Konon, menjadi guru zaman dulu, lebih enak dibandingkan guru di era masa kini. Enak bukan karena gajinya. Lha wong gaji guru zaman sekarang, jelas lebih besar dibanding zaman dulu.
Meski memang, masih ada guru yang mendapatkan gaji jauh di bawa Upah Minimum Kota (UMK) yang berlaku di wilayah dia mengajar. Namun, saya percaya, pemerintah melalui Mas Menteri Nadiem Makarim dan segenap pejabatnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bakal bekerja keras untuk menyejahterakan para guru. Kita patut optimistis dengan semangat Menteri Nadiem berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia seperti dalam pidatonya pada upacara peringatan Hari Guru Nasional.
Bicara enaknya guru di masa lalu, itu karena mereka serasa memiliki otoritas penuh terhadap anak didiknya. Di sekolah, orang tua dan wali murid, percaya penuh kepada guru untuk mendidik anak-anaknya. Bukan hanya pelajaran sekolah. Tapi juga mengajari perilaku.
Dulu, semisal ada anak yang ketika pulang sekolah bercerita bila dirinya dihukum berdiri di depan kelas karena terlambat, makaorang tua bakal menyalahkan anaknya. Minimal dinasehati agar tidak lagi terlambat ketika masuk kelas.
Bahkan, ketika SD dulu, saya pernah memilih guru yang galak bukan main. Ketika mengajar membawa penggaris besar. Bila ada anak yang bandel, penggaris itu bisa mampir di paha si murid. Namun, ketika dihukum guru di sekolah, murid akan berpikir dua kali untuk bercerita ke orang tua. Sebab, mereka tahu malah akan dimarahi.
Pun, ketika masa SMP, saya pernah memiliki guru bahasa Inggris yang cantik, gaul, tapi galak. Di tahun 1993, ketika ke sekolah, bu guru itu membawa mobil jeep Feroza. Disetirnya sendiri. Namun, ketika di dalam kelas, bila ada yang ramai ketika dia mengajar, maka penghapus dan kapur tulis, bisa melayang ke muka murid tersebut. Toh, tidak pernah ada orang tua yang mendadak datang ke sekolah dan melabrak bu guru cantik itu.
Guru era sekarang, dianiaya bahkan dibunuh
Bagaimana guru di era sekarang?
Kini, zaman telah berubah. Kisah seperti itu, hampir tidak ada lagi. Tidak ada lagi "guru killer". Di satu sisi, memang bagus. Sebab, tidak ada lagi hukuman kekerasan fisik.
Hanya saja, guru kini banyak yang menjadi pesakitan. Banyak yang menjadi 'tersangka' tindak kekerasan. Jangankan memukul fisik, menegur muridnya yang bandel dengan kalimat tegas saja bisa menjadi bencana bagi guru. Â Â Â
Faktanya, ada banyak kabar yang seperti itu. Silahkan cek di mesin pencari Google perihal nasib kelam guru masa kini. Ada banyak tautan berita yang mengabarkan berita miris tentang nasib guru di banyak tempat di negeri ini.
Ada guru yang dimarahi bahkan dianiaya orang tua murid karena tidak terima anaknya diperlakukan 'kurang baik'. Ada guru yang bahkan harus duduk di kursi pengadilan karena dilaporkan orang tua murid.
Bahkan, ada guru yang dianiaya muridnya sendiri hingga kehilangan nyawanya. Seperti awal Februari 2018 silam, kita dikejutkan oleh kabar meninggalnya seorang guru SMK di Sampang, Madura, karena dianiaya oleh muridnya sendiri.
Terbaru, pada pertengahan Oktober 2019 lalu, seorang guru di SMK di Manado meninggal usai ditikam muridnya sendiri. Sang guru berusia 54 tahun itu dihajar usai menegur sang murid yang merokok di lingkungan sekolah pada 21 Oktober lalu. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi pak guru tersebut meninggal pada malam harinya seperti dikutip dari https://www.tribunnews.com/pendidikan/2019/10/29/guru-smk-ichthus-manado-tewas-ditikam-murid-kemendikbud-tutup-sekolah-hingga-para-siswa-dimutasi.
Mengapa nasib guru sekarang banyak yang menyedihkan. Terutama dalam kapasitasnya sebagai guru yang seharusnya menjadi 'orang tua' di sekolah?
Kiranya ada banyak jawaban untuk menjawab pertanyaan itu. Jawaban yang bermuara pada satu hal, bahwa para pelaku di dunia pendidikan era sekarang, kini tidak bisa disamakan dengan zaman dulu.
Pertama tentang murid. Menjadi pertanyaan serius, betapa murid di era sekarang ini sudah berani melawan guru. Bukan hanya berani dalam artian berani mendebat. Tapi juga berani melakukan kekerasan fisik pada gurunya.
Hampir setiap hari mengantar anak-anak ke sekolah juga menjemput sewaktu pulang dan terkadang 'nongkrong' di sekolah, membuat saya bisa mengamati tingkah pola anak-anak. Termasuk ketika mengantar si sukung ekstrakurikuler futsal di sekolahnya.
Dari hasil pengamatan itu, saya bisa menyimpulkan bahwa anak-anak sekarang sering marah, mudah tersinggung, sering membantah, serta pendendam.
Hanya karena tersenggol yang tidak disengaja saja, bisa marah bukan main. Sekadar ditepuk bahunya pelan saja, bisa langsung mengamuk. Gara-gara saling meledek, bisa bermusuhan berhari-hari. Mendendam.
Usut punya usut, sifat mudah marah di sekolah itu tidak lepas dari kebiasaan mereka memainkan gawai. Meski pasti ada penyebab lainnya. Apa hubungannya? Bagi mereka, memainkan gawai tidak dianggap untuk bersenang-senang. Tapi untuk menang-menangan. Bila kalah, bisa marah luar biasa.
Belum lagi penyebutan nob yang bisa dengan mudah membakar emosi. Sebutan nob itu seolah dianggap bodoh. Padahal, maknanya tidak beda jauh dengan newbie alias masih pemula atau awam.
Singkat kata, mudah marah dan gampang tersinggung karena merasa 'harga dirinya' direndahkan. Atau merasa privasinya diusik. Boleh jadi, anggapan seperti itu yang dianut murid ketika mereka menganiaya gurunya hanya karena ditegur tidak boleh merokok di sekolah.
Padahal, secara kecerdasan, banyak anak sekarang yang memiliki kecerdasan lebih dibanding anak-anak zaman dulu. Lha wong mereka kini mendapatkan asupan informasi dari banyak sumber. Mereka juga belajar banyak hal lewat gawai karena ada tutorialnya.
Masalahnya, kecerdasan tersebut terkadang tidak dibarengi dengan adab yang baik. Utamanya adab (etika) kepada orang yang lebih tua (guru). Baik adab ketika berbicara maupun bersikap. Termasuk juga adab untuk menghargai sesamanya. Sehingga, kecerdasan itu malah menjadi berbahaya.
Banyak orang tua menganggap anaknya bak 'malaikat' yang tak pernah salah
Kedua karena faktor orang tua. Di era sekarang, sangat sulit menemukan tipikal orang tua seperti zaman dulu yang sangat berbaik sangka kepada guru. Mereka menganggap guru adalah partner dalam 'berbagi tugas' mendidik anak. Utamanya di sekolah.
Kini, banyak orang tua yang mudah baperan. Mudah bawa perasaan. Terutama bila menyangkut anaknya di sekolah. Bila ada anak gegeran dengan temannya, tidak sedikit orang yang lantas menyalahkan gurunya. Bila mendapat cerita anak perihal sikap gurunya di kelas, para orang tua bisa langsung 'ngegas'. Lagi-lagi guru yang akan jadi sasaran.
Saya acapkali mendengar cerita dari kawan-kawan yang semuanya merupakan orang tua dan menghadapi dinamika berbeda-beda di sekolah anak-anaknya. Ketika mereka menghadapi persoalan yang melibatkan anaknya, hampir semuanya membela anaknya.
Bahwa, ketika anak berkisah perihal apa yang dialami sekolahnya, apa yang dilakukan gurunya, terkadang orang tua menelannya mentah-mentah. Hanya percaya dengan apa yang disampaikan oleh anak. Tidak melihatnya secara luas.
Bila begitu, orang tua sejatinya sudah menganggap anaknya bak malaikat yang tidak pernah salah. Bahwa apa yang disampaikan anaknya selalu benar. Mereka menutup pintu terhadap penjelasan orang lain (guru ataupun temannya).
Memang, wajar bila orang tua membela anaknya. Karena orang tua memang selalu ingin melindungi anaknya. Namun, harus dipahami, anak kecil terkadang belum mampu melihat persoalan secara utuh. Mereka hanya melihat persoalan hanya dari sudut pandang mereka.
Belum lagi bila mereka tidak mau disalahkan ataupun dimarahi sehingga akhirnya menutupi hal yang sebenarnya. Malah ada anak yang ketika di rumah jadi anak manis. Tapi giliran di sekolah jadi bad boy sehingga orang tua pun tidak percaya bila anaknya seperti itu.
Karenanya, akan lebih elegan bila orang tua tidak hanya mendengarkan keluh kesah anaknya lantas bertindak reaktif. Akan lebih baik bila mendengarkan penjelasan banyak pihak secara cover both sides. Lantas, baru bersikap.
Meski memang, guru juga manusia biasa yang tidak selalu benar. Guru juga bisa salah. Guru juga bisa keliru dalam menyelesaikan masalah. Apalagi, mereka juga menghadapi urusan rumah dan anak. Bukan tidak mungkin, bila menghadapi masalah di rumah, itu terbawa ke sekolah.
Orang tua bisa menjadi 'partner' bagi guru
Karenanya, kembali kepada inti pembelajaran di sekolah. Bahwa, orang tua dan guru itu partner. Orang tua juga wajb turut serta dalam pendidikan anak di sekolah. Utamanya dengan memberikan pembekalan mental di rumah. Bukan lantas sekadar menitipkan anak di sekolah dan merasa semuanya urusannya guru.
Karenanya, ketika orang tua diundang guru untuk datang ke sekolah bila anaknya mengalami masalah, penting untuk tidak baperan. Jangan karena dipanggil ke sekolah, lantas merasa anaknya disalahkan.
Justru, itu kesempatan bagi kita sebagai orang tua untuk mengenali pola guru dalam mengajar dan mendidik anak di kelas. Kita bisa menyampaikan bahwa di rumah, kita juga megedukasi anak-anak dengan pengajaran etika.
Bila ternyata dari penjelasannya, guru kurang bijaksana dalam menyelesaikan masalah, kita bisa menyampaikan masukan. Tidak lantas marah. Kita juga bisa berpesan menitipkan anak kita sembari memotivasinya. Singkat kata, ada cara lebih elegan selain marah-marah.
Pada akhirnya, pada peringatan Hari Guru ini, ada cukup banyak doa dan harapan yang bisa kita panjatkan untuk para guru. Bahwa mereka layak mendapatkan apresiasi selayaknya dari pemerintah, orang tua, dan juga murid-muridnya.
Sebagai orang tua, saya juga berharap para guru bisa melakukan perubahan-perubahan kecil di kelas mereka seperti pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional.
Perubahan kecil seperti mengajak murid untuk berdiskusi sehingga tidak hanya mendengar. Memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar atau bercerita di depan kelas. Membuat proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Hingga, menemukan bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri. Selamat Hari Guru Nasional. Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI