Mohon tunggu...
Habsul Nurhadi
Habsul Nurhadi Mohon Tunggu... Wartawan dan Konsultan -

Konsultan, mantan peneliti LP3ES Jakarta, mantan Tenaga Ahli Puskaji MPR-RI, yang juga Wartawan Kompeten Jenjang Utama Sertifikasi Dewan Pers 1513, tinggal di Kota Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

"Kode Etik Pegawai" Jangan Sampai Rugikan Pegawai

7 November 2015   05:47 Diperbarui: 7 November 2015   07:44 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pembuatan Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI

Terkait pelaksanaan Quick Wins Reformasi Birokrasi 2010-2014 pada Sekretariat Jenderal MPR-RI, yang menyangkut empat kegiatan, yakni (1) pembuatan Kode Etik Pegawai, (2) pembuatan Standar Operasional Prosedur, (3) pelaksanaan Analisis Jabatan, dan (4) penyempurnaan Struktur Organisasi, maka Kepala Biro Administrasi dan Pengawasan pada Sekretariat Jenderal MPR-RI, Drs. Aip Suherman, memberikan penjelasan sebagai berikut.

Dalam hal pembuatan Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR-RI memandang perlu untuk memutuskannya secara lebih berhati-hati. Untuk itu, Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR-RI antara lain perlu meminta masukan dari masing-masing unit kerja terlebih dahulu, untuk kemudian dirumuskan dan disampaikan kembali kepada Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR-RI. Sekarang ini Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI tersebut masih dalam bentuk konsep.
Mengenai masih belum selesainya Kode Etik Pegawai tersebut menjadi Peraturan Sekretaris Jenderal MPR-RI, menurut penuturan Aip Suherman, adalah dikarenakan dalam beberapa waktu belakangan ini Sekretariat Jenderal MPR-RI sedang mengerjakan banyak tugas lain yang perlu segera diselesaikan, sehingga Kode Etik Pegawai tersebut masih belum dapat terselesaikan dengan tuntas.

Aip membantah jika dikatakan bahwa persoalan belum selesainya Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI tersebut lebih dikarenakan masih banyaknya terjadi pro-kontra terhadap substansi dalam konsep Kode Etik Pegawai tersebut. Memang, diakui Aip, dalam pembahasan konsep Kode Etik Pegawai ini banyak terjadi diskusi dengan para Kepala Biro maupun para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI, namun bukan diskusi tentang perlu atau tidak perlunya Kode Etik Pegawai, melainkan lebih kepada persoalan rumusan Kode Etik Pegawai yang lebih tepat saja. Artinya, Kode Etik Pegawai tersebut nantinya jangan sampai justru merugikan pegawai, karena Kode Etik Pegawai tersebut merupakan bagian dari disiplin maupun bagian dari kontrol terhadap pegawai itu sendiri.

Dengan adanya Kode Etik Pegawai, maka pegawai nantinya tidak hanya sekedar harus patuh dan disiplin terhadap aturan Undang-Undang Kepegawaian (yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara) saja, tetapi pegawai juga harus disiplin pada ketentuan kepegawaian secara internal di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI yang dituangkan melalui Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI.

Mengenai format rumusan Kode Etik Pegawai antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya secara fisik barangkali bisa saja ada perbedaan masing-masing, tetapi secara umum terkait dengan aspek kepegawaian tentunya akan sama, karena akan sama-sama merujuk pada ketentuan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara, karena Kode Etik Pegawai tidak boleh terlepas dari acuan Undang-Undang itu. Tetapi dalam Kode Etik Pegawai tersebut masih tetap membolehkan adanya tambahan ketentuan-ketentuan khusus, misalnya yang hanya berlaku untuk lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI saja, yang mungkin bisa berbeda dengan kekhususan pada lembaga-lembaga negara lainnya.
Kekhususan yang berlaku di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI ini antara lain terkait dengan posisi Sekretariat Jenderal MPR-RI sebagai lembaga Kesekretariatan Lembaga Negara, yang sifatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan secara administratif kepada Anggota MPR-RI, maka para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI tersebut tentu akan mempunyai kekhususan apabila dibandingkan dengan pegawai-pegawai pada lembaga negara lainnya.


Sebagai gambaran, para pegawai di Sekretariat Jenderal MPR-RI ini ibaratnya seperti berada di atas dua perahu, dimana kaki kirinya berada di perahu eksekutif karena melayani kesekretariatan, sedangkan kaki kanannya berada di perahu lainnya yang melayani para Anggota MPR-RI. Padahal kedua tugas tersebut harus dilakukan oleh pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI dengan sebaik-baiknya.

Misalnya, dalam memberikan pelayanan kepada para Anggota MPR-RI harus dijalankan dengan baik, dimana para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI harus mempunyai tata krama, dan lain-lain. Sehingga para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak hanya sekedar sebagai pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI "an sich", karena tidak boleh mengabaikan pelayanannya kepada Anggota MPR-RI. Oleh karenanya, dalam Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI nantinya akan memasukkan juga hal-hal kekhususan tersebut.

