Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aku, Tabel Periodik, dan Penggila Kimia yang "Tersesat" Jadi Writerpreneur

21 Juni 2021   14:45 Diperbarui: 21 Juni 2021   20:06 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelajaran kimia (Sumber: freepik via kompas.com)

Pertengahan tahun 90-an, sekira 25 tahun silam, bekerja menulis seperti sekarang, sama sekali belum terlintas dalam pikiran saya.

Kala itu, di masa awal masuk SMA, saya mengandaikan bekerja sebagai ahli kimia karena kecintaan pada mata pelajaran itu.

Saya lupa bagaimana awalnya sehingga suka dengan pelajaran kimia. Saya hanya mengingat, saya justru kurang akrab dengan "kawan dekatnya", yakni Fisika.

Saya juga ingat, bu guru yang mengajar kimia, cara mengajarnya memang menyenangkan seperti mudah untuk memahaminya. Mungkin itu penyebabnya.

Saya pun jadi suka pada kimia, suka membaca buku-buku kimia. Bahkan, pernah mewakili sekolah untuk mengikuti lomba semacam "Olimpiade Kimia" di tingkat kabupaten bersama dua orang teman di sekolah.

Karena suka kimia, saya pun punya mainan baru namanya "Tabel Periodik Unsur Kimia".

Sekadar informasi, tabel periodik adalah tabel yang menampilkan unsur-unsur kimia. Unsur -- unsur tersebut di susun berdasarkan nomor atom, yaitu jumlah proton dalam inti atom, konfigurasi elektron, dan keberulangan sifat kimia.

Tabel periodik banyak digunakan dalam bidang kimia. Selain untuk menurunkan hubungan antara sifat -- sifat unsur dan memperkirakan sifat unsur baru yang belum ditemukan, juga memberikan kerangka kerja untuk melakukan analisis perilaku kimia.

Dulu, saking sayangnya, tabel berisi unsur-unsur kimia yang sudah dijajar rapi itu sampai saya laminating supaya tidak rusak.

Setiap hari, tabel periodik itu juga ada di dalam tas, entah pas ketika ada pelajaran Kimia atau tidak. Pokoknya, dia harus ikut ke sekolah.

Ketika ada waktu longgar, saya menyempatkan waktu untuk melanjutkan menghafal satu demi satu zat kimia itu. Bukan hanya namanya, tapi juga golongan hingga urut-urutannya.

Semisal di golongan 1 A merupakan logam alkali yang tergolong lunak ada unsur apa saja atau juga golongan VIII A yang merupakan gas mulia, ada unsur apa saja.

Kadang, tebak-tebakan sama teman. Menebak nama unsur maupun posisi unsurnya. Dulu, tebakan seperti itu sangat menantan, nggak mau kalah.

Semasa SMA, Kimia menjadi mata pelajaran favorit (Foto ilustrasi : www.disway.id)
Semasa SMA, Kimia menjadi mata pelajaran favorit (Foto ilustrasi : www.disway.id)
Dulu, saya punya "trik" bagaimana menghafal sehingga bisa cepat hafal tabel periodek itu. Meski sudah lupa triknya, hingga kini saya masih bisa mengingat nama-nama unsurnya. Meski, tidak semuanya.

Antara Kimia dan Tabloid Bola

Pendek cerita, karena menyukai kimia, saya lantas masuk jurusan IPA ketika kelas III. Semakin pede bahwa keinginan untuk menjadi ahli kimia bakal terwujud. Jelang UMPTN, sudah menentukan bakal memilih teknik kimia sebagai pilihan pertama.

Selain kimia, saya juga punya satu lagi passion semasa SMA. Kegemaran membaca ulasan olahraga. Salah satu momen yang paling ditunggu setiap pekan adalah bisa membaca Tabloid Bola.

Demi momen itu, rela meski harus menyisihkan uang saku. Meski harus mengayuh sepeda angin dan menempuh jarak beberapa kilometer demi membeli tabloid kesayangan itu di kios koran.

Di Tabloid Bola, saya senang membaca ulasan bulutangkis, Formula 1, MotoGP, dan tentu saja sepak bola. Baik sepak bola dalam negeri maupun ulasan Liga-liga Eropa.

Gara-gara doyan membaca Bola, dulu bisa menghafal ratusan nama-pemain bola, hafal nama-nama klub sekaligus kotanya hingga mengkliping foto pemain bola.

Dari situ, muncul ketertarikan untuk menjadi wartawan bola. Membayangkan, betapa menyenangkan bila bisa meliput agenda olahraga di luar negeri. Lantas berkesempatan mewawancara sekaligus foto bareng pemain yang biasanya hanya bisa dilihat.

"Bukankah akan menyenangkan bila bekerja di bidang yang kita suka?", begitu pikiran saya kala itu.

"Tersesat" memilih Ilmu Komunikasi

Meski saat itu, saya belum terlalu suka menulis. Hanya sekadar mengagumi tulisan-tulisan wartawan Bola ataupun kolumnis olahraga di koran lainnya. Kala itu, menulis ya sebatas menyalin pelajaran di sekolah.

Kegemaran pada kimia dan olahraga itu sempat membuat saya berada dalam persimpanan. Saya merasakan dilema memilih yang mana ketika ujian masuk perguruan tinggi.

Bila memilih kimia tentu harus menjadikan teknik kimia sebagai pilihan. Di sisi lain, saya tergoda untuk masuk jurusan hubungan internasional karena kebetulan kemampuan bahasa Inggris saya kala itu lumayan.

Pilihan lainnya adalah ilmu komunikasi yang didalamnya memuat ilmu jurnalistik untuk mempelajari ilmu kepenulisan dan media, juga public relations, dan audio visual.

Yang terjadi kemudian, sampean (Anda) bisa menebak jawabannya.

Ya, semesta rupanya menuntun saya untuk membelokkan cita-cita. Keinginan untuk menjadi ahli kimia itu kalah besar oleh hasrat untuk menggeluti bidang penulisan yang dipicu kecintaan membaca ulasan olahraga.

Semesta menuntun saya untuk mendalami ilmu jurnalistik yang berarti memilih ilmu komunikasi di sebuah kampus di Malang.

Saya yang memiliki latar belakang anak IPA, lantas banyak belajar ilmu sosial. Senang membaca buku-buku ilmu sosial. Juga senang menulis opini.

Di masa-masa awal kuliah dulu, saking senangnya menulis, saya cukup sering mengirimkan artikel opini ke majalah kampus. Demi bisa menghasilkan tulisan, bisa berjam-jam duduk manis di perpustakaan kampus untuk mencari bahan tulisan.

Lantas, ketika dimuat, gembiranya bukan main. Kala itu, tulisan yang dimuat mendapat honor Rp 100 ribu. Bagi anak kos yang kala itu tidak punya kartu ATM, honor itu saya anggap lumayan besar.

Lumayan untuk menyambung hidup di kos, sebelum giliran pulang meminta uang saku ke orang tua.

Bila mengingat bagaimana masa-masa awal menyukai pelajaran kimia dan menyayangi tabel periodik, saya mungkin "tersesat" memilih jalan sebagai jurnalis.

Namun, bilapun tersesat, saya tidak pernah menyesali pilihan itu. Saya menganggap, jalan ini yang dipilihkan Yang Maha Mengatur Hidup untuk saya jalani. Jalan untuk mengetuk pintu rezeki, jalan untuk menjadi seperti saya yang sekarang. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun