Tapi, meski tengah diselimuti keprihatinan, mudik Lebaran bagi kami adalah cerita berbeda. Itu cerita yang harus diwujudkan. Kami tidak mau kalah dengan situasi yang terjadi.Â
Bukannya memaksakan mudik, tetapi memang ada alasan penting mengapa mudik tahun in menjadi prioritas bagi kami meski tengah dalam suasana haru.Â
Pertama, sebagai keluarga yang masih berjuang dengan anak pertama masih duduk di bangku SMP dan anak kedua masih SD, kondisi finansial kami memang belum memungkinkan untuk setiap bulan ataupun setiap triwulan sekali bisa mengunjungi Eyang Uti (ibu mertua saya) di Tangerang. Â
Momen terbaik untuk mengunjungi Eyang Uti ya setahun sekali itu. Di momen mudik Lebaran. Karenanya, kami mengupayakan untuk berangkat.
Kedua, Eyang Uti juga tengah dalam kondisi mudah sakit karena usia lanjut. Setelah akhir tahun lalu kami kehilangan Eyang Kakung yang berpulang, ada dorongan harus bertemu dengan neneknya anak-anak di Lebaran kali ini.Â
Pertimbangan itu yang membuat kami menepikan situasi haru. Kami serasa punya energi lebih untuk menghadapi situasi prihatin yang tengah kami alami.
Saya percaya, ketika kita mengedepankan niat baik dalam mewujudkan harapan dalam hidup, maka alam semesta akan membantu.Â
Dan begitulah yang terjadi. Saya merasakan, jagat raya seolah bersatu padu untuk membantu kami meraih tujuan kami. Persis seperti yang disampaikan Paulo Coelho di buku The Alchemist yang terkenal itu.
Di pekan awal Ramadan, beberapa hari sebelum Lebaran, saya mendapatkan kejutan membahagiakan.
Honor awal (uang muka) project menulis buku yang sudah lama dinanti, ternyata cair. Jumlahnya lumayan besar.
Cukup untuk bekal mudik maupun membeli tiket kereta api berangkat dan pulang mudik. Jadilah kami berangkat mudik.