Mohon tunggu...
haifa syaidatul muslim
haifa syaidatul muslim Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hi! Semoga enjoy baca blog-blog saya✍️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Membadut, Salah Mengira

16 Oktober 2022   08:55 Diperbarui: 16 Oktober 2022   09:04 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiba di rumah aku membaca pesan WhatsApp yang telah mengalihkan perhatianku dari lembutnya gesekan kaki pada seprai yang halus. "sudah sampai rumah pi?" tulisan tipis namun terasa habis membaca kabar lolos PTN. Ya! kabar baik tentunya datang lewat perantara tulisan pendek ini. Rasanya kuhitung sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar darinya. Entah ada angin apa yang bisa membuatnya mengetik pesan untukku.

Pagi tiba saatnya aku membangun kegiatan pada hari ini. Pekerjaan rumah dari merapihkan tempat tidur hingga aku mencuci baju telah ku selesaikan. Tidak tahu kenapa, rasanya ini hari yang sangat cerah, segar, hidupku terasa lebih ceria dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Aku kepikiran dengan balasanku yang agak sembrono membalas chat yang telah membuatku berguling-guling dikasur hingga kayang. Padahal aku seheboh itu mendapatkan pesannya, namun, entah mengapa egoku terlalu kokoh, aku menganggap diriku ini cewek mahal yang tidak tergoyah dengan tulisan kecil (padahal nyatanya aku heboh) aku membalas dengan juteknya "udh". Dan itu sangat menggantung, hingga akhirnya malam tiba dia membalas "bisa telepon?". "g skrg" jawabku. "ya emang ga sekarang, lagian saya juga mau nonton bola" katanya, aku membacanya dengan membayangkan dia berbicara seperti itu dengan ketus.

"Fii Safiaaa" teriak temanku sambil melambaikan tangannya ke depan kepalaku karna saat itu aku sedang fokus pada handphoneku. "Mau pake apa baksonyaa?" tanyanya, "campur kayak biasa" kataku. Dia perempuan dengan tinggi sepadan denganku, hanya beda 3cm lebih tinggi dariku. Menyukai pakaian yang berwarna pastel atau bisa disebut dengan cewek kue. Berbincang-bincang random apa saja dibahas sambil menyantap bakso dengan temanku yang satu ini. Namanya Rienna Satine, aku sering memanggilnya "iriiin" "rinong" apa saja pokoknya yang aneh-aneh akan kusebut untuk memanggilnya, karna diapun senang pada panggilan yang diberikan olehku. Aneh memang.

Pulanglah kami sehabis makan bakso tadi yang membuat kami tidak marah-marah lagi dan hilang rasa bete karna rasa lapar. Ketika dijalan mataku terpaku pada seorang pria yang membawa motor dengan ciri khasnya, motor, helm, tas yang sering dipakai. Sebelah ujung bibirku naik, aku mesem karena yang telah lewat tadi adalah orang yang telah memberiku pesan singkat bulan lalu, hingga membuatku kayang. Emang agak berlebihan, tapi ya gimana? memang seperti itu tidak dibuat-buat.

Aku telah sampai dirumah, lalu mendapatkan pesan WhatsApp. Kali ini aku tidak kayang kok, karna terbiasa chattingan untuk sebulan lamanya. Aku terbiasa dengan balasan-balasan yang diberikannya, waktu-waktu dia untuk membalas pesanku, aku hafal kapan saja dia membalas pesanku. Tidak denganku, aku memang ngaret orangnya, bisa dibilang dengan slowrespon. Sering kali hal itu menjadi sebuah perdebatan diantara kami. Tetapi banyak asyiknya dalam perbincangan yang telah kami lalui juga.

Berbincang-bincang di telepon memang sudah menjadi kebiasaan kami selama sebulan ini. Tidak setiap hari. Namun, seringnya begitu. Kami membicarakan dari hal-hal yang ringan sampai yang berat sekalipun, aku merasakan keseruannya. Namun, hal yang lagi-lagi menjadi sorotan adalah aku. Aku tidak banyak bicara, belum berani blak-blakan mengungkapkan sesuatu. Diapun tidak terlalu mempermasalahkan dari cara bicaranya kepadaku. Tidak ada yang salah menurutku, sebelum saatnya tiba aku merasa menjadi Badut. Dia memang yang banyak bicara di telepon, dalam ceritanya banyak hal-hal baru yang kudengar, sangat seru rasanya bahkan sampai menjadi pengantar tidurku. Ya! memang serasa seperti sedang dibacakan dongeng. Tetapi ada cerita yang membuatku bosan, rasanya telingaku pegal sekali mendengarnya. Dia selalu bercerita tentang teman perempuan dekatnya. Itu itu saja yang kudengar ceritanya tanpa mengetahui siapa yang sedang diceritakan olehnya.

Sampai akhirnya aku sedang berada ditolilet. Tempat dimana imajinasiku meningkat secara tiba-tiba. Aku menemukan kriteria yang tepat persis sekali dengan cerita yang diceritakan oleh kak Masqoor. Itulah nama yang ku ceritakan dalam kisah singkat ini.

Aku mencari tahu untuk lebih jelasnya apakah tebakan muslihatku ini benar atau salah. Aku yakin sekali benar dialah orang yang sering diceritakan sebagai teman dekat kak Masqoor ini. Dan ketika ku mencari tahu dengan ciri-ciri yang tersebutkan, aku tidak tahu itu disengaja atau tidak. Intinya aku merasa ini ajaib sekali bisa tepat tebakanku tanpa mencari susah payah.

Berkali-kali aku mendengarkan cerita yang telah bolak-balik di telingaku, huft dia lagi dia lagi yang disebut dalam ceritanya. Dia masih orang yang sama, ‘teman dekatnya’. Namun anehnya, sering diceritakan namun, bilangnya hanya teman, lalu kenapa menjadi cerita pokok disetiap obrolan hari-hari kami?. Sejak itu memang rasanya aku memang sudah semakin dekat, Namun, dengan aku yang masih suka membalas pesan lama ini, aku tidak tahu apakah aku akan dianggap makin dekat juga dengannya? Mana tahu, dan juga tidak bertanya, untuk apa, pikirku.

Tiba puncak saatnya dimana "temen dekat yang aku ceritakan, dia suka aku" wah rasanya aku seperti menjadi Badut ya. Aku nge-Stun Apa maksud dari kalimat tersebut? lalu aku harus bagaimana? aku siapa? timbul lah pertanyaan-pertanyaan yang membuatku kebingungan sendiri, tidak mengerti lagi, tidak habis pikir. Mood-ku seketika melebur, menyebalkan sekali ya, padahal itu dimana aku sedang liburan dengan keluargaku. Aku diperlihatkan isi chattan dengan temannya itu. Tidak ku sangka sekali ternyata dia lebih dekat dengannya, lebih bisa blak-blakan, bahkan ada panggilan khusus tersendiri. ''WAAAH RASANYA AKU MENJADI BADUT SELAMA INI''. Aku dengan pedenya merasa orang yang paling dekat dengannya saat itu, padahal aku bukan siapa- siapa, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perempuan itu.  Antara emosi dan bingung, aku mengekspresikan dengan raut yang tenang-tenang saja. karna aku merasa punya ego dan harga diri. Bahwa aku mengatakan "itu hakmu untuk memilih". Dan diapun menegaskan "jangan terlalu berharap kepada manusia''.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun