Geli hati Lia sendiri di teras rumah. Akan tetapi, lumayan untuk menghibur diri seusai bekerja di bawah terik matahari pada hamparan tanah terbuka, dan sebelum mandi sore.
Sementara matahari telah kewalahan menerangi hamparan persawahan di hadapan teras. Beberapa saat lagi azan magrib akan berkumandang dari masjid terdekat.
Ia tidak habis mengerti, mengapa laki-laki berusia delapan puluh tahun itu suka mengirimnya bingkisan bertabur bunga saban pagi.
Memang, ia sendiri tidak muda lagi. Sebagian kerutan di dekat mata, bibir, dan sebagian lehernya telah menunjukkan itu. Di KTP, usianya enam puluh lima tahun, meski masih memiliki gairah, dan menikah siri dengan Odang setelah menjanda selama empat belas tahun.Â
Ya, sekarang bukan masa remaja dengan sapa pagi, ucapan berikut lambang dan bunga. Yang remaja itu justru cucunya, sedang giat berpacaran sekaligus merepotkan mamanya alias anaknya, karena khawatir tersesat dalam rimba pergaulan bebas.
"Nenek juga remaja," kata cucunya ketika Lia mengunjungi rumah anak sulungnya.
"Mana ada nenek remaja?"
"Remaja itu singkatan dari 'remang-remang senja', Nek."
Lia menahan tawa ketika mengingat pertemuan dan obrolan dengan cucunya tempo hari di rumah anaknya. "Remang-remang senja" itu sangat membekas.Â
Memang terhitung senja, tetapi Demun telah sampai dalam senja. Kalau berbicara, suara Demun sudah bergetar. Menarik garis untuk perubahan gambar kerja juga gemetar, dan harus dibantu oleh tangan kiri.
Apakah ketika mengirim pesan aduhai itu Demun juga gemetar, ya? Aduhai, aki-aki!