Kode Etik Pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI tersebut, menurut Aip Suherman, diupayakan dapat diselesaikan pada akhir tahun 2015.

Penyesuaian Struktur Organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI

Terkait dengan akan segera selesainya masa jabatan Sekretaris Jenderal MPR-RI Drs Eddie Siregar, M.Si, dihubungkan dengan penyelesaian Kode Etik Pegawai dan penyesuaian struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka Aip Suherman memberikan penjelasan sebagai berikut.

Bahwa sekarang ini Sekretariat Jenderal MPR-RI sedang mengajukan usulan rumusan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang penyesuaian struktur organisasi maupun rumusan Kode Etik Pegawai. Sekiranya hal itu bisa menjadi karya warisan peninggalan Sekretaris Jenderal MPR-RI, Drs. Eddie Siregar, M.Si, maka sah-sah saja. Mudah-mudahan saja penyesuaian struktur organisasi itu bisa selesai sebelum adanya pergantian Sekretaris Jenderal MPR-RI, yang dijadwalkan berlangsung pada akhir November 2015 atau awal Desember 2015.

Sekretariat Jenderal MPR-RI kini juga sedang menggarap perbaikan pada Tim Reformasi Birokrasi Sekretariat Jenderal MPR-RI, selain juga sedang konsentrasi membahas penyesuaian struktur organisasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Dalam struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI yang baru nantinya akan mengakomodasikan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 (maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang MD3 serta Peraturan Tata Tertib MPR-RI Tahun 2014), sehingga lebih memungkinkan dapat memberikan pelayanan yang lebih sesuai kepada MPR-RI.

Tentang penyempurnaan struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI ini dapat dipahami, bahwa struktur organisasi itu harus selalu berkembang, dan tidak statis. Apalagi struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka bisa setiap saat mengalami perubahan. Setidaknya setiap lima tahun sekali, struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI bisa saja berubah, sebagai konsekuensi dari adanya perubahan Undang-Undang tentang MD3, khususnya yang menyangkut adanya perubahan dalam hal ke-MPR-annya. Oleh karenanya, dalam rangka mengantisipasi adanya perubahan-perubahan tersebut, maka diperlukan adanya percepatan perubahan struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI yang mengikuti perkembangan.

Walaupun pada tahun 2013 lalu struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI telah mengalami perubahan, berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal MPR-RI Nomor 2 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal MPR-RI, namun untuk mengakomodir adanya penambahan kelembagaan di MPR-RI berdasarkan Peraturan Tata Tertib MPR-RI Tahun 2014, maka kini Sekretariat Jenderal MPR-RI sedang mengajukan usulan penyempurnaan struktur organisasinya untuk mendapatkan pembahasan dan persetujuan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Dalam struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI yang baru tersebut nantinya akan ada penambahan beberapa eselon III dan beberapa eselon IV. Selain itu juga akan ada perubahan nomenklatur jabatan yang disesuaikan dengan ketentuan baru tersebut, yakni adanya penambahan 3 (tiga) Badan dan 1 (satu) Lembaga. Hal ini karena kalau mau berharap Sekretariat Jenderal MPR-RI dapat bekerja secara efektif, dengan pemberian pelayanan yang maksimal dan optimal, maka pendampingannya kepada ketiga Badan tersebut tidak dapat dirangkap, melainkan harus ada staf sekretariat yang khusus bertugas mendampingi Badan tersebut. Kepala Sekretariat Badan tersebut adalah jabatan eselon III, dengan nomenklatur Kepala Bagian Sekretariat Badan Penganggaran, Kepala Bagian Sekretariat Badan Sosialisasi, dan Kepala Bagian Sekretariat Badan Pengkajian.

Perbaikan Tim Reformasi Birokrasi Sekretariat Jenderal MPR-RI

Tentang rencana perbaikan Tim Reformasi Birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI, menurut Aip Suherman, terutama karena dilandasi oleh adanya kehendak untuk melakukan penyempurnaan terkait dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI, agar dapat lebih update. Sehingga jangan sampai terjadi bahwa Tim Reformasi Birokrasi sudah dibentuk, dan reformasi birokrasi sudah dilaksanakan pada 8 (delapan) area perubahan, namun dalam perkembangan pelaksanaannya tidak mengalami peningkatan-peningkatan pada masing-masing area perubahan tersebut.

Jika dikatakan bahwa ada salah satu area perubahan dalam reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI, yakni perubahan mindset dan cultural set, yang mengalami kendala, maka Aip Suherman menyatakan bahwa kendalanya tidaklah cukup berarti, karena hal itu merupakan upaya untuk merubah mindset dari para pegawai dalam rangka meningkatkan kinerjanya. Termasuk, dalam hal ini, kesediaan para pegawai untuk bersikap dan berperilaku disiplin, sopan santun, ketepatan waktu dalam melaksanakan pekerjaan, dan tidak menunda-nunda pelaksanaan pekerjaan, dan lain-lain.

Intinya, adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan kinerja pegawai pada unit kerja masing-masing dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Hal ini karena terkait dengan masih adanya kebiasaan-kebiasaan lama, yang sering menunda-nunda penyelesaian sesuatu pekerjaan, dengan dalih bahwa yang penting adalah pekerjaan tetap selesai. Namun kebiasaan-kebiasaan lama tersebut pada reformasi birokrasi sekarang ini harus dirubah, yakni sepanjang sesuatu pekerjaan dapat segera diselesaikan, maka harus diselesaikan dengan segera.
Oleh karenanya, Tim Reformasi Birokrasi Sekretariat Jenderal MPR-RI sekarang ini sedang melakukan perbaikan, dengan mencoba merubah mindset lama tersebut menjadi mindset yang baru. Cara yang ditempuh antara lain dengan menginformasikan tentang adanya upaya perubahan mindset tersebut kepada para atasan pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI, agar para atasan pegawai tersebut dapat meneruskan informasinya dan sekaligus memberikan contoh perilaku dengan mindset yang baru itu kepada para pegawai bawahannya, serta menegur bawahannya manakala masih belum menunjukkan sikap dan perilaku dengan mindset yang baru.

Tindaklanjut Pegawai Usai Mengikuti Diklat

Terkait informasi tentang adanya sebagian pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI yang setelah mengikuti sesuatu Diklat Teknis tertentu, namun ternyata kemudian merasa enggan untuk mengaplikasikan keterampilan barunya itu pada jabatan baru yang sesuai, Aip Suherman tidak membantahnya, bahwa kemungkinan hal itu memang bisa saja terjadi. Hal ini, menurutnya, termasuk dalam cultural set yang seharusnya juga ikut mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan cultural set yang baru.

Seharusnya jika seseorang pegawai telah di-Diklat-kan, apapun Diklatnya, misalnya saja Diklat Keprotokolan, maka para pesertanya bukan terbatas hanya pegawai pada Bagian Protokol saja, melainkan bisa juga melibatkan pegawai-pegawai pada unit kerja lainnya. Para peserta Diklat Keprotokolan tersebut bisa saja nantinya memang diarahkan untuk bertugas di Bagian Protokol, tapi bisa juga meskipun tidak bertugas di Bagian Protokol namun dapat mengembangkan naluri keprotokolannya pada unit kerja masing-masing.

Ke semua itu dipandang tetap penting, dikarenakan tugas Sekretariat Jenderal MPR-RI itu sifatnya adalah juga memberikan pelayanan keprotokolan kepada para Anggota MPR-RI. Sehingga, misalnya, sedang menerima tamu atau ketemu dengan tamu yang akan bertemu dengan Pimpinan MPR-RI ataupun Anggota MPR-RI, maka para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI tersebut akan mampu memberikan layanan keprotokolan kepada tamu tersebut, meskipun ia tidak bertugas pada unit kerja protokoler. Layanan keprotokolan itu, misalnya, dengan cara menyapa secara ramah, memberikan informasi yang informatif, atau membantu mengantarkan tamu tersebut menuju ruangan Pimpinan atau Anggota MPR-RI yang hendak dituju, maupun bentuk-bentuk layanan keprotokolan yang profesional lainnya.

Menurut Aip, memang pernah terjadi, seseorang pegawai setelah selesai mengikuti suatu Diklat Khusus Fotografer, dikarenakan pegawai tersebut sudah melebihi kepangkatannya (jika tetap menjadi Fotografer), maka pegawai tersebut diputuskan untuk ditugaskan pada unit kerja yang lain, yang tidak ada sangkutannya dengan keterampilan fotografer. Hal seperti itu bisa saja terjadi, dan sah-sah saja, mengingat penempatan seseorang pegawai pada sesuatu jabatan tertentu itu merupakan suatu kebijakan terkait adanya kebutuhan sumber daya manusia.

Kebijakan terkait mutasi pegawai ini bukan berarti ada kesengajaan untuk melemahkan unit kerja Fotografi, dengan memindahkan seseorang pegawai Fotografernya ke unit kerja lain, namun di lain pihak juga tidak boleh menahan seseorang pegawai yang sudah melebihi kepangkatannya untuk tetap menjabat sebagai Fotografer seumur hidupnya, sehingga dipandang perlu memberikan penugasan pada unit kerja lain, dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada pegawai itu agar dapat mengembangkan diri lebih lanjut, melalui penugasan barunya tersebut.

Menurut keterangan Aip Suherman, jumlah pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI sekarang ini, setelah adanya penambahan 56 orang pegawai hasil rekrutmen baru tahun 2014, totalnya menjadi lebih dari 300 orang pegawai.

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Area perubahan reformasi birokrasi lainnya yang perlu mendapatkan prioritas perhatian oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI adalah dalam hal pelayanan publik atau pelayanan kepada masyarakat. Artinya, dari sisi kehumasan, adalah bagaimana meningkatkan informasi yang baik kepada publik, baik yang terkait dengan kelembagaan MPR-RI maupun yang terkait dengan pelayanan Sekretariat Jenderal MPR-RI. Hal ini sangat penting, karena terkait dengan image (pencitraan) kedua lembaga tersebut di masyarakat.

Termasuk misalnya PPID (Petugas Pengelola Informasi dan Dokumentasi), yang perlu dikelola dengan baik, terutama ketika masyarakat ingin mengetahui informasi tentang besarnya anggaran keuangan di MPR-RI, dan apa saja yang dikerjakan oleh MPR-RI. Maka PPID, sebagai bagian dari Keterbukaan Informasi Publik, harus mengelola semua informasi dan dokumentasi pada MPR-RI maupun pada Sekretariat Jenderal MPR-RI ini dengan sebaik-baiknya, sehingga masyarakat luas dapat ikut mengetahui dinamikanya.

Dengan demikian, area perubahan tentang pelayanan publik dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI ini perlu dibangun dengan lebih baik. Selain ada informasi yang secara langsung dapat diketahui oleh masyarakat ketika Pimpinan MPR-RI atau Anggota MPR-RI memberikan keterangan pers melalui para wartawan, maka ada pula berbagai informasi yang perlu dikemas terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada publik, misalnya tentang berbagai kegiatan MPR-RI yang perlu diketahui oleh masyarakat luas. Hal-hal ini perlu ditingkatkan lagi penyiapannya oleh PPID.

Sebagaimana diketahui, dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, maka yang menjadi stakeholders utama Sekretariat Jenderal MPR-RI adalah para Anggota MPR-RI, selain juga masyarakat luas. Dalam hubungan ini, yang menjadi tugas Sekretariat Jenderal MPR-RI adalah yang terkait dengan kewenangannya. Misalnya, kalau masyarakat umum bertanya terkait dengan politik serta kebijakan Anggota MPR-RI, maka Sekretariat Jenderal MPR-RI, walaupun sebenarnya mengetahuinya, tetapi tidak berwenang untuk memberitahukannya kepada publik.

Misalnya padawaktu acara sidang MPR-RI yang membahas sesuatu persoalan bangsa, kemudian ada masyarakat umum yang bertanya tentang mengapa Fraksi ini berpendapat begini dan Fraksi lainnya berpendapat begitu, maka Sekretariat Jenderal MPR-RI tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penjelasan.

Berbeda halnya ketika masyarakat bertanya, misalnya, tentang bagaimana persiapan teknis yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI dalam penyelenggaraan Sidang Umum MPR-RI tanggal 14 Agustus 2015 lalu yang begitu sukses, termasuk berapa personel yang dilibatkan, siapa yang mengkoordinasi pelaksanaannya, berapa total anggarannya, maka Sekretariat Jenderal MPR-RI mempunyai hak untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat.

Ketika ditanyakan apakah kesuksesan penyelenggaraan Sidang Umum MPR-RI pada Agustus 2015 itu merupakan buah dari pelaksanaan reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka Aip Suherman menjawab bahwa kesuksesan acara itu diduga ada kaitannya secara tidak langsung dengan pelaksanaan reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI. Termasuk, misalnya, dalam melakukan koordinasi yang cukup baik dengan instansi-instansi lain, dalam pendayagunaan unit-unit kerja terkait di Sekretariat Jenderal MPR-RI, dalam penyusunan acaranya, maka kesemua itu merupakan bagian-bagian yang tidak terlepas dari yang selama ini dicoba dilakukan perubahan-perubahan dalam rangka mereformasi tubuhnya Sekretariat Jenderal MPR-RI itu sendiri.

Pembuatan Standar Operasional Prosedur

Standar Operasional Prosedur (SOP) di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI, menurut Aip Suherman, adalah tumbuh dan berkembang. Maksudnya, ketika suatu SOP tertentu di tengah jalan mengalami kesulitan, atau ada hambatan dalam pelaksanaannya, dan dipandang perlu ada suatu kegiatan pengaturan lagi, maka bisa dibuatkan SOP baru yang terkait dengan kegiatan tersebut. Atau, misalnya, sesuatu kegiatan harus dibuat dengan SOP secara terpisah, maka harus dibuatkan SOP-nya. Misalnya lagi, di Sekretariat Jenderal MPR-RI ada jabatan-jabatan baru, sehingga mengakibatkan adanya perubahan kegiatan, maka otomatis juga perlu dibuatkan SOP yang baru.

Terhadap SOP-SOP dari kegiatan yang ada pada masing-masing Biro, maka SOP tersebut cukup ditandatangani oleh Kepala Biro. Misalnya saja SOP yang terkait dengan pelayanan tata usaha surat dinas, atau SOP tentang Diklat Kepegawaian, maka SOP tersebut cukup ditandatangani oleh Kepala Biro Administrasi dan Pengawasan. Tetapi ketika berbagai SOP dari setiap Biro tersebut kemudian dikumpulkan dan dibundel, misalnya terdiri puluhan atau ratusan SOP di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka kumpulan SOP tersebut dijadikan sebagai lampiran dari Surat Keputusan Sekretaris Jenderal MPR-RI, dan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal MPR-RI.

Pada tahun 2013 Sekretaris Jenderal MPR-RI pernah menerbitkan dan menandatangani SK Sekretaris Jenderal MPR-RI tentang pengesahan sejumlah 214 buah SOP di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI. Tidak tertutup kemungkinan, setelah terkumpul lagi cukup banyak SOP baru yang tumbuh dan berkembang di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka akan dikumpulkan dan dibundel lagi, serta dibuatkan SK Sekretaris Jenderal MPR-RI lagi.

Pelaksanaan Analisis Jabatan

Kondisi analisis jabatan di Sekretariat Jenderal MPR-RI sekarang ini sudah kurang lebih 95 persen sampai 97 persen, sehingga tinggal beberapa jabatan saja yang analisisnya belum selesai. Sebenarnya jika sisanya ini dikerjakan secara intens, hanya memerlukan waktu beberapa hari saja.

Pada analisis jabatan di Sekretariat Jenderal MPR-RI ini terdapat beberapa jabatan baru, sehingga untuk melakukan analisis jabatan diperlukan adanya kegiatan wawancara dengan para pemegang jabatan, untuk selanjutnya dilakukan penyempurnaan dari analisis jabatannya tersebut.

Untuk melaksanakan analisis jabatan ini Sekretariat Jenderal MPR-RI menjalin kerjasama dengan pihak lain, yakni meminta bantuan dari Universitas Indonesia (UI), lalu berkoordinasi dengan mereka untuk menyamakan pola pikirnya, dan seterusnya hasil analisis jabatannya diserahkan kembali ke Sekretariat Jenderal MPR-RI.

Walaupun pelaksanaan analisis jabatan di Sekretariat Jenderal MPR-RI ini sudah hampir selesai, tetapi berhubung struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI sudah akan disempurnakan lagi pada bulan September 2015, tentu nantinya akan berakibat pula perlu adanya penyesuaian lagi terhadap analisis jabatannya.

Dalam hal ini Aip Suherman menjelaskan, bahwa kegiatan analisis jabatan yang sedang dilaksanakan sekarang ini adalah analisis jabatan terhadap struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI yang lama. Sehingga pada struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI yang baru nantinya tentu juga akan ada jabatan-jabatan baru yang memerlukan analisis jabatan pula, atau harus ada perubahan (update) terhadap analisis jabatan yang sudah dihasilkan.

Hasil analisis jabatan pada Sekretariat Jenderal MPR-RI nantinya akan dituangkan dalam Surat Keputusan Sekretaris Jenderal MPR-RI. Sehingga nantinya akan ada Surat Keputusan Sekretaris Jenderal MPR-RI tentang Analisis Jabatan, tentang Standar Operasional Prosedur, tentang Kode Etik Pegawai, yang kesemuanya merupakan bagian dari Surat Keputusan Sekretaris Jenderal MPR-RI dengan beberapa lampirannya tersebut.

Penetapan Quick Wins Reformasi Birokrasi

Penetapan quick wins reformasi birokrasi 2010-2014 pada Sekretariat Jenderal MPR-RI, yang mencakup empat kegiatan, yakni (1) pembuatan Kode Etik Pegawai, (2) pembuatan Standar Operasional Prosedur, (3) pelaksanaan Analisis Jabatan, dan (4) penyempurnaan Struktur Organisasi, menurut penuturan Aip Suherman, adalah diusulkan dan ditetapkan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI sendiri, dan bukannya dipilihkan serta ditentukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Tentang mengapa ditentukan empat kegiatan tersebut sebagai quick wins reformasi birokrasi pada Sekretariat Jenderal MPR-RI, adalah karena empat kegiatan tersebut dipandang menjadi keunggulan dari birokrasi Sekretariat Jenderal MPR-RI. Hal ini dilandasi pertimbangan bahwa unsur-unsur pada empat kegiatan quick wins reformasi birokrasi tersebut memang belum tersedia di Sekretariat Jenderal MPR-RI, sehingga hal tersebut dijadikan sebagai unsur-unsur utama untuk dapat "memacu" dan "memicu" pelaksanaan kegiatan-kegiatan reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI.

Peninjauan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1999

Upaya peninjauan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1999 tentang Organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI sebenarnya juga merupakan bagian yang sedang diupayakan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI untuk diusulkan dilakukan perubahan menjadi Peraturan Presiden.

Jika diperiksa dengan seksama, isi dalam Keppres Nomor 49 Tahun 1999 tersebut hanya mencantumkan jabatan Sekretaris Jenderal MPR-RI dan jabatan Wakil Sekretaris Jenderal MPR-RI saja. Sedangkan jabatan para Kepala Biro belum diatur di dalamnya, karena dalam Keppres 49/1999 tersebut diatur bahwa rincian dan rumusan tugas, fungsi dan susunan organisasi, serta tata kerja Sekretariat Jenderal MPR-RI adalah ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal MPR-RI setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Secara umum Keppres 49/1999 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Sekretariat Jenderal MPR-RI terkini, sehingga sudah waktunya perlu dilakukan penyesuaian. Rencananya, penyesuaian Keppres 49/1999 tersebut akan dilakukan secara intens setelah selesainya penyempurnaan struktur organisasi Sekretariat Jenderal MPR-RI yang sudah disesuaikan dengan adanya penambahan beberapa Badan dan Lembaga pada MPR-RI. Alasannya, karena untuk melakukan peninjauan Keppres 49/1999 tersebut akan memakan waktu yang relatif lama, karena memerlukan pembahasan yang lebih mendalam lagi.

Mudah-mudahan struktur organisasi baru Sekretariat Jenderal MPR-RI yang hanya melakukan perubahan secara internal tersebut dapat selesai pada bulan September 2015. Sehingga, selanjutnya, dalam waktu yang tidak terlalu lama dari itu, dapat dilakukan lagi perubahan secara total untuk meninjau Keppres 49/1999 tersebut.

Usulan untuk peninjauan Keppres 49/1999 tersebut terlebih dahulu harus berawal dan berasal dari inisiatif internal Sekretariat Jenderal MPR-RI sendiri, dan bukannya berawal dari inisiatif Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Diklat Kepegawaian

Diklat pegawai - termasuk penetapan jenis diklatnya maupun siapa saja pesertanya - sesungguhnya merupakan tupoksi dari Sub Bagian Pengembangan Pegawai pada Bagian Kepegawaian. Sehingga oleh karenanya Bagian Kepegawaian tersebut harus secara aktif selalu memotret kondisi sumber daya manusia pegawai di seluruh lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI, agar berhasil mendapatkan update informasi mengenai hal-hal apa saja yang perlu di-Diklat-kan untuk para pegawai.

Dengan demikian penyelenggaraan sesuatu Diklat di Sekretariat Jenderal MPR-RI bukanlah hanya ditujukan untuk pegawai-pegawai tertentu saja. Bahkan para unit kerja yang memerlukan adanya sesuatu Diklat tertentu untuk para stafnya, dapat secara terbuka mengajukan usulan penyelenggaraan Diklat tersebut kepada Biro Administrasi dan Pengawasan.
Contoh, terkait dengan penyelenggaraan Diklat Keprotokolan, Diklat Fotografer, Diklat Inventaris dan Pencatatan Barang Milik Negara, sesungguhnya berawal dari adanya usulan dari unit kerja terkait, yang kemudian direspons oleh unit pengembangan pegawai dengan melaksanakan Diklat-diklat tersebut.

Sebenarnya penyelenggaraan suatu Diklat tersebut tidak ada ketertutupan para pesertanya. Maksudnya, peserta Diklat tersebut adalah terbuka untuk semua pegawai, dan bukan terbatas khusus untuk pegawai-pegawai tertentu saja.

Pemahaman Pegawai Tentang Tunjangan Kinerja Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi itu adalah suatu keharusan, dimana pemberian tunjangan kinerja merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Sehingga semua jajaran PNS di seluruh Indonesia, tidak terkecuali para pegawai di Sekretariat Jenderal MPR-RI, seharusnya mengetahui dan memahami seluk-beluk pelaksanaan reformasi birokrasi ini.

Berdasarkan ketentuan aturan lama, sebelum adanya ketentuan tentang pemberian tunjangan kinerja reformasi birokrasi ini, maka kepada para pegawai diberikan gaji dan tunjangan serta honor secara "halal", karena pemberian tunjangan dan/atau honor itu ada dasar hukum Surat Keputusannya, misalnya SK Sekretaris Jenderal MPR-RI. Misalnya saja sebagai anggota suatu Tim Kerja diberikan tunjangan tetap sebesar Rp 100 ribu per bulan, atau sebagai anggota suatu Panitia diberikan honor tidak tetap sebesar Rp 350 ribu. Meskipun penerbitan SK Tim Kerja atau SK Panitia tersebut tidak boleh "dikarang-karang", namun kemudian ditengarai, jumlah tunjangan dan honor ini secara nasional seringkali menjadi tidak terkontrol.

Oleh karenanya padawaktu sekarang, pemberian tunjangan dan honor secara "sektoral" tidak diperbolehkan lagi, atau jumlahnya sangat dibatasi, untuk kemudian digantikan dengan adanya pemberian tunjangan kinerja reformasi birokrasi. Pemberian tunjangan kinerja ini ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang angka nominalnya ditetapkan berdasarkan jabatan dan grade jabatannya, misalnya jabatan eselon. Dengan adanya tunjangan kinerja ini, maka boleh dibilang sebagai tunjangan yang "halalan thoyiban", dikarenakan benar-benar sesuai dengan prestasi kinerja yang sudah dikerjakan, serta sesuai dengan kelas jabatannya.

Pemberlakuan kebijakan tunjangan kinerja reformasi birokrasi ini adalah suatu keharusan bagi Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah. Bahkan Sekretariat Jenderal MPR-RI bersama tiga Kementerian/Lembaga lainnya (yakni Radio Republik Indonesia, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, dan Sekretariat Jenderal DPD-RI) termasuk lembaga yang paling akhir diberikan tunjangan kinerja dari seluruh Kementerian/Lembaga yang ada.

Diakui oleh Aip Suherman, bahwa setelah diberlakukan kebijakan pemberian tunjangan kinerja reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI ini, maka bisa jadi take home pay para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI akan mengalami penurunan, terkait dengan predikat "thoyiban" tadi. Misalnya, ketika seorang pegawai, sebelum diberlakukannya tunjangan kinerja reformasi birokrasi mendapatkan tunjangan Rp 100 ribu, tetapi setelah diberlakukan tunjangan kinerja hanya mendapatkan Rp 70 ribu, maka benar mengalami penurunan pendapatan, dikarenakan adanya pendapatan-pendapatan lain secara "sektoral" sudah tidak diperbolehkan lagi.

Dengan demikian, sekarang ini, harga jabatan adalah betul-betul dihargai. Jika sekiranya pada awalnya pendapatan setelah diberlakukan tunjangan kinerja reformasi birokrasi menjadi berkurang, maka hal itu sangat dimungkinkan terjadi. Tetapi pada tahap-tahap berikutnya, diyakini pendapatannya akan mengalami kenaikan kembali.

Seperti diketahui, kepada para pegawai di lingkungan Sekretaiat Jenderal MPR-RI ini, pada pemberlakuan tunjangan kinerja reformasi birokrasi yang pertama kalinya pada awal tahun 2016 nanti akan mendapatkan 47 persen, dimana nilainya belum mencapai 100 persen. Artinya, nilai hasil pelaksanaan reformasi birokrasi di Sekretariat Jenderal MPR-RI sekarang ini masih mendapatkan nilai kelas C, atau kelas menengah di antara Kementerian/Lembaga lainnya. Sementara Kementerian/Lembaga selain Sekretariat Jenderal MPR-RI, yang notabene sudah relatif lama diberlakukan tunjangan kinerja reformasi birokrasi, ada yang sudah mencapai 60 persen, atau 70 persen.

Diharapkan, setelah para pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal MPR-RI ini berjuang, dengan cara memperbaiki kinerja reformasi birokrasinya, dengan menunjukkan prestasi kerja yang bagus, dengan berupaya jangan sampai ada temuan kesalahan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, dengan berupaya mendapatkan nilai evaluasi reformasi birokrasi yang bagus, dengan mengupayakan peningkatan kelas dari kelas C ke kelas B, atau ke kelas A, maka kesemua prestasi itu akan mempermudah persetujuan dari Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ketika Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR-RI akan mengajukan usulan kenaikan persentase tunjangan kinerja pada setiap tahunnya.
Sebagai gambaran, Aip mencontohkan dirinya, bahwa setelah pelaksanaan tunjangan kinerja reformasi birokrasi, ia hanya akan menerima gaji, tunjangan jabatan, serta tunjangan kinerja. Besarnya tunjangan kinerja adalah disesuakan dengan kelas jabatannya, dimana perumusan kelas jabatan ini adalah ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Pemahaman Pegawai Tentang Reformasi Birokrasi

Tentang perlunya pemahaman reformasi birokrasi bagi para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI, Aip Suherman menyatakan bahwa hal itu memang sangat perlu. Menurutnya, hal tersebut selama ini sudah diupayakan oleh Tim Reformasi Birokrasi Sekretariat Jenderal MPR-RI, antara lain dengan membagikan materi-materi reformasi birokrasi kepada para pegawai. Misalnya saja materi-materi tentang apa itu reformasi birokrasi, apa saja yang termasuk delapan area perubahan dalam reformasi birokrasi, perubahan-perubahan apa saja yang perlu dilakukan oleh para pegawai, bagaimana cara penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP), bagaimana melakukan Analisis Jabatan, maka Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR-RI sudah mencetak buku-bukunya, dan sudah membagikannya kepada para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI.

Contoh, apa yang harus dilakukan oleh jabatan Kepala Biro Administrasi dan Pengawasan pada Sekretariat Jenderal MPR-RI, maka hal tersebut sudah tertuang dalam SOP maupun dalam Analisis Jabatan. Artinya, para pegawai setelah menerima buku-buku materi reformasi birokrasi tersebut, seharusnya menyempatkan diri untuk membacanya, memahaminya, dan selanjutnya melaksanakannya. Sehingga Pimpinan Sekretariat Jenderal MPR-RI menganggap bahwa para pegawai Sekretariat Jenderal MPR-RI sudah memahami makna secara umum maupun makna secara rinci dari reformasi birokrasi, dikarenakan para pegawai tersebut sudah dibekali dengan berbagai buku cetakan tentang reformasi birokrasi.

Komentar Tentang Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional

Ketika ditanyakan komentarnya sehubungan ada pendapat seorang pakar reformasi birokrasi nasional yang menyatakan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi sekarang ini secara umum lebih banyak disibukkan hanya dengan pengisian berbagai macam model formulir isian administratif saja, serta ketika suatu kebijakan reformasi birokrasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi baru akan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga, tiba-tiba kebijakan tersebut sudah direvisi dan dirubah lagi, maka Aip Suherman menyatakan bahwa hal tersebut tidak dialami oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI saja, tetapi secara umum juga dialami oleh Kementerian/Lembaga lainnya.

Sebagai contoh, kebijakan reformasi birokrasi sewaktu masa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dijabat oleh Azwar Abubakar, lalu kini dijabat oleh Yuddy Chrisnandi, tentu ada kebijakan reformasi birokrasi tersendiri lagi. Bahkan ada kalanya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang baru menerbitkan Peraturan Menteri baru untuk merubah Peraturan Menteri yang diterbitkan oleh Menteri terdahulu.

Himbauan Kepada Kementerian PAN dan RB

Aip Suherman menuturkan bahwa dirinya mengenal Analisis Jabatan itu sudah cukup lama, yakni sejak mulai masuk bekerja, dimana waktu itu kebijakan tentang Analisis Jabatan sudah diberlakukan. Kebijakan Analisis Jabatan itu kemudian terhenti, dan sekarang pada masa reformasi birokrasi, kegiatan Analisis Jabatan ini kembali diberlakukan lagi, sebagai bagian dari kegiatan reformasi birokrasi.

Menurutnya, kegiatan Analisis Jabatan maupun penetapan Delapan Area Perubahan Reformasi Birokrasi yang harus dilakukan oleh setiap Kementerian/Lembaga adalah cukup bagus. Begitu pula Road Map Reformasi Birokrasi, jika dibaca dari A hingga Z, adalah juga cukup bagus. Akan tetapi pada tataran pelaksanaannya di lapangan, ternyata belum dapat berjalan sebagus tataran teori maupun konsepnya. Sehingga hal ini perlu ada kejelasan, ketegasan, serta kejujuran, dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dalam menilai pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing Kementerian/Lembaga pada setiap tahunnya.

Pelaksanaan reformasi birokrasi ini hendaknya dapat dinilai secara baik. Sehingga jangan sampai dinilai oleh masing-masing Kementerian/Lembaga, bahwa penilaian reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga ini hanya sekadar seremonial saja. Jangan sampai di antara para Tim Pengelola Reformasi Birokrasi pada masing-masing Kementerian/Lembaga ada yang saling berkomentar, bahwa ada Kementerian/Lembaga yang sudah benar-benar melaksanakan reformasi birokrasi sesuai dengan pedoman dan panduan reformasi birokrasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun ternyata tidak berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan.

Jangan sampai penilaian reformasi birokrasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini hanya bersifat simbolik belaka, yang hanya menilai secara formalitas saja, untuk sekedar memperlihatkan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah bekerja dengan baik, dengan melakukan penilaian reformasi birokrasi pada Kementerian/Lembaga dengan baik, untuk selanjutnya melaporkannya kepada Wakil Presiden.

Sesungguhnya hakekat pelaksanaan reformasi birokrasi, menurut Aip Suherman, tidak hanya sekedar seperti itu, melainkan bagaimana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk meningkatkan pendayagunaan sumberdaya manusia aparatur, serta mendayagunakan aparatur negara, dalam melaksanakan tugasnya itu harus jelas, sehingga pelaksanaan reformasi birokrasinya tidak hanya berjalan setengah-setengah saja.

Oleh karenanya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hendaknya mampu melihat pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian/Lembaga tersebut secara lebih seksama dan sebak-baiknya. Begitu juga Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi selaku pembina PNS itu hendaknya secara aktif dapat memberikan sosialisasi tentang pembinaan PNS secara intens kepada para PNS di masing-masing Kementerian/Lembaga, sekaligus secara aktif mampu memberikan bimbingan dalam rangka peningkatan dan pendayagunaan potensi kemampuan PNS.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu hendaknya jangan hanya bersikap pasif dan apatis dalam memberikan bimbingan dan pembinaan SDM aparatur ini, sesuai dengan kewenangan dan tupoksinya. Hendaknya kesemua perbaikan-perbaikan itu dapat merupakan bagian dari upaya penyempurnaan pelaksanaan reformasi birokrasi secara lebih optimal.

Jakarta, 31 Agustus 2015
Habsul Nurhadi.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun