Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Manchester United, dari Puncak Kini "Mengetuk Pintu" Degradasi

9 Oktober 2019   12:20 Diperbarui: 10 Oktober 2019   23:13 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bek termahal Manchester United, Harry Maguire (5) belum bisa membawa timnya bangkit di Liga Inggris musim ini. MU kini bahkan terancam masuk zona degradasi/Foto: Metro.Co.Uk (Getty Images)

Kenyataan itu terkadang pahit. Sulit diterima. Terlebih kenyataan setelah bertahun-tahun terbiasa meraih kejayaan. Lantas, berubah menjadi kekecewaan demi kekecewaan.

Namun, rasa pahit itu harus diterima sebagai 'cubitan' dalam hidup. Bahkan mungkin 'tamparan' untuk mengoreksi diri. Bahwa, ada yang salah. Ada yang tidak berjalan sesuai harapan. Sehingga, kita akhirnya mendapati hasil pahit.

Kenyataan seperti itu yang agaknya tengah dirasakan klub paling sukses dalam sejarah Liga Inggris, Manchester United. Klub pengoleksi gelar terbanyak di Liga Inggris ini seolah tengah mengalami fase kejatuhan. 

Dari tim yang dulunya langganan puncak klasemen dan setiap tahun menjadi favorit juara. Kini, untuk masuk empat besar sebagai syarat lolos ke Liga Champions saja, sangat susah.

Malah, di awal Liga Inggris musim 2019/20 ini, Manchester United (MU) seperti orang putus cinta yang sangat susah untuk move on. Seolah mengalami depresi parah sehingga susah untuk bangkit dari situasi buruk yang sedang dihadapi. Dalam bahasa sepak bola, mereka kini seperti sedang mengetuk 'pintu degradasi'.

Ah, jangan lebay, masa tim sekelas MU bisa terancam degradasi? Faktanya memang begitu.

Memang, di klasemen Liga Inggris, hingga pekan ke-8, MU masih ada di peringkat 12. Sementara tim yang terdegradasi di Divisi Championship adalah mereka yang berada di peringkat tiga terbawah. Peringkat 18, 19, dan 20. Sebenarnya masih jauh karena berjarak enam peringkat.

Masalahnya, poin yang didapat MU dari 8 pertandingan yang sudah dilakoni, tidak terpaut jauh dari tim-tim penghuni zona degradasi. MU bahkan hanya berjarak dua angka saja dari tim peringkat 18, Everton. MU 9 poin, Everton 7 poin. Poin MU juga sama dengan dua tim di bawahnya.

Bila seperti itu,  bila kembali kalah di pekan-pekan berikutnya, posisi MU akan semakin melorot. Bahkan, bukan tidak mungkin, tim berjuluk Setan Merah ini akan menghuni zona degradasi.

Padahal, rasanya baru kemarin, dalam obrolan ketika acara makan bersama di kompleks perumahan, seorang tetangga yang fans fanatik Manchester United, memuji setinggi langit penampilan klub idolanya itu.

Saya masih teringat ketika dia menyebut MU sekarang mainnya energik. Dia memuji penampilan pemain-pemain anyar seperti Daniel James dan Aaron Wan-Bissaka. Termasuk bek termahal di dunia, Hary Maguire. Kata dia, pelatih Ole Gunnar Solskjaer bisa membuat pemain-pemainnya mau bekerja keras di lapangan.

"Sampean (Anda) lihat, bahkan seorang Anthony Martial yang penyerang, mau ikut bertahan ketika MU diserang. Bila pemain mau bekerja keras begitu, saya yakin MU bisa bersaing menjadi juara di musim ini," ujar tetangga saya tersebut.

MU sempat tampil ganas di pekan pembuka
Itu diucapkannya ketika MU menang besar 4-0 atas Chelsea di pekan perdana Liga Inggris, 11 Agustus silam. Kala itu, MU bahkan sempat memuncaki klasemen Liga Inggris. Ketika sedang menang dan senang, tentu saja apa-apa yang disampaikan akan menyenangkan.

Kemenangan atas Chelsea itu bak bulan madu. Segalanya indah. Namun, siapa sangka, bulan madu MU dan pemain-pemain barunya di awal musim itu ternyata cepat sekali. 

Tahu-tahu, di tiga laga berikutnya, MU seperti lupa caranya menang. Mereka dua kali bermain imbang dan sekali kalah di kandang sendiri dari Crystal Palace.

Sempat menang sekali di pekan kelima atas Leicester City, MU kembali terjun bebas di tiga laga berikutnya. Kalah dua kali dan sekali imbang. Terakhir, akhir pekan kemarin (6/10), mereka kalah 0-1 dari tuan rumah Newcastle United.

Apa yang terjadi pada MU itu membuat kita teringat pada lagu penyanyi asal Inggris, Ronan Keating. "Life is a Rollercoaster". "Hidup itu seperti wahana rollercoaster". Begitu  kata Ronan Keating.

Penyanyi keren idola milenial zaman dulu ini berkisah tentang hidup yang terkadang sungguh manis ketika kita menemukan cinta. Namun, di lain waktu, hidup seperti mengajak kita "berkelahi"

Hey baby, you really got me flying tonight
Hey sugar, you almost got us punched in a fight
we found love, so dont hide it

Bukankah seperti itu gambaran kehidupan yang tengah dijalani Manchester United musim ini? Sampean (Anda) yang menjadi fansnya, sempat diajak naik ke puncak di awal musim. 

Lantas, terjun bebas di pekan-pekan berikutnya dan tidak pernah bisa naik lagi. Mungkin roaller coasternya sedang rusak sehingga sulit kembali ke puncak.

MU kini kehilangan aura sebagai tim yang ditakuti
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan Manchester United?

Legenda Arsenal, Martin Keown dalam wawancara dengan football.london jelang Arsenal melawan MU pada akhir September lalu, menyebut MU kini mulai kehilangan auranya sebagai klub yang ditakuti.

Keown yang kini menjadi pundit, membeberkan fakta betapa tim-tim papan bawah Liga Inggris, kini bisa mendapatkan poin ketika bermain di Old Trafford. 

Padahal, di eranya dulu, Old Trafford disebutnya sebagai 'ladang pembantaian'. MU sering menang besar. Kini, Keown meyebut pemain-pemain MU tak lagi memiliki aura seperti dulu.

"Berbicara tentang aura, bayangkan saja: pemain yang hampir seperti Dewa sepakbola dan Anda berdiri di terowongan (menuju lapangan), ada semacam lingkaran cahaya di sekitar mereka. Itu yang kini lenyap dari mereka (MU). Mereka tak lagi ditakuti. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan itu," ujar Keown.

Lalu, mengapa aura itu lenyap? Mantan kapten MU, Roy Keane punya jawaban lugas. Dalam beberapa komentarnya ketika diwawancara media Inggris, Keane acapkali mengkritisi pemain-pemain MU yang disebutnya kini lebih bergaya selebritis ketimbang pemain bola.

Lantas, dalam wawancara dengan Sky Sports beberapa waktu lalu, Keane bersuara keras menyindir beberapa pemain MU yang disebutnya 'tidak layak' mengenakan jersey Manchester United.

"Saya tahu, United tidak dalam kondisi bagus, tapi saya sungguh terkejut dan sedih betapa buruknya mereka sekarang," ujar Keane dikutip dari Metro.co.uk.

"Saya tahu, Anda kapan saja bisa kalah dalam sepak bola. Tapi, United  seperti kehilangan segalanya. Mereka loyo, tidak berkualitas, tidak ada keinginan, kekurangan pemimpin, kekurangan karakter. Butuh waktu lama untuk melihat United kembali seperti dulu," sambung Keane.

Bila seperti itu, tentu saja, sorotan tertuju pada Solskjaer. Mudah menyebut bahwa sebagai pelatih, pahlawan MU saat menjuarai Liga Champions 1999 ini tidak sehebat kala menjadi pemain.

Malah, dalam beberapa komentar di jagad media sosial, ada netizen yang menyebut bila Solskjaer bak pegawai yang hanya mengincar jabatan. 

Sebab, musim lalu, ketika dirinya masih jadi pelatih sementara, MU dibawanya meraih hasil bagus. Tapi, ketika diangkat jadi pelatih permanen, hasil kerjanya malah amburadul.

Memang, pemain-pemain MU di musim ini belum bisa dibilang istimewa. MU tak punya skuad mewah seperti Manchester City. 

Namun, bukankah tugas pemimpin (pelatih) untuk mengubah anak buahnya yang biasa saja menjadi istimewa? Bukankah tugas pelatih untuk membangkitkan passion, semangat pemain-pemain di lapangan?

Minimal, bila Solskjaer belum bisa menjadi sosok yang dicintai anak asuhnya seperti Juergen Klopp di Liverpool, dia perlu menjadi sosok yang ditakuti pemainnya. 

Sehingga, pemain akan mau 'makan rumput' di lapangan. Seperti Sir Alex Ferguson yang dulu terkenal dengan marah-marahnya bila ada pemain yang tampil ngasal di lapangan.

Pelajaran hidup dari penampilan Manchester United
Lalu, pelajaran apa yang bisa kiat dapat dari penampilan Manchester United di musim ini?

Bahwa, hidup itu sangat dinamis. Terkadang dia terasa manis. Namun, di lain waktu dia bisa sangat bengis. Hidup bisa berubah dengan sangat cepat. Karenanya, penting untuk menyikapi perubahan dengan tepat. Penting untuk selalu bersikap waspada dan mawas diri.

Seperti hidup, perubahan juga selalu terjadi di sepak bola. Pelatih dan pemain bisa datang dan pergi. Tantangannya adalah, bagaimana tradisi sukses yang diraih, bisa tetap berlanjut meski telah berganti pelatih dan pemain. Di sinilah, sebuah tim perlu mawas diri.  

Mawas diri itu bisa berwujud kejelian untuk mencari figur bos/pelatih yang tepat. Serta, memperkerjakan pemain-pemain yang memang mencintai klub, bukan hanya mau duitnya. Bila begitu, mereka akan punya semangat besar untuk membawa klub meraih sukses.  

Pada akhirnya, sebagai penggemar bola yang pernah menjadi saksi era kejayaan MU di Inggris dan Eropa, saya berharap mereka bisa segera menemukan jalan keluar untuk bangkit. Jalan masih panjang. Masih ada 30 pertandingan untuk bangkit.

Seperti kata Ronan Keating yang menggambarkan betapa hidup itu memang seperti rollercoaster. Kita hanya perlu terus menaikinya ketika sedang berada di bawah. 

Dengan pernah berada di bawah, kita jadi termotivasi untuk kembali meningkatkan kualitas hidup. Kita hanya perlu yakin, suatu saat, rollercoaster itu akan kembali naik.

"We found love, so don't hide it. Life is rollercoaster. Just gotta ride it". Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun