Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesetaraan Gender dalam Islam vs Emansipasi Modern

23 April 2025   16:15 Diperbarui: 23 April 2025   16:23 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peran wanita sebagi ibu dalam mendidik anak (Sumber: warnaindonesia.com)

Dalam beberapa dekade terakhir, wacana kesetaraan gender dan emansipasi perempuan telah menjadi topik hangat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Gerakan ini pada dasarnya muncul dari kesadaran akan adanya ketimpangan struktural dan kultural yang selama ini meminggirkan perempuan dari akses pendidikan, pekerjaan, hingga ruang publik. Namun, dalam geliat perjuangan itu, tidak jarang makna dan arah perjuangan melenceng dari nilai-nilai adil dan proporsional. Di sinilah pentingnya kita meninjau ulang pemahaman tentang kesetaraan gender, terlebih dari sudut pandang Islam yang kerap disalahpahami.

Islam tidak mengenal istilah emansipasi dalam pengertian modern yang bernuansa perlawanan terhadap sistem patriarki. Sebaliknya, Islam menawarkan prinsip adl (keadilan) dan musawah (kesetaraan) antara laki-laki dan perempuan---bukan dalam bentuk persamaan mutlak, melainkan pengakuan atas hak dan kewajiban yang sesuai dengan fitrah dan peran masing-masing.

Kesetaraan dalam Pandangan Islam

Dalam Al-Qur'an, banyak ayat menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT. Surah An-Nisa ayat 124 menyebutkan bahwa siapa pun yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapatkan ganjaran yang sama. Demikian pula dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah menyatakan bahwa yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa, tanpa menyebut jenis kelamin.

Namun, Islam juga mengatur peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan berdasarkan kodratnya. Dalam urusan rumah tangga, laki-laki diberi tanggung jawab sebagai qawwam (pemimpin dan penanggung jawab nafkah), sementara perempuan lebih dominan dalam peran pengasuhan dan pendidikan anak. Bukan karena perempuan lebih rendah, tetapi karena ia memegang peran yang sangat strategis dalam membangun generasi.

Contohnya nyata kita lihat dalam kehidupan sehari-hari: seorang ibu rumah tangga yang dengan penuh kesabaran membimbing anak-anaknya, mengajarkan adab dan akhlak, adalah pahlawan yang tidak bisa digantikan oleh sistem apa pun. Tanpa kehadiran perempuan dalam peran ini, generasi muda bisa kehilangan arah moral.

Emansipasi yang Melampaui Batas

Gerakan emansipasi di dunia modern, terutama di negara-negara barat, kerap menekankan pada kesetaraan absolut antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek. Tidak sedikit yang akhirnya menuntut agar perbedaan peran biologis dan psikologis antara keduanya diabaikan. Dalam beberapa kasus ekstrem, gerakan ini bahkan menolak konsep keluarga tradisional, menolak peran ibu rumah tangga, dan menyamakan semua jenis pekerjaan serta tanggung jawab tanpa melihat kapasitas dan fitrah.

Sebagai contoh, ada kecenderungan di beberapa negara maju untuk memaksa perempuan agar tidak "hanya di rumah", seolah-olah menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan yang memalukan. Perempuan yang memilih fokus pada keluarga dicap sebagai tidak produktif atau tertinggal. Padahal, dalam banyak masyarakat---termasuk masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi peran ibu---rumah adalah madrasah pertama, dan ibu adalah guru pertamanya.

Contoh lain dapat ditemukan dalam dunia kerja. Di beberapa sektor, karena tekanan kesetaraan kuantitatif, perempuan dipaksa bekerja dalam bidang yang secara fisik berat dan tidak sesuai dengan kondisi biologis mereka. Ini bukanlah bentuk keadilan, melainkan pengabaian terhadap keseimbangan dan martabat perempuan itu sendiri.

Menjaga Nilai, Merawat Peran

Islam tidak pernah melarang perempuan untuk menuntut ilmu, bekerja, berorganisasi, atau aktif di ruang publik. Justru sejarah mencatat banyak perempuan teladan dalam Islam seperti Khadijah binti Khuwailid, seorang pengusaha sukses yang menjadi istri Rasulullah SAW, atau Aisyah radhiyallahu 'anha, cendekiawan perempuan yang meriwayatkan ribuan hadis.

Peran wanita di ruang publik, bekerja menjadi pilihan (Sumber: ANTARA News)
Peran wanita di ruang publik, bekerja menjadi pilihan (Sumber: ANTARA News)

Yang menjadi perhatian adalah bagaimana aktivitas perempuan tetap berada dalam koridor nilai-nilai Islam, menjaga kehormatan dan keseimbangan antara peran publik dan peran domestik. Ketika seorang perempuan memilih menjadi guru, dokter, dosen, pengusaha, atau pejabat, itu semua sah dan mulia. Namun, Islam juga memberi ruang penghormatan tinggi bagi perempuan yang memilih fokus membina rumah tangga dan mendidik anak-anak.

Di sinilah perbedaan besar antara kesetaraan Islam dan emansipasi modern. Islam tidak menuntut perempuan harus berbuat seperti laki-laki untuk dianggap setara, tetapi mengakui keistimewaan masing-masing dalam membangun peradaban.

Kesetaraan Tanpa Permusuhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun