir tercatat 60 persen guru memiliki kemampuan sangat buruk dalam penggunaan teknologi informasi saat mengajar. Hal ini mengindekasikan bahwa masih banyak guru di Indonesia yang belum terbiasa menggunakan teknologi. 

Bahkan 40% guru yang mungkin sudah terbiasa dengan teknologi itu sendiri masih perlu dipertanyakan apakah mereka hanya sekadar mengetahui atau bisa menggunakannya untuk pembelajaran akademik di sekolah. Hal tersebut sangat tercermin ketika melihat banyak guru di kota-kota besar yang dahulu terbiasa menggunakan metode konvensional lalu seketika bertransformasi menggunakan teknologi mengalami kegagapan dalam pelaksanaan. 

Kegagapan tersebutlah yang pada akhirnya dapat menghilangkan "nyawa" dari pendidikan itu sendiri. Fakta dan data mengenai kurang nya kecakapan guru dalam memanfaatkan teknologi harusnya melahirkan pertanyaan kritis yaitu "Apakah pengimplementasian peta jalan pendidikan Indonesia tahun 2020-2035 akan berjalan dengan baik?".

Selain dilihat dari data, pemanfaatan teknologi juga sepatutnya ditinjau dari aspek value atau nilai dari pendidikan yang telah dilahirkan dari gagasan besar para tokoh pendidikan dunia dan Indonesia termasuk 3 gagasan tokoh di atas. Jargon "Revolusi Industri 4.0" dan poin teknologi juga sangat lekat dengan perkembangan industri kreatif berbasis teknologi dan juga perkembangan perusahan rintisan (startup). 

Perkembangan tersebut sepertinya telah menumbuhkan pola pikir yang cukup berbahaya yaitu otuputan dari pendidikan tinggi adalah terciptanya SDM yang unggul untuk siap terju di dunia kerja industri 4.0. Pola pikir tersebut sepertinya sudah tergambarkan jauh sebelum pembuatan peta jalan pendidikan di Indonesia. 

Dalam pidato Hari Pendidikan Nasional 2017 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Menteri Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menekankan tema pendidikan tahun ini sebagai "meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi". Nasir melanjutkan dengan mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.

Pernyataan Nasir tentunya menularkan pola pikir di mana pembelajaraan di tingkat perguruan tinggi diorientasikan untuk membentuk para pekerja dan buruh di suatu industri. Selain di era Nasir, pada era mentri Nadiem Makarim pola pikir tersebut sepertinya juga tercerminkan pada program "Merdeka Belajar" yang digagas pada tahun 2019/2020. Program "Merdeka Belajar" masih menuai berbagai pertanyaan tentang landasan berpikir nya dan juga pengimplementasian konsep di lapangan. 

Semenjak di luncurkannya program "Merdeka Belajar" sudah banyak perusahan-perusahan yang bekerjasama dengan kementrian pendidikan dan juga dikti untuk membuka program internship atau magang yang dibungkus rapih dengan istilah "kelas terbuka". Pada program tersebut, para mahasiswa dapat bekerja di suatu perusahaan dan nantinya pekerjaannya dapat dikonversikan menjadi nilai Satuan Kredit Semester (SKS).

Dengan pengimplementasian program "Merdeka Belajar" seperti penjelasan di atas maka perlu dipertanakan apakah definisi "merdeka" mentri Nadiem hanya mendaur-ulang logika lama yaitu  pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan utama pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja yang kuat bertarung pada pasar. Jika seperti itu maka tidak mengherankan ketika di kalangan para pelajar dan masyarakat pada akhirnya terciptanya paradigm segmentasi pengetahuan atau hierarki pengetahuan. 

Dengan ekonomi pasar sebagai oreientasi, hierarki pengetahuan dibentuk untuk mempertahankan skema tersebut. Hal ini tercerminkan ketika para lulusan program sastra Indonesia atau sastra jawa memiliki kesempatan yang lebih sedikit daripada lulusan teknik industri atau teknik computer dalam mengikuti kegiatan "Merdeka Belajar" yang diadakan berbagai perusahaan. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan pemikiran W.E.B Du Bois yang mengatakan bawa pendidikan berhubungan dengan Jiwa dan bukan dengan Dollar.

Dengan melihat fakta dan data mengenai sistem, pola pikir, dan juga orientasi pendidikan di Indonesia saat ini maka sudah sepatutnya kita berpikir kritis pada berbagai program pendidikan dengan cara kembali mempertanyakan apakah orientasi pendidikan saat ini sudah sesuai dengan filosofi para tokoh dan pendiri pendidikan dahulu. Karena pada sejatinya kegiatan belajar adalah proses menempa diri untuk mencari kebenaran bukan mencari uang bahkan berorientasi pada ekonomi semata. Belajar merupakan sebuah kegiatan yang melatih logika untuk membentuk karakter dan nilai luhur budi pekerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun