Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Tukang Nulis

Pernah 8 tahun bekerja menulis di media KKG (Kelompok Kompas Gramedia). The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2023. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Untuk kerja sama penulisan, saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com. Salam.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Jangan Lupa Bahagia, Kok Bisa Terlupa?

5 Agustus 2025   08:42 Diperbarui: 6 Agustus 2025   13:57 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan lupa bahagia. Foto: Kompas.com/Freepik

"Jangan lupa bahagia, Cak".

Begitu pesan WhatsApp (WA) yang dikirimkan seorang kawan di momen ulang hari lahir saya, kemarin.

Pesan yang sebenarnya sederhana dibandingkan beragam ucapan 'mewah' lainnya yang masuk di WA ataupun di laman media sosial saya. Tapi, kali ini serasa lebih berasa.

Kalimat itu serasa menampar saya--atau mungkin juga sampean (Anda)--yang karena saking sibuknya setiap hari bergumul dengan kesibukan dunia, sampai lupa bahagia.

Kita yang mungkin selalu berlari kencang demi mengejar harapan yang ingin dicapai, sampai lupa bahwa terkadang berjalan pelan juga ada manfaatnya.

Jangan lupa bahagia, apa iya bisa lupa?

Perihal kalimat "jangan lupa bahagia" ini, saya jadi teringat dengan seorang kawan yang beberapa tahun silam pernah memprotes kalimat ini. Kala itu, istilah ini sedang viral-viralnya.

"Apa sih maksudnya jangan lupa bahagia? Mana ada orang lupa bahagia? Bukannya semua orang ingin bahagia?" protesnya.

Demi menjawab protes tersebut, saya hanya menjawab singkat "sawang sinawang".

Bahwa kita tidak bisa menilai orang lain sama seperti yang diri kita. Kita tidak bisa mengukur baju orang lain dengan ukuran kita. Karena setiap orang punya ukuran sendiri-sendiri. 

Begitu juga cara orang dalam menjalani dan menyikapi hidup mereka. Beda satu sama lain.

Kawan saya itu hidupnya sederhana. Sehari-hari dia berjualan buah segar. Terkadang mangkal di depan pabrik. Menunggu karyawan pabrik pulang kerja dan memborong dagangannya.. Kadang mangkal di pasar minggu.

Pendek kata, dia tidak perlu rumus rumit untuk bisa bahagia. Baginya, bisa kulakan buah, lantas terjual, dan pulang mendapat duit untuk makan anak istri, itu sudah bikin dia bahagia.

Karenanya, dia sampai heran dan bertanya apakah ada orang yang lupa bahagia? 

Jawabnya ternyata ada.

Mereka yang mungkin hidupnya lebih nikmat dari kawan saya itu. Lebih berada. Punya gaji lebih besar.

Tapi, mereka justru sering mengeluh. Mengeluhkan apa saja.

Berangkat ke tempat kerja, mengeluh karena jalanan macet. Mengeluh karena durasi lampu merah yang lama. Mengeluh panjangnya antrean di SPBU.

Sampai di kantor, mengeluh karena merasa kerjaannya banyak. Belum lagi mengeluh lembur. Mengeluh teman-temannya mendapat promosi kenaikan pangkat sementara dirinya belum.

Belum lagi bila di rumah, lagi-lagi mengeluh. 

Mengeluh mengapa tetangganya rumahnya lebih bagus, kendaraannya lebih keren. Mengeluh cicilan rumah yang tidak kunjung lunas. Mengeluh lainnya. Mengeluh.

Bila hari-hari dilalui dengan mengeluh, tentu saja dia akan lupa bahagia. Sebab, dia tidak bisa melihat hal-hal baik dalam hidupnya yang patut disyukuri. 

Dia tidak menemukan cara untuk bahagia. Lupa.

Cara sederhana bahagia

Tentu saja, kalimat jangan lupa bahagia itu, terkadang tidak semanis dan semudah bila diucapkan. 

Bagaimana bila baru saja menjadi korban efisiensi di kantor sehingga kini tidak punya pekerjaan tetap, apa iya bisa bahagia?

Bagaimana bila dihantui cicilan rumah, cicilan kendaraan, dan biaya sekolah anak yang antre dibayar tiap bulan, apa iya masih bisa bahagia?

Memang, orang yang kerjaannya enak, dapat gaji tetap dan lebih dari cukup, mudah saja berucap 'jangan lupa bahagia".

Tapi, sejatinya urusan menjadi bahagia itu bukan hanya soal materi itu.

Selama menjalani hidup yang kini sudah lebih 40 tahun, saya pernah merasakan dua sisi berlawanan itu.

Pernah jatuh bangun. Pernah menikmati masa jaya dan serasa berada di titik terbawah.

Pernah merasakan enaknya mendapatkan gaji dua digit tiap bulan. Tapi, saya juga pernah merasakan pahitnya tidak gajian. Bahkan hanya mendapatkan ucapan terima kasih.

Pernah seolah menginginkan apa saja itu gampang digapai. Tapi juga pernah merasakan belajar berdamai menerima kenyataan bahwa tidak semua keinginan itu realistis. 

Dari situ saya belajar, terkadang, urusan bahagia ini terletak pada siapa yang paling pandai mensyukuri hidupnya. Bukan hanya ketika hidupnya enak. Tapi juga bisa melihat blessing in disguise ketika dirinya terpuruk.

Pola pikirnya begini. 

Ketika kita sekarang tidak punya pekerjaan sekeren dulu, toh kita masih punya daya untuk tetap bekerja produktif dan menghasilkan. Itu patut disyukuri.

Ketika kita tidak lagi mendapat gaji bulanan sebesar dulu, tapi bila tidak punya cicilan, tidak punya hutang, anak dan istri sehat, itu juga patut disyukuri.

Ketika kita tidak lagi ngantor seperti dulu, tetapi selama punya teman-teman yang baik, teman yang mengingatkan kebaikan, bahkan mengajak bekerja sama bila ada peluang, itu sebuah hadiah besar.

Itu sumber bahagia yang jangan dilupakan.

Melepas yang tidak bisa digapai

Selain mudah mensyukuri apa yang kita miliki, bahagia juga bisa hadir bila kita mampu melepas apa yang memang bukan rezeki kita.

Karena terkadang, bila memiliki harapan yang terlampau besar alias kelewat berharap, juga menjadi pemicu kecewa bila ternyata tidak sesuai harapan. Jadinya sulit bahagia.

Saya pernah mengalaminya. 

Beberapa waktu lalu, ada beberapa kawan yang menjanjikan untuk mengajak berkolaborasi dalam pekerjaan. Dia bilang ada job menarik dan membutuhkan jasa saya untuk membantunya.

Saya pun berpikir itu kabar bahagia. Di masa sulit seperti sekarang, ada tawaran job yang menghasilkan, seperti melihat sumber mata air di gurun pasir. Ada rasa berharap.

Yang terjadi, janji ternyata tinggal janji. 

Semua hal baik yang pernah diucapkan kawan tersebut, ternyata tidak terjadi. Malah tidak ada kabar. Entah karena apa saya tidak mau berspekulasi.

Tentu saja, itu membuat kecewa. Bohong bila tidak ada rasa kecewa bila mengalami situasi begitu.

Tapi, kecewa yang dipelihara karena urusan 'di-prank' teman, hanya membuat nestapa. Kecewa boleh tapi jangan ada perpanjangan waktu. Sebab, janji yang akhirnya dusta itu di luar kemampauan kita.

Cara terbaik adalah melepasnya. Melupakannya. Anggap saja bukan rezekinya. Itu jauh lebih baik daripada berlama-lama kecewa.

Jangan lupa bahagia!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun