Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Belajar di Rumah, Antara Harapan dan Kenyataan

21 Maret 2020   13:44 Diperbarui: 16 Juni 2021   12:09 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa Belajar di Rumah, Antara Harapan dan Kenyataan (unsplash/annie-spratt)

"Hore!! mulai besok belajar di rumah," kata dua anakku, satunya TK Nol Besar satunya kelas dua SD. Dibayangan mereka jelas bahwa belajar di rumah itu sama dengan libur, libur panjang lagi 14 hari. 

Walaupun sebelum diumumkan hal tersebut mereka sudah dikasi tahu untuk tetap belajar dan harus mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya.

Sebagai warga negara dan orang tua yang baik, tentunya kami sebisa mungkin mendukung program pemerintah yang saat ini sedang berjuang melawan virus Corona. 

Anak-anak yang pada mula menyangka bahwa belajar di rumah itu sama dengan libur mulai menerima kenyataan bahwa ternyata lebih enak belajar di sekolah bersama teman dan guru. 

Baca juga : Kesulitan Guru dalam Melaksanakan Proses Belajar Mengajar di Masa Pandemi

Mau bukti? Silahkan lihat dan cari berbagai meme yang bertebaran di medsos tentang bagaimana sulitnya menerapkan belajar di rumah. Anaknya stress, orang tua lebih stress.

Belajar di rumah ternyata tidak segampang dan seindah yang dibayangkan. Banyak sekali faktor yang tidak ideal yang harus diperhatikan. Mari kita lihat beberapa hal yang terjadi saat proses belajar mengajar dilakukan di rumah.

Kunci belajar di rumah sebenarnya adalah kesadaran dari anaknya sendiri untuk belajar, tetapi pengertian untuk hal itu amat susah diterapkan terutama untuk anak SD di bawah kelas 3. Pemikiran mereka, ya belajar di rumah adalah libur. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan yang namanya pengawas orang tua.

Nah ini masalahnya, tidak semua orang tua berada di rumah dari pagi sampai malam. Sebagian pasti ada orang tua (khususnya di perkotaan) yang kedua orang tuanya bekerja. Iya kalau mereka PNS. 

Nah kalau keduanya karyawan swasta, dan kantor tidak memberikan mereka toleransi bekerja dari rumah. Itu adalah suatu dilema. Tidak mungkin meinggalkan mereka sendiri di rumah, khan? Solusinya? Entahlah.

Baca juga : Merdeka Belajar Memudahkan Guru dalam Memberi Materi Pelajaran

Ada juga yang orang tuanya dengan kebijakan kantornya boleh kerja di rumah, tapi.... Ternyata mereka juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah dari kantornya, alhasil udah harus mengawasi anaknya kerja, kalau anaknya kecil ya juga termasuk mengajarinya, sudah gitu harus konsen ke pekerjaan sendiri.

Masalah fasilitas pendukung juga jadi masalah, internet, kuota, sinyal, keterbatas alat komunikasi, itu semua mungkin di daerah perkotaan bisa diatasi, tapi untuk sekolah-sekolah di pedalaman hal itu kadang masih merupakan barang mewah dan bukan kebutuhan pokok.

Jadi kalau begitu, apa kita sepertinya tidak mendukung program pemerintah untuk mengerjakan sesuatu dari rumah? Apalah susahnya mengikuti saran pemerintah? Sebenarnya bukan itu poinnya dari tulisan ini. Tulisan ini sedikit mengkritisi program pemerintah sendiri dalam dunia pendidikan dalam mengahadapi Corona.

Sampai sekarang, program yang jelas sampai ke bawah adalah "belajar di rumah" tetapi bagimana cara dan implementasinya diserahkan masing masing sekolah bahkan ke guru.

Dalam kondisi begini seharusnya dinas pendidikan, jangan selalu berfikir keadaan normal, dalam arti tidak bisa juga murid harus dikasih pr dari halaman sekian ke sekian harus selesai dan dikumpulkan by email by Wa atau apapun itu. 

Karena proses belajar mengajar ada andil guru di sana yang hilang. Boleh tanya ibu-ibu di Jakarta sampai stress karena deadline PR dari guru-guru anaknya.

Belum lagi bicara masalah yang lebih luas. Harusnya UN (Ujian Nasional) segera diumumkan untuk segera dibatalkan secara nasional. Untuk apalagi menggelar UN yang tidak jelas manfaatnya. 

Cukup dari nilai rapot untuk pertimbangan kelulusan. Masalah UN jelas merongrong anak-anak kita yang sebentar lagi lulus. Belum lagi urusan Try Out, dll.

Baca juga : Tenaga Pendidik Usia Dini Siap Laksanakan Belajar Tatap Muka

Setelah UN ada permasalah penerimaan siswa baru dari semua jenjang pendidikan. Harusnya mulai dipikirkan bagaimana sistemnya. Ingat tiap tahun. Adanya orang tua yang berdesak-desakan karena mengambil formulir antrian. Belum lagi mereka yang kuliah ke Jawa dari berbagai wilayah di Indonesia. Bagaimana solusinya?

Untuk teman teman mahasiswa, yang sekarang sedang menghadapi UTS (Ujian Tegah Semester) apakah tidak lebih baik hal itu ditiadakan ganti langsung dengan UAS langsung. Karena jelas cara mahasiwa belajar sangat berbeda dengan siswa. 

Mereka lebh butuh interaksi di luar kampus (pinjam catatan, kerja kelompok, dll). Kampus-kampus tidak bisa terus berfikir bahwa mahasiswa harus bisa selesai mata kuliah pada semester ini. 

Jalan ekstrim mungkin bisa ditawarkan untuk mahasiwa yang belum memasuki semester akhir untuk mengambil keseluruhan mata kuliah di tahun depan. Tanpa adanya pembayaran uang sks.

Langkah-langkah ekstrim, konkret dan cerdas harus diambil oleh dinas pendidikan kita, tidak bisa hanya diam menunggu 14 hari saja. Banyak hal dan masalah ke depan yang harus dicarikan solusinya. Dunia pendidikan masih bisa dikontrol dari pusat sampai daerah.

Jangan sampai bidang yang masih bisa dikontrol ini malah tidak ada koordinasi sama sekali. Karena pada akhirnya yang dirugikan jelas para siswa-siswa ini. Buatlah kebijakan yang berpihak kepada mereka. 

Bukan malah membebani mereka dengan berbagai hal yang sebenarnya hanya karena tidak mau merubah sistem yang katanya sudah baku tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun