Mohon tunggu...
Muhammad Hafiz Zulkhalid
Muhammad Hafiz Zulkhalid Mohon Tunggu... Human Resources - Resmi

Pencinta abstrak dari segala abstrak

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Soto dan Harto: Sebuah Nukilan Orde Baru

15 Mei 2020   08:05 Diperbarui: 15 Mei 2020   09:03 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang sahabat virtual Facebook saya,  sebutlah JK, yang menurut saya sangat cerdas dan sangat terobsesi untuk membiakkan uang, menulis catatan awal tahun yang menarik.

Bukan soal Dandim di Kediri yang men-sweeping "buku-buku PKI." Juga bukan soal si Dandim yang berfoto ria di Lapangan Tiananmen, Beijing, seraya jari-jarinya seolah menjepit Ketua Mao. Ini soal lain.

Kawan saya ini menulis tentang soto dan sate. "Soto diciptakan untuk PNS," demikian tuduhnya. Sebuah tuduhan yang amat serius bukan?

"Sewaktu jaman orba, setelah apel pagi, para kabag/kasi hingga staff meninggalkan kantor untuk makan soto. Menjelang jam 11'an siang, barulah kembali dan bekerja - meladeni masyarakat. Sejam saja," demikian lanjutnya.

"Nanti saat istirahat siang, jalan-jalan kedua adalah perkara sate. Tusukan terakhir masuk mulut jelang jam 3 sore. Inilah mengapa dulu warung soto dan sate bisa ditemukan tak jauh dari instansi para pegawai," tulisnya.

Menurut saya, ini pengamatan yang jeli. Mungkin tidak semua PNS Orba demikian. Tapi, kalau melihat pengalaman, kok ya kayaknya iya.

Untuk sebagian masyarakat Indonesia, khususnya dari golongan priyayi, soto adalah makanan pagi. Tapi bukan sarapan. Orang Indonesia sarapan dengan teh, kopi, dan penganan kecil seperti pisang goreng, misalnya.

Soto adalah apa yang oleh kebudayaan berbahasa Inggris disebut sebagai "brunch" atau breakfast-lunch. Makanan tengah hari yang dimakan sesudah waktu sarapan namun sebelum makan siang.

Jadi, bisa Anda bayangkan betapa jembarnya perut para priyayi kita. Pagi sarapan, lewat apel pagi, nyoto, siang nyate. Pulang ke rumah ada teh manis dengan panganan. Nanti sehabis maghrib makan malam. Itulah jadwal kerja mereka.

Nah, persoalan soto ini membawa saya ke priyayi yang lain. Namanya adalah Letkol Suharto. Sodara kenal dia?

Sesudah tidak menjadi Letkol, Suharto ini menjadi presiden. Nah, sewaktu jadi presiden itu dia membikin, atau menyuruh bikin, tepatnya beberapa film tentang dirinya. Atau, paling tidak dia yang jadi tokoh utamanya. Salah satunya adalah film yang seakan jadi wajib tayang oleh tentara kita, yaitu film "Pengkhianatan G30S/PKI."

Bukan film khianat itu yang saya maksud. Tapi sebuah film yang berjudul Janur Kuning (1979). Ini film yang mengisahkan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam film ini Suharto digambarkan sebagai tokoh utama yang menggagas serangan ke wilayah yang diduduki Belanda. Dia juga komandan serangan.

Kebetulan ada tokoh-tokoh yang sama sebenarnya hadir dalam kedua film yang berlatar sejarah itu. Selain Suharto, disana juga ada Abdul Latief. Ketika Serangan Umum dia berpangkat kapten dan Suharto sudah Letkol. Ketika G 30 S terjadi, Latief berpangkat kolonel dan Suharto adalah Mayor Jendral.

Lalu apa hubungannya dengan soto? Serangan 1 Maret itu dimulai sejak fajar. Serangan simbolik atas posisi-posisi Belanda di Yogya itu, secara militer, tidak berhasil baik. Dua orang anak buah Latief tewas, 12 lainnya luka-luka. Sekitar 50 orang pemuda dari laskar gerilya kota juga tewas.

Kenyataan itu membuat mereka harus mundur dari ajang pertempuran. Mereka menuju ke markas yang berada di daerah Kuncen. Banyak diantara mereka berlumuran darah dan sangat lelah.

Apa yang ditemui di Markas?

Latief dengan anak buahnya yang tinggal 10 orang itu bertemu Suharto. “Kira-kira pada jam 12.00 siang hari, bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai markas gerilya. Waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya,” ujarnya sebagaimana dikutip oleh Tirto.

Lebih sial untuk Latief dan pasukannya yang ngos-ngosan dan berdarah-darah, Suharto sama sekali tidak menawarkan mereka untuk sedikit mencicipi kuah soto itu atau minum. Sebaliknya, Suharto menyuruh mereka menggempur posisi Belanda di dekat markas mereka itu.

Tentu sulit menarik kesimpulan bahwa kebudayaan makan soto priyayi Orba itu berasal dari Suharto. Dia tidak berhak dipersalahkan atas kebudayaan soto tersebut.

Namun menarik juga untuk dicatat bahwa selain kedekatan warung soto dengan kantor-kantor yang dihuni PNS, juga jenis soto yang sangat beragam. Tidak saja soto dinamai seturut bahan yang dipakai: soto ayam, soto, daging, soto babat, soto usus, dll. Juga menurut daerah: Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Banjar, Sotong Pangkong (eh ini bukan Soto) dan sebagainya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari soto dan sate ini kecuali dia adalah bagian integral dari kehidupan priyayi pegawai kita? Tidak ada. Kecuali bahwa ia sejatinya memang sedap. 

Laporan Latief dari Tirto bisa dibaca disini:
https://tirto.id/propaganda-soeharto-dan-serangan-umum-1-maret-1949-cFuK

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun