Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita yang Sering "Meremehkan" Bahasa Indonesia

26 Juni 2019   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2019   14:29 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Youtube/IRACAROLINA2001

Semisal ketika ada pejabat ditanya perihal upaya apa saja yang akan dilakukan dinas atau instansinya untuk mencapai merealisasi target pembangunan atau program sosial, tidak jarang kita mendengar kalimat begini: 

"Kita telah menyiapkan berbagai strategi untuk mewujudkan goal yang telah ditetapkan. Seandainya nanti strategi utamanya tidak berjalan, kami masih punya plan B. Terpenting adalah bagaimana approachment yang kita lakukan kepada masyarakat agar program ini berhasil".  

Atau semisal, ketika berbicara perihal disiplin karyawan di lingkungan pemerintahan ataupun instansi pekerjaan, kita juga sering mendengar kalimat begini: "Tidak boleh ada karyawan yang malas. Semuanya harus punya spirit kerja yang tinggi. Tentu saja akan ada reward dan punishment bagi siapa yang disiplin dan yang melanggar aturan".

Saya terkadang heran, kenapa (hampir selalu) harus diselipkan kata-kata asing seperti "goal", "plan B", ataupun "approachment" itu. Atau juga kata "spirit" serta "reward" dan "punishment" atau kata-kata lainnya. Apakah sekadar karena ingin pernyataannya terdengar keren. Atau mungkin ingin menujukkan bahwa mereka menguasai kosakata bahasa Inggris.

Padahal, bila kata-kata tersebut diganti dengan kata "tujuan", "rencana alternatif" ataupun "pendekatan". Juga kata "semangat" dan "penghargaan dan hukuman", toh juga tidak kalah keren.

Belum lagi kebiasaan menggunakan beberapa kata yang sejatinya keliru tetapi sudah terlanjur diucapkan. Semisal kata "merubah" atau "menghimbau" juga "sekedar" yang paling sering diucapkan.

Belum lagi kebiasaan menulis status di media sosial dengan kalimat bahasa Indonesia yang dipaksa "dinikahkan" dengan bahasa asing plus penulisan kata ala anak-anak kekinian yang sampean (Anda) pasti paham.

Malah, saya memiliki kawan yang berprofesi pengajar tetapi kalimatnya yang ia tulis di media sosial semisal "telah terbit my first book". Ataupun ketika menulis di grup chat yang kalimatnya sungguh ajaib. Seperti kalimat ini: "Setahuku anak itu dulu aktif (chat), sekarang never, although just koment, kenapa dia".   

Mulai Membiasakan Diri Bangga Berbahasa Indonesia
Saya bukannya alergi pada bahasa Inggris. Justru, saya kagum ketika ada kawan-kawan yang tinggal di luar negeri lantas menulis panjang lebar dengan kalimat berbahasa Inggris yang baik dan benar. Begitu juga ketika saya kebetulan hadir dalam seminar yang narasumbernya berbicara bahasa Inggris mengalir lancar.   

Namun, menjadi bikin ngilu bila kata-kata bahasa Inggris itu dipakai setengah-setengah. Malah seperti meremehkan bahasa Indonesia. Apalagi bila menulis dengan bahasa Inggris di status media sosial tetapi ternyata gramatikal ataupun penulisan katanya malah keliru.

Lha wong, saya pernah mendapati tulisan "steak holder" dalam sebuah berita, yang maksudnya merujuk pada stakeholder alias semua pihak yang 'ikut memiliki' kota ataupun perusahaan. Atau juga penulisan kata "massage" yang padahal maksudnya berkirim pesan (message). Bila seperti itu, kenapa harus memaksakan "sok british".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun