Mohon tunggu...
Haikal Pramono
Haikal Pramono Mohon Tunggu... Editor - #learning

setiap frasa punya rasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Revolusi Industri 4.0 Pada Sistem Pendidikan Indonesia

26 Juli 2021   05:40 Diperbarui: 26 Juli 2021   07:13 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kegagapan tersebutlah yang pada akhirnya dapat menghilangkan "nyawa" dari pendidikan itu sendiri. Fakta dan data mengenai kurang nya kecakapan guru dalam memanfaatkan teknologi harusnya melahirkan pertanyaan kritis yaitu "Apakah pengimplementasian peta jalan pendidikan Indonesia tahun 2020-2035 akan berjalan dengan baik?".

Selain dilihat dari data, pemanfaatan teknologi juga sepatutnya ditinjau dari aspek value atau nilai dari pendidikan yang telah dilahirkan dari gagasan besar para tokoh pendidikan dunia dan Indonesia termasuk 3 gagasan tokoh di atas. Jargon "Revolusi Industri 4.0" dan poin teknologi juga sangat lekat dengan perkembangan industri kreatif berbasis teknologi dan juga perkembangan perusahan rintisan (startup). 

Perkembangan tersebut sepertinya telah menumbuhkan pola pikir yang cukup berbahaya yaitu otuputan dari pendidikan tinggi adalah terciptanya SDM yang unggul untuk siap terju di dunia kerja industri 4.0. Pola pikir tersebut sepertinya sudah tergambarkan jauh sebelum pembuatan peta jalan pendidikan di Indonesia. 

Dalam pidato Hari Pendidikan Nasional 2017 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Menteri Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menekankan tema pendidikan tahun ini sebagai "meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi". Nasir melanjutkan dengan mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.

Pernyataan Nasir tentunya menularkan pola pikir di mana pembelajaraan di tingkat perguruan tinggi diorientasikan untuk membentuk para pekerja dan buruh di suatu industri. Selain di era Nasir, pada era mentri Nadiem Makarim pola pikir tersebut sepertinya juga tercerminkan pada program "Merdeka Belajar" yang digagas pada tahun 2019/2020. Program "Merdeka Belajar" masih menuai berbagai pertanyaan tentang landasan berpikir nya dan juga pengimplementasian konsep di lapangan. 

Semenjak di luncurkannya program "Merdeka Belajar" sudah banyak perusahan-perusahan yang bekerjasama dengan kementrian pendidikan dan juga dikti untuk membuka program internship atau magang yang dibungkus rapih dengan istilah "kelas terbuka". Pada program tersebut, para mahasiswa dapat bekerja di suatu perusahaan dan nantinya pekerjaannya dapat dikonversikan menjadi nilai Satuan Kredit Semester (SKS).

Dengan pengimplementasian program "Merdeka Belajar" seperti penjelasan di atas maka perlu dipertanakan apakah definisi "merdeka" mentri Nadiem hanya mendaur-ulang logika lama yaitu  pendidikan yang harus mendekatkan diri pada logika pasar, bahwa tujuan utama pendidikan tak lain adalah untuk mencetak tenaga kerja yang kuat bertarung pada pasar. Jika seperti itu maka tidak mengherankan ketika di kalangan para pelajar dan masyarakat pada akhirnya terciptanya paradigm segmentasi pengetahuan atau hierarki pengetahuan. 

Dengan ekonomi pasar sebagai oreientasi, hierarki pengetahuan dibentuk untuk mempertahankan skema tersebut. Hal ini tercerminkan ketika para lulusan program sastra Indonesia atau sastra jawa memiliki kesempatan yang lebih sedikit daripada lulusan teknik industri atau teknik computer dalam mengikuti kegiatan "Merdeka Belajar" yang diadakan berbagai perusahaan. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan pemikiran W.E.B Du Bois yang mengatakan bawa pendidikan berhubungan dengan Jiwa dan bukan dengan Dollar.

Dengan melihat fakta dan data mengenai sistem, pola pikir, dan juga orientasi pendidikan di Indonesia saat ini maka sudah sepatutnya kita berpikir kritis pada berbagai program pendidikan dengan cara kembali mempertanyakan apakah orientasi pendidikan saat ini sudah sesuai dengan filosofi para tokoh dan pendiri pendidikan dahulu. Karena pada sejatinya kegiatan belajar adalah proses menempa diri untuk mencari kebenaran bukan mencari uang bahkan berorientasi pada ekonomi semata. Belajar merupakan sebuah kegiatan yang melatih logika untuk membentuk karakter dan nilai luhur budi pekerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun