Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Berdamai dengan Situasi "Bekerja di Bawah Tekanan"

23 Agustus 2021   13:41 Diperbarui: 31 Agustus 2021   16:01 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekerja di bawah tekanan bisa dirasakan pekerja kantoran dan freelance. Kita perlu menguasai skill untuk berdamai dengan situasi itu/iStockphot

"Apakah Anda siap bila bekerja di bawah tekanan?".

Kalimat tanya tersebut merupakan pertanyaan paling umum yang ditanyakan ketika wawancara kerja. Sampeyan mungkin juga pernah mendengar langsung pertanyaanitu diutarakan oleh penginterview.

Seingat saya, dulu, di awal tahun 2005, ketika melakoni tes wawawancara sebagai syarat masuk bekerja di pabrik koran, saya juga mendapat pertanyaan seperti itu.

Saya yang waktu itu berstatus baru lulus kuliah (fresh graduate) spontan menjawab siap. Meski, saya sebenarnya kurang paham dengan frasa bekerja di bawah tekanan tersebut. Belum bisa membayangkan bekerja di bawah tekanan itu seperti apa. Karena memang belum pernah merasakan bagaimana dunia kerja.

Setelah diterima bekerja, saya baru paham makna pertanyaan itu. Saya merasakan situasi bekerja di bawah tekanan. Dari yang paling mudah hingga yang paling rumit. Semisal tulisan yang ditulis harus selesai sebelum deadline.

Malah, setelah bekerja beberapa tahun, saya menjadi paham bahwa kalimat itu ternyata maknanya luas. Bukan hanya soal deadline. Tapi juga terkait dengan berita yang ditulis, relasi dengan atasan, ataupun hubungan dengan narasumber.

Bekerja di bawah tekanan bukan hanya di kantoran

Saya mendadak teringat dengan frasa bekerja di bawah tekanan tersebut ketika pekan lalu bertemu seorang kawan untuk urusan mencetak buku yang saya tulis. Buku pesanannya orang.

Kawan ini bukan pemilik percetakan. Tapi dia punya kemampuan mengurus tata letak (lay out), cover buku, dan mengurus ISBN buku. Lantas, menghubungkan ke percetakannya.

Ceritanya, si pemesan buku tersebut kurang tahu bagaimana urusan dalam percetakan buku. Maksudnya, berapa lama waktu yang dibutuhkan agar buku selesai dicetak. Mungkin dikira seperti foto copy. Dicopy, dijilid, selesai. Sehari selesai.

Nah, tahu-tahu, klien ini meminta tanggal sekian dengan waktu tak sampai seminggu, bukunya sudah harus selesai. Padahal, sebelumnya ada waktu yang lumayan longgar tapi tidak kunjung dicetak karena masih ada revisi yang seperti tidak berkesudahan.

"Cetak buku minimal seminggu mas ya agar hasilnya bagus. Karena di percetakan tidak hanya mengerjakan buku ini, tapi juga ada order cetak yang lainnya," ujarnya.

Permintaan mendadak itu membuat kawan saya merasa tertekan. Di satu sisi, dia mau menerima pekerjaan itu karena memang butuh pemasukan. Di sisi lainnya, harus kejar target memberesi cetak buku sesuai deadline.

Apalagi, saya juga ikut kena 'getahnya'. Ikut merasa di-pressure karena terus ditanya bagaimana progres cetaknya. Meski, saya mencoba santai dan sekadar meneruskan pesan itu ke kawan tersebut.

Nah, hingga hari kelima, katakanlah Jumat, saya berniat mengajaknya ngobrol santai sambil ngopi. Yang terjadi, ajakan lewat pesan WA yang saya kirim, dibalas dengan 'kejutan'.

"Kalau begini, aku bisa stres mas. Ini ada lima orang meminta hal yang sama. Apa aku nggak kerja begini lagi saja," tulisnya.

Repotnya, ketika ditelpon tidak dijawab. Lantas, disambung dengan balasan pesan WA lagi, "Sori mas, aku menyendiri dulu. Ingin menenangkan pikiran".

Padahal, niat saya hanya ingin ngajak ngopi sembari ngobrol santai. Kalaupun ada obrolan kerjaan cetak buku itu, ya sekadar bertanya bukan untuk menyudutkan dirinya. Namun, dia overthinking duluan. Merasa tertekan dengan kerjaan itu. Bahkan, 'kena mental'.

Dari situ saya tahu, frasa bekerja di bawah tekanan itu bukan hanya dirasakan oleh mereka yang bekerja di kantoran yang terbiasa menjalankan tugas dan perintah dari atasan.

Pekerja lepas yang tidak punya atasan langsung dan bekerja mengandalkan skill untuk memberesi pekerjaan by order dari orang lain, ternyata juga bisa merasakan bekerja di bawah tertekan.

Menguasai skill bekerja di bawah tekanan

Saya yang kini bekerja sebagai penulis lepas yang tidak punya kantor, juga terkadang merasakan bekerja di bawah tekanan seperti saat dulu bekerja di media.

Semisal ketika memberesi majalah dengan tenggat waktu bulanan. Ataupun mendapat 'pesanan' untuk menyunting tulisan dengan deadline harian.

Rasanya, apapun pekerjaan kita, tekanan dalam pekerjaan itu akan selalu ada dalam berbagai bentuk.

Nah, karena akan selalu ada, tekanan dalam pekerjaan itu tidak bisa dihindari. Mungkin mundur dari pekerjaan bisa menghindari tekanan, tapi ya tekanan pikiran akan bertambah besar bila tidak punya pekerjaan.

Karenanya, satu-satunya cara adalah berdamai alias membiasakan diri menghadapi situasi bekerja di bawah tekanan. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa skill yang perlu dikuasai untuk bisa 'menikmati' suasana bekerja di bawah tekanan

Bekerja cerdas

Kita bisa menyiasati tekanan yang muncul dengan bekerja cerdas. Definisi bekerja cerdas ini bisa rupa-rupa warnanya. Setiap orang bisa punya siasat yang disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.

Sekadar bercerita, dulu di masa-masa awal bekerja di koran (di salah satu grup Kompas Gramedia), saya pernah merasakan situasi tidak biasa yang hingga kini terus saya kenang.

Akhir April 2005, ketika saya bekerja belum genap satu bulan, saya yang kala itu ditempatkan di desk olahraga, mendapat tugas khusus. Mengawal pertandingan penentuan Chelsea jadi juara Premier League kali dan diplot di halaman 1.

Di musim itu, Chelsea yang dilatih Jose Mourinho unggul jauh dari Arsenal di peringkat dua. Saat menghadapi tuan rumah Bolton Wanderers pada 30 April, bila menang, Chelsea akan juara untuk kali pertama dalam 50 tahun.

Sekilas, itu tugas mudah. Masalahnya, pertandingan itu dimulai pukul 22.00 WIB. Artinya, baru selesai pukul 23.30 WIB beberapa menit. Sementara, sesuai deadline, semua berita harus sudah selesai pukul 23.30. Sudah siap naik cetak.

Sangat tidak mungkin bila saya menunggu pertandingan selesai lalu menulis. Harus memulai menulis sejak awal. Lha kan belum tahu hasil akhirnya jadi juara atau tidak. Bagaimana bila ada gol di menit-menit akhir.

Untuk menyiasati itu, sembari memantau pertandingan, saya menyiapkan naskah pendukung dan data-data pelengkap. Itu untuk melengkapi hasil dan cerita pertandingan yang ditulis terakhir.

Ketika babak pertama usai, saya mulai membuat lead tulisan. Nah, karena belum tahu akhir pertandingan, saya menyiapkan dua lead (paragraf pembuka). Bila Chelsea juara. Juga bila juara tertunda.

Saya masih ingat, selama menulis pertandingan itu, bos di kantor beberapa kali datang ke meja saya. Bertanya bagaimana progres tulisan saya. Tentu saja itu menambah tekanan.

Pada akhirnya, Chelsea juara malam itu. Dan tulisan saya selesai hanya beberapa menit setelah pertandingan itu usai. Lalu, dilay-out dan naik cetak.

Setelah selesai, saya hanya bisa menghela nafas. Lega. Jadi lapar. Plus merasa senang dan bangga karena tulisan anak pemula bisa muncul di halaman 1.

Tetap tenang

Ketika bekerja di bawah tekanan, kebanyakan dari kita mendadak menjadi gugup, cemas, dan stres. Padahal, sikap demikian justru akan membuat tekanan menjadi lebih besar.

Untuk itu, penting untuk menghadapi situasi tekanan dalam pekerjaan dengan tetap bersikap tenang. Dihadapi saja. Kalem sembari berusaha menyelesaikan tugas tersebut.

Pilihan mudahnya begini. Toh, bila bersikap cemas dan tenang, beban kerja yang ditargetkan itu tidak serta merta selesai. Karenanya, lebih baik bersikap tenang.

Kecuali bila kita cemas, resah, dan stress ternyata pekerjaannya mendadak langsung selesai, ya monggo saja.

Sikap tetap tenang inilah yang saya coba sampaikan kepada kawan yang bekerja dengan tekanan di bidang percetakan buku tadi.

Bahwa, sebagai pekerja jasa yang melayani pekerjaan by order dari orang lain, bila ada yang 'cerewet' dan menuntut ini itu, hadapi saja. Namanya orang keluar duit, mereka tentu ingin yang terbaik. Maunya cepat dan hasilnya bagus.

Agar tidak merasa tertekan apalagi stres, beri mereka pengertian yang baik. Sebab, mereka mungkin tidak paham bidang pekerjaan yang sampeyan kerjakan. Semisal percetakan buku butuh waktu karena bla bla bla. Bila mengerti, mereka tentu tidak akan terlalu menuntut.

Berani menolak pekerjaan bila tidak masuk akal

Sikap ini juga penting dilakukan bila ingin terhindar dari situasi bekerja di bawah tekanan. Utamanya bagi pekerja jasa yang menerima garapan pekerjaan dari orang lain.

Jangan hanya karena butuh duit, lantas menerima pekerjaan yang tidak masuk akal. Akhirnya malah stres karena merasa tidak bisa menyelesaikan pekerjaan itu tepat waktu.

Atau, jangan hanya karena menerima pekerjaan dari teman sendiri, mau dibayar murah. Padahal, pekerjaan yang dikerjakan itu butuh biaya lebih. Akhirnya hasilnya malah tidak maksimal dan malah berisiko dicaci maki klien.

Semisal kawan saya tadi, bila mendapatkan order cetak buku yang harus selesai tiga hari, dia memilih untuk tidak menerimanya. Meski dia sedang butuh duit. Dia tidak ingin menyusahkan diri.

Sebab, dengan dinamika yang ada, dia tahu tidak mungkin menyelesaikan garapan itu hanya dalam tiga hari. Daripada dirinya sudah menerima duit tapi kemudian pekerjaannya tidak selesai. Kalaupun selesai tapi kualitas hasilnya tidak sesuai harapan.

Dampaknya bisa panjang. Dia bisa kehilangan peluang di lain waktu. Sebab, bisa saja, klien yang kecewa itu lantas bicara sana-sini dan mengabarkan bila pekerjaan kawan saya itu tidak bagus. Niatnya memaksakan menerima order, tapi malah bisa kehilangan banyak order berikutnya.

Ini yang harus dipahami para pekerja jasa agar tidak sembarangan menerima orderan hanya karena butuh duit. Sebab, hasil pekerjaan kita itu branding diri kita.

Itu akan dinilai orang. Klien bisa kembali memberikan pekerjaan karena merasa puas. Bisa juga sebaliknya. Jadi, jangan sampai, mengerjakannya sudah dalam tekanan, malah berakibat hilang kesempatan di waktu berikutnya.

Sebagai penutup, situasi bekerja di bawah tekanan bisa dirasakan oleh siapa saja. Baik pekerja kantoran maupun pekerja lepas.

Situasi seperti itu tidak bisa dihindari. Ketika bekerja dan menerima upah, harus siap dengan situasi seperti itu. Agar tidak stress, kuasai beberapa skill untuk bisa berdamai dengan situasi bekerja di bawah tekanan ini. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun