Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penyendiri yang Tidak Bermimpi tentang Selebrasi

15 Desember 2018   11:22 Diperbarui: 15 Desember 2018   23:13 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ia masuk ke sebuah ruang, menutup pintu, duduk, dan menghadap mesin ketik di mejanya. Seketika sebuah dunia baru terpampang dalam kepala, dan ia akan menuliskannya, meski tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikannya pada hari itu juga.

Ia menuliskannya dengan konsentrasi tingkat tinggi dan sepenuh jiwa-raga. Kata demi kata dirangkaikannya dengan penuh penghayatan. Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang menjagai proses perangkaian itu. Ya, pertimbangan tertentu yang paling dipahaminya selama sekian waktu menekuri tulisan-tulisan orang lain serta buku-buku panduan yang menjadi pendamping mesin ketiknya.

Di luar dunia baru ciptaannya orang-orang berbincang, berteriak, bersorak, bernyanyi, berdansa, berjoget, dan seterusnya. Hiruk-pikuk sebagaimana pesta pora. Semalam suntuk. Seharian penuh. Setiap hari.  

Ia tidak peduli pada apa yang terjadi di luar dunia ciptaannya. Semua begitu sunyi baginya. Yang ramai hanyalah perbincangan dalam kepada dan dadanya. Ia pun mendansakan pikiran-jemari di papan ketik. Ya, menulis. Menulis, menulis, dan menulis. Tidak ada yang lebih aduhai daripada itu.

Maka tulisan demi tulisan terjejak dengan sendirinya. Tak pelak ia dijuluki "penulis" oleh sebagian kalangan, bahkan sebagian kalangan lainnya menambahkan kata "sejati" di belakang "penulis".

Ia tidak peduli pada julukan, gelar atau stempel semacam itu. Ia hanya mengikuti alunan dansa pikiran-jemari  di papan ketik. Ia hanya menginginkan dansa selalu menjejak di situ. Hanya itu, dan ia sudah sangat berbahagia.

Lalu orang-orang mendatangi ruangannya. Mereka mengajaknya keluar dengan bujuk-rayu yang mendayu-dayu bahwa di luar dunianya akan diselenggarakan perayaan besar-besaran atas tulisan-tulisannya.

Ia menatap mereka. Ia bingung sekaligus tidak menyangka karena sejak semula ia tidak pernah menciptakan perayaan apa pun semacam itu dalam kepalanya. Tiada mimpi selebrasi yang singgah dalam lelapnya.

Orang-orang melanjutkan bujuk-rayu. Perayaan akan dijadwalkan dengan segala persiapan beserta kelengkapannya. Tidak hanya satu waktu tetapi akan berwaktu-waktu sebab itulah yang patut dipungkasi dari waktu-waktu yang diinvestasikan. Undangan akan dibuat untuk jutaan orang supaya semakin banyak lagi orang mengapresiasi dalam sebuah selebrasi. Pokoknya, tiada perayaan sedahsyat itu nanti.   

Apakah seorang penulis sejati membutuhkan perayaan (selebrasi) apalagi ingar-bingar dengan decak yang lantang, puji yang lengking, tepuk tangan yang membahana, lagu yang memuja diiringi dentuman musik yang memekakkan, dan sejak pagi berjumpa pagi lagi?

Entahlah. Ia benar-benar tidak pernah menciptakan dunia seperti yang disampaikan orang-orang itu. Dalam kepalanya pun muncul wajah Goenawan Moehammad dengan ujarannya, "Seorang penulis pada dasarnya seorang yang sendiri. Seorang penulis memang harus berani sendirian. Ia tak bersandar kepada orang lain. Ada sesuatu yang mirip dengan Tuhan dalam diri penulis."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